Oleh : Asnidar
M
|
asa terus
berganti namun cerita sejarah dapat terulang namun dengan desain yang berbeda. Hal ini terjadi pula dalam perjalanan
sastra kita. Kita masih ingat pada penolakan Damiri Mahmud seorang tokoh sastrawan
Sumatera Utara yang tulisanya sudah menasional. Beliau mengatakan dalam seminar
sastra di UISU beberapa waktu lampau bahwa puisi karya Amir Hamzah yang
berjudul “Padamu Jua” bukanlah puisi yang ditujukan kepada Tuhannya.
Penolakan
terhadap kesufian puisi ini dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu penulisan kata
“mu” pada puisi itu menggunakan huruf kecil, bukan huruf kapital. Selain itu,
Amir Hamzah beragama Islam dan ia sangat tegas dalam menjalankan keislamannya,
jadi tidak mungkin ia menyamakan tuhannya dengan apapun.
Penolakan
terhadap pemahaman yang sudah lama ada ini tentunya menimbulkan banyak pertentangan
dan pertanyaan. Setelah melalui proses perdebatan, akhirnya peserta seminar menyetujui
hasil analisis tersebut. Dalam hal ini, penulis juga setuju pada kesimpulanya
bahwa puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah ditujukan untuk kekasihnya. Juga
puisi-puisinya yang lain.
Kini
cerita tentang pemilihan kata dengan gaya bahasa perbandingan (metafora) yang ditujukan
kepada Tuhan mencuat kembali. Puisi karya
Amir Hamzah juga dibahas kembali. Kita dapat membacanya di sisipan majalah Horison, Kakilangit Edisi 192/Desember 2012.
Jamal D. Rahman sebagai
redaktur majalah tersebut juga mengulas puisi Amir Hamzah tersebut.
Sepertinya,
tokoh sastrawan kita ini menganggap puisi Amir Hamzah tersebut termasuk puisi
ketuhanan. Ia mengatakan “Cara mengemukakan hubungan mesra dengan Tuhan seperti
ini sebenarnya cukup lazim kita temukan dalam puisi, terutama puisi mistik atau
puisi sufi Amir Hamzah, misalnya pernah menulis dalam puisinya ‘Memuja Dikau’
begini: Turun kekasihmu, mendapatkan daku
duduk bersepi,/sunyi sendiri./Dikecupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya
leherku,/ hasratkan suara sayang semata.
Hubungan
intim antarmanusia memang sering menjadi pembanding atau alat untuk
menggambarkan pertemuan mesra yang sangat indah dengan tuhannya
Bagi
penulis, menulis puisi memang sangat bagus menggunakan gaya bahasa perbandingan
tersebut. Penulis juga mengajarkan hal yang sama kepada anak didik. Namun,
akankah kita mengorbankan ajaran agama hanya demi gaya bahasa dalam sebuah
puisi?
“Maha
suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang
Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling Baik.” (Al-Hasyr:
24). ”Dan tidak ada baginya bandingan dengan sesuatu.” (Al-Ikhlas 4).
Dari
tafsiran ayat Alqur’an di atas jelas Allah tidak dapat dibandingkan dengan
apapun. Ini juga dapat diartikan bahwa Tuhan dalam hal ini Allah umat Islam
tidak boleh dibuat perbandingannya walaupun dalam karya sastra.
Alangkah
terkejutnya penulis ketika membaca puisi yang berjudul “Tuhan, Tiduri
Aku Lagi” karya Annisa J.Moezha. Ia
dengan beraninya menuliskan hubungan si aku dengan tuhannya layaknya hubungan
intim si aku dengan lawan jenis (hubungan seks).
Hal
ini dapat kita lihat dari pilihan kata: /….kecup
keningku…/…Tiup kelopak mataku…./…Cium pipiku…/…Lumat bibirku…../…..Nikmati
leherku……/…..Jilati dadaku…../…..Aku ikhlas Kau setubuhi!
Seluruh
umat Islam tahu bahwa hubungan intim tidak sembarangan dilakukan. Harus ada aturan-aturannya.
Salah satunya harus ada ikatan pernikahan dan harus pula berjunub ketika selesai
melakukannya. Begitu kotornya kita setelah melakukan persetubuhan itu.
Jangankan untuk sholat, untuk beraktivitas yang lainpun kita disarankan
berjunub terlebih dahulu. Apa lagi untuk
menghadap Tuhan.
Dalam
kehidupan manusia, pada dasarnya seseorang melakukan persetubuhan karena dua
alasan. Alasan pertama untuk mendapatkan keturunan. Alasan yang kedua untuk
memuaskan nafsu birahi. Tidak ada satupun alasan yang pantas dari dua alasan di
atas untuk si aku ingin ditiduri ataupun disetubuhi Tuhan. Ingat, Tuhan dalam
islam tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak pula Ia butuh sesuatu seperti manusia. Apa lagi seks.
Penulis
melihat ada dua kekeliruan yang terjadi pada puisi ini. Kekeliruan pertama,
puisi ini mengartikan Tuhan butuh seks seperti manusia. Kekeliruan kedua, puisi
ini bermakna bahwa aku dapat membersihkan dirinya dengan cara bersetubuh dengan
Tuhannya. Yang penulis tahu, kita hanya bisa membersihkan diri dari dosa dengan
bertaubat, ibadah, dan berbuat baik kepada siapapun juga tanpa kecuali.
Jika
kita tilik dari pengalaman, pendidikan dan usia Annisa J.Moezha, saya kira pengalaman
keagamaannya belum dapat kita terima untuk berbicara masalah Ketuhanan seperti
yang tertuang dalam puisinya ini. Ia adalah siswa MAN Buntet, Pesantren Buntet.
Ditinjau
dari unsur psikologi anak, saya kira
puisi “Tiduri Aku Lagi, Tuhan” karya Annisa J. Moezha juga melampaui batas
pengalaman seorang pelajar. Begitu lihainya ia menggunakan pilihan kata yang
begitu memukau pembaca hingga dapat menaikkan gairah seks pula. Saya kira ini
kurang baik bagi perkembangan mental seorang pelajar.
Saya
hanya berharap jangan sampai generasi muda kita kehilangan kontrol dalam
berkarya, apalagi hingga sampai menghancurkan sendi-sendi agama. Kita sebagai
orang yang dituakan, baik itu guru, pemuka agama dan sastrawan hendaknya jeli
dalam mengawasi perkembangan karya-karya sastra anak-anak bangsa. ***
Penulis
adalah guru bahasa dan sastra Indonesia SMP Negeri 6 Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar