Oleh
: Shafwan Hadi Umry
P
|
ak
Ali Soekardi di kalangan beberapa teman
seangkatannya digelar Tok Kadir. Gelar itu
saya dengar pertama dari Prof. Chainur Arrasyid,S.H. ketika kami berkunjung ke
kota Grik Malaysia (2001). Hadir juga saat itu T. Luckman Sinar Alhaj (alm), Raja
Bagas Godang Sutan Najunggal dari P.Sidempuan, dan Salamuddin dari Lembaga Budaya Melayu Medan. Oleh
karena gelar datuk cukup terhormat dan disegani di negeri jiran maka Pak
Chainur sendiri memberi gelar itu berdasarkan alasan sudah ‘sah dan resmi’
karena ‘diketahui’ dua raja dalam
rombongan kami. Pertama Raja Serdang dan kedua, Raja Bagas Godang. .Demikian
celoteh humor Pak Chainur sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Gelar
itu ternyata hanya berlaku selama kunjungan kami di Malaysia dan Thailand.
Begitu sampai di Medan, gelar itu terhakis. Bukan kali itu saja saya bepergian
bersama Pak Ali tetapi juga beberapa kegiatan ‘bahasa pers’, yakni ketika
mengikuti kunjungan kerja PWI Sumut ke Tanah Karo (1990) dalam tugas selaku
tutor dalam penyuluhan bahasa Indonesia untuk para wartawan daerah. Ketika
malam di Hotel Brastagi yang semakin sejuk, kami bercengkrama dan mengobrol
seputar bahasa Indonesia dengan Pengurus PWI Sumut M.Yazid (sang ketua), Zaidan BS, Muhamad TWH,
dan Ali Soekardi.
Dalam
pertemuan Dialog Utara III di Perlis
Malaysia (1986), kami juga pergi bersama
yang ketika itu dinakhodai sastrawan dan juga wartawan Lazuardi Anwar (alm), beserta kawan-kawan lain
seperti B.Y. Tand (alm), Zainuddin Tamir Koto (alm), Ahmad Samin Siregar, S.S.
(alm), A. Rahim Qahhar, Datuk Azmansyah. Banyak suka duka yang kami alami dalam
muhibah ke tanah semenanjung. Kehujanan di Selat Melaka dan membasahi seluruh dek kapal Gadis
Langkasuka (satu-satunya Feri) yang melayari Belawan-Penang. Pak Ali tetap penasihat dan komentar kata-katanya penuh sindiran dan bernada humor.
Ada
hal yang istimewa bagi saya dengan Pak Ali. Pada tahun 1975 saya bersama rekan penulis mendirikan Himpunan Penulis Muda Sumatera
Utara (HPMSU) yang diketuai oleh W. Yudi Harsoyo dan saya selaku Sekretaris
Umum. Wadah ini tempat berkumpul
sejumlah penulis muda yang juga aktif mengisi ruang-ruang budaya di surat kabar
Medan. Nama itu antara lain Jaya Arjuna Makewa yang cerpen-cerpennya hampir setiap minggu muncul di Mimbar Umum.
Kemudian
Taheng Sebayang dan Perdana Ginting’s yang menulis di Harian Waspada, Nasrudin Murbakusuma, Naimmuddin
DP (Bintang Sport Film), Boeana Sj,
WS Uzala (Harian SIB). Pada waktu itu
ruang budaya Harian Analisa dan Waspada
masing-masing diasuh oleh Ali Soekardi dan Herman Ks. Kedua ruang budaya
ini cukup berwibawa dan menjadi standar
penulisan kreatif bagi para penulis muda Sumatera Utara.
Tempat
pertemuan para penulis berada di Jalan Timor Medan. Kemudian berpindah ke kolong
ruko Jl. Masjid Gang Bengkok dan depan
toko Sepatu Bata Jl. A Yani Medan. Kaki lima toko Sepatu Bata memiliki sejarah
karena maklumat ‘omong-omong sastra’ (1976) dicetuskan oleh beberapa sastrawan
Medan.
Para
penulis muda terlibat dialog dan diskusi serta bertarung dengan sejumlah gagasan
dan pendapat tentang sastra. Ketika itu kami berkenalan dengan ‘presiden puisi’
N.A. Hadian (alm), berkenalan dengan penyair terkemuka Abdul Hadi WM yang
singgah di Medan, berkenalan dengan sutradara Burhan Piliang (alm), Machmud Sewika
(alm), Barani Nasution (alm), penyair A.A.
Bungga (alm), pelukis A.Wahid, S. Dalimunte, dan Zakaria M.Passe (alm)-
koresponden Majalah Tempo- yang berkantor
di Jalan Perdana Medan.
Tulisan ditolak
Sebagian
penulis muda sulit untuk menembus ruang budaya Analisa yang diasuh Pak Ali. Beberapa teman telah menampangkan foto
dan namanya di media bergengsi itu. Termasuk ‘sparring partner’ teman berdebat
saya Damiri Mahmud dan Yudi Harsoyo. Tulisan saya ternyata ditolak dan tak dimuat-muat.
Padahal di ruang budaya Harian Waspada tulisan puisi dan esei diberi peluang
seluas-luasnya oleh Herman Ks.
Rasa
penasaran dan keberanian ‘anak muda’ membawa langkah kaki ke kantor Harian Analisa di Jl. A. Yani Medan. Ketika menjumpai beliau saya ‘gugup dan gagap’ untuk berbicara. Sosok
beliau serius dan dingin bercampur kaku. Beliau dengan gamblang dan singkat menjelaskan
beberapa hal yang perlu diperbaiki termasuk istilah-istilah yang kabur dan
sulit dipahami dalam konteks jurnalistik.
Barulah saya sadar bahwa Pak Ali menyenangi gaya ’jurnalisme sastra’ yang dibangun
dengan bahasa yang lugas dan gaya yang berkombinasi dengan laras jurnalistik
sekaligus tanpa menghilangkan
nilai-nilai sastra.
Setelah
pertemuan itu saya mendapat ‘ilmu baru’ dari Pak Ali dan diam-diam sampai saat
ini saya tetap ’mengakui’; berguru
dengan beliau. Langgam bahasa jurnalisme
sastra yang saya ambil untuk menulis diilhami dari informasi beliau selaku
redaktur budaya ketika itu. Bahasa yang
dikemas Pak Ali lugas, naratif, komunikatif, dan bernas apalagi didukung oleh
fakta dan realitas sejarah yang runtun dan tersusun.
Kemudian
tulisan-tulisan saya berupa puisi dan esei mulai mengisi ruang budaya yang diasuh beliau
dan hikmahnya beberapa bulan kemudian saya mengirimkan tulisan secara berkala
ke ruang ’Dialog’ Harian Berita Buana
Jakarta yang diasuh penyair Abdul Hadi WM. Ruang budaya Analisa pernah juga diasuh oleh Zakaria M.Passe yang tulisannya begitu
memikat dan menarik perhatian pembaca.
Pak
Ali adalah guru yang tak kehilangan komitmennya dalam mengemban dunia
penulisan dengan bahasa yang baik dan
bernalar dalam lalu lintas komunikasi surat kabar.
Pada
“Bulan Bahasa” dan Sumpah Pemuda tahun ini kenangan tentang Ali Soekardi muncul
kembali. Beliau telah meninggalkan kita selama-lamanya (Selasa, 2 April 2013). Bagi
kita semua, ia tak ubah bagai musafir
jurnalis yang memperkaya taman bahasa
dan sastra dan memberikan kontribusi ilmu dan amalnya melalui media massa. ***
Penulis
adalah Ketua HPBI Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar