Minggu, 03 November 2013

Ali Soekardi dan Bahasa Indonesia

Oleh : Shafwan Hadi Umry    


P
ak Ali Soekardi di kalangan beberapa  teman seangkatannya digelar  Tok Kadir. Gelar itu saya dengar pertama dari Prof. Chainur Arrasyid,S.H. ketika kami berkunjung ke kota Grik Malaysia (2001). Hadir juga saat itu T. Luckman Sinar Alhaj (alm), Raja Bagas Godang Sutan Najunggal dari P.Sidempuan, dan  Salamuddin dari Lembaga Budaya Melayu Medan. Oleh karena gelar datuk cukup terhormat dan disegani di negeri jiran maka Pak Chainur sendiri memberi gelar itu berdasarkan alasan sudah ‘sah dan resmi’ karena ‘diketahui’  dua raja dalam rombongan kami. Pertama Raja Serdang dan kedua, Raja Bagas Godang. .Demikian celoteh humor Pak Chainur sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Gelar itu ternyata hanya berlaku selama kunjungan kami di Malaysia dan Thailand. Begitu sampai di Medan, gelar itu terhakis. Bukan kali itu saja saya bepergian bersama Pak Ali tetapi juga beberapa kegiatan ‘bahasa pers’, yakni ketika mengikuti kunjungan kerja PWI Sumut ke Tanah Karo (1990) dalam tugas selaku tutor dalam penyuluhan bahasa Indonesia untuk para wartawan daerah. Ketika malam di Hotel Brastagi yang semakin sejuk, kami bercengkrama dan mengobrol seputar bahasa Indonesia dengan Pengurus PWI Sumut  M.Yazid (sang ketua), Zaidan BS, Muhamad TWH, dan Ali Soekardi.
Dalam pertemuan  Dialog Utara III di Perlis Malaysia (1986), kami juga pergi  bersama yang ketika itu dinakhodai sastrawan dan juga wartawan  Lazuardi Anwar (alm), beserta kawan-kawan lain seperti B.Y. Tand (alm), Zainuddin Tamir Koto (alm), Ahmad Samin Siregar, S.S. (alm), A. Rahim Qahhar, Datuk Azmansyah. Banyak suka duka yang kami alami dalam muhibah ke tanah semenanjung. Kehujanan di Selat Melaka  dan membasahi seluruh dek kapal Gadis Langkasuka (satu-satunya Feri) yang melayari Belawan-Penang. Pak Ali tetap  penasihat dan komentar  kata-katanya penuh sindiran dan bernada humor.
Ada hal yang istimewa  bagi  saya dengan Pak Ali.  Pada tahun 1975 saya bersama rekan penulis  mendirikan Himpunan Penulis Muda Sumatera Utara (HPMSU) yang diketuai oleh W. Yudi Harsoyo dan saya selaku Sekretaris Umum. Wadah ini  tempat berkumpul sejumlah penulis muda yang juga aktif mengisi ruang-ruang budaya di surat kabar Medan. Nama itu antara lain Jaya Arjuna Makewa yang cerpen-cerpennya  hampir setiap minggu muncul di Mimbar Umum.
Kemudian Taheng Sebayang dan Perdana Ginting’s yang menulis di Harian Waspada, Nasrudin Murbakusuma, Naimmuddin DP (Bintang Sport Film), Boeana Sj, WS Uzala (Harian SIB). Pada waktu itu ruang budaya Harian Analisa dan Waspada  masing-masing diasuh oleh Ali Soekardi dan Herman Ks. Kedua ruang budaya ini  cukup berwibawa dan menjadi standar penulisan kreatif bagi para penulis muda Sumatera Utara.
Tempat pertemuan para penulis berada di Jalan Timor Medan. Kemudian berpindah ke kolong ruko Jl. Masjid  Gang Bengkok dan depan toko Sepatu Bata Jl. A Yani Medan. Kaki lima toko Sepatu Bata memiliki sejarah karena maklumat ‘omong-omong sastra’ (1976) dicetuskan oleh beberapa sastrawan Medan.
Para penulis muda terlibat dialog dan diskusi serta bertarung dengan sejumlah gagasan dan pendapat tentang sastra. Ketika itu kami berkenalan dengan ‘presiden puisi’ N.A. Hadian (alm), berkenalan dengan penyair terkemuka Abdul Hadi WM yang singgah di Medan, berkenalan dengan  sutradara Burhan Piliang (alm), Machmud Sewika (alm), Barani Nasution (alm), penyair A.A.  Bungga (alm), pelukis A.Wahid, S. Dalimunte, dan Zakaria M.Passe (alm)- koresponden Majalah Tempo- yang berkantor  di Jalan Perdana Medan.

Tulisan ditolak
Sebagian penulis muda  sulit untuk  menembus ruang budaya Analisa yang diasuh Pak Ali. Beberapa teman telah menampangkan foto dan namanya di media bergengsi itu. Termasuk ‘sparring partner’ teman berdebat saya Damiri Mahmud dan Yudi Harsoyo. Tulisan saya ternyata ditolak dan tak dimuat-muat. Padahal di ruang budaya Harian Waspada  tulisan puisi dan esei diberi peluang seluas-luasnya oleh Herman Ks. 
Rasa penasaran dan keberanian ‘anak muda’ membawa langkah kaki ke kantor Harian Analisa di Jl. A. Yani Medan. Ketika  menjumpai beliau  saya ‘gugup dan gagap’ untuk berbicara. Sosok beliau serius dan dingin bercampur kaku. Beliau dengan gamblang dan singkat menjelaskan beberapa hal yang perlu diperbaiki termasuk istilah-istilah yang kabur dan sulit dipahami dalam konteks  jurnalistik. Barulah saya sadar bahwa Pak Ali menyenangi gaya ’jurnalisme sastra’ yang dibangun dengan bahasa yang lugas dan gaya yang berkombinasi dengan laras jurnalistik sekaligus  tanpa menghilangkan nilai-nilai sastra.
Setelah pertemuan itu saya mendapat ‘ilmu baru’ dari Pak Ali dan diam-diam sampai saat ini saya tetap ’mengakui’;  berguru dengan beliau.  Langgam bahasa jurnalisme sastra yang saya ambil untuk menulis diilhami dari informasi beliau selaku redaktur budaya  ketika itu. Bahasa yang dikemas Pak Ali lugas, naratif, komunikatif, dan bernas apalagi didukung oleh fakta dan realitas sejarah yang runtun dan tersusun.
Kemudian tulisan-tulisan saya berupa puisi dan esei   mulai mengisi ruang budaya yang diasuh beliau dan hikmahnya beberapa bulan kemudian saya mengirimkan tulisan secara berkala ke ruang ’Dialog’ Harian Berita Buana Jakarta yang diasuh penyair Abdul Hadi WM. Ruang budaya Analisa pernah juga diasuh oleh Zakaria M.Passe yang tulisannya   begitu memikat dan menarik perhatian pembaca.
Pak Ali adalah guru yang tak kehilangan komitmennya dalam mengemban dunia penulisan  dengan bahasa yang baik dan bernalar dalam lalu lintas komunikasi surat kabar.
Pada “Bulan Bahasa” dan Sumpah Pemuda tahun ini kenangan tentang Ali Soekardi muncul kembali. Beliau telah meninggalkan kita selama-lamanya (Selasa, 2 April 2013). Bagi kita semua, ia tak ubah bagai  musafir jurnalis yang  memperkaya taman bahasa dan sastra dan memberikan kontribusi ilmu dan amalnya melalui media massa. ***


Penulis adalah Ketua HPBI Medan


Tidak ada komentar:

Posting Komentar