Jumat, 01 November 2013

TUHAN TIDAK MEMERLUKAN CUMBUAN (Sabtu, 26 Oktober 2013)

Oleh : Asnidar


M
asa terus berganti namun cerita sejarah dapat terulang namun dengan desain yang  berbeda. Hal ini terjadi pula dalam perjalanan sastra kita. Kita masih ingat pada penolakan Damiri Mahmud seorang tokoh sastrawan Sumatera Utara yang tulisanya sudah menasional. Beliau mengatakan dalam seminar sastra di UISU beberapa waktu lampau bahwa puisi karya Amir Hamzah yang berjudul “Padamu Jua” bukanlah puisi yang ditujukan kepada Tuhannya.
Penolakan terhadap kesufian puisi ini dikarenakan oleh beberapa hal, yaitu penulisan kata “mu” pada puisi itu menggunakan huruf kecil, bukan huruf kapital. Selain itu, Amir Hamzah beragama Islam dan ia sangat tegas dalam menjalankan keislamannya, jadi tidak mungkin ia menyamakan tuhannya dengan apapun.
Penolakan terhadap pemahaman yang sudah lama ada ini tentunya menimbulkan banyak pertentangan dan pertanyaan. Setelah melalui proses perdebatan, akhirnya peserta seminar menyetujui hasil analisis tersebut. Dalam hal ini, penulis juga setuju pada kesimpulanya bahwa puisi “Padamu Jua” karya Amir Hamzah ditujukan untuk kekasihnya. Juga puisi-puisinya yang lain.
Kini cerita tentang pemilihan kata dengan gaya bahasa perbandingan (metafora) yang ditujukan kepada Tuhan mencuat kembali. Puisi  karya Amir Hamzah juga dibahas kembali. Kita dapat membacanya di sisipan majalah Horison, Kakilangit Edisi 192/Desember 2012.         Jamal D. Rahman sebagai redaktur majalah tersebut juga mengulas puisi Amir Hamzah tersebut.
Sepertinya, tokoh sastrawan kita ini menganggap puisi Amir Hamzah tersebut termasuk puisi ketuhanan. Ia mengatakan “Cara mengemukakan hubungan mesra dengan Tuhan seperti ini sebenarnya cukup lazim kita temukan dalam puisi, terutama puisi mistik atau puisi sufi Amir Hamzah, misalnya pernah menulis dalam puisinya ‘Memuja Dikau’ begini: Turun kekasihmu, mendapatkan daku duduk bersepi,/sunyi sendiri./Dikecupnya bibirku, dipautnya bahuku, digantunginya leherku,/ hasratkan suara sayang semata.
Hubungan intim antarmanusia memang sering menjadi pembanding atau alat untuk menggambarkan pertemuan mesra yang sangat indah dengan tuhannya
Bagi penulis, menulis puisi memang sangat bagus menggunakan gaya bahasa perbandingan tersebut. Penulis juga mengajarkan hal yang sama kepada anak didik. Namun, akankah kita mengorbankan ajaran agama hanya demi gaya bahasa dalam sebuah puisi?
“Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. Dia-lah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa, Yang Mempunyai Nama-Nama Yang Paling Baik.” (Al-Hasyr: 24). ”Dan tidak ada baginya bandingan dengan sesuatu.” (Al-Ikhlas 4).
Dari tafsiran ayat Alqur’an di atas jelas Allah tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Ini juga dapat diartikan bahwa Tuhan dalam hal ini Allah umat Islam tidak boleh dibuat perbandingannya walaupun dalam karya sastra.
Alangkah terkejutnya penulis  ketika  membaca puisi yang berjudul “Tuhan, Tiduri Aku Lagi” karya  Annisa J.Moezha. Ia dengan beraninya menuliskan hubungan si aku dengan tuhannya layaknya hubungan intim si aku dengan lawan jenis (hubungan seks).
Hal ini dapat kita lihat dari pilihan kata: /….kecup keningku…/…Tiup kelopak mataku…./…Cium pipiku…/…Lumat bibirku…../…..Nikmati leherku……/…..Jilati dadaku…../…..Aku ikhlas Kau setubuhi!
Seluruh umat Islam tahu bahwa hubungan intim tidak sembarangan dilakukan. Harus ada aturan-aturannya. Salah satunya harus ada ikatan pernikahan dan harus pula berjunub ketika selesai melakukannya. Begitu kotornya kita setelah melakukan persetubuhan itu. Jangankan untuk sholat, untuk beraktivitas yang lainpun kita disarankan berjunub terlebih dahulu. Apa  lagi untuk  menghadap Tuhan.
Dalam kehidupan manusia, pada dasarnya seseorang melakukan persetubuhan karena dua alasan. Alasan pertama untuk mendapatkan keturunan. Alasan yang kedua untuk memuaskan nafsu birahi. Tidak ada satupun alasan yang pantas dari dua alasan di atas untuk si aku ingin ditiduri ataupun disetubuhi Tuhan. Ingat, Tuhan dalam islam tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak pula Ia butuh  sesuatu seperti manusia. Apa lagi seks.
Penulis melihat ada dua kekeliruan yang terjadi pada puisi ini. Kekeliruan pertama, puisi ini mengartikan Tuhan butuh seks seperti manusia. Kekeliruan kedua, puisi ini bermakna bahwa aku dapat membersihkan dirinya dengan cara bersetubuh dengan Tuhannya. Yang penulis tahu, kita hanya bisa membersihkan diri dari dosa dengan bertaubat, ibadah, dan berbuat baik kepada siapapun juga tanpa kecuali.
Jika kita tilik dari pengalaman, pendidikan dan usia Annisa J.Moezha, saya kira pengalaman keagamaannya belum dapat kita terima untuk berbicara masalah Ketuhanan seperti yang tertuang dalam puisinya ini. Ia adalah siswa MAN Buntet, Pesantren Buntet.
Ditinjau dari unsur  psikologi anak, saya kira puisi “Tiduri Aku Lagi, Tuhan” karya Annisa J. Moezha juga melampaui batas pengalaman seorang pelajar. Begitu lihainya ia menggunakan pilihan kata yang begitu memukau pembaca hingga dapat menaikkan gairah seks pula. Saya kira ini kurang baik bagi perkembangan mental seorang pelajar.
Saya hanya berharap jangan sampai generasi muda kita kehilangan kontrol dalam berkarya, apalagi hingga sampai menghancurkan sendi-sendi agama. Kita sebagai orang yang dituakan, baik itu guru, pemuka agama dan sastrawan hendaknya jeli dalam mengawasi perkembangan karya-karya sastra anak-anak bangsa. ***


Penulis adalah guru bahasa dan sastra Indonesia SMP Negeri 6 Medan

                  














Tidak ada komentar:

Posting Komentar