Cerpen
: Ajeng Miftahul Ula
A
|
khir-akhir
ini cuaca sungguh sulit ditebak. Pagi hari sengatan mentari terasa menusuk
kulit hingga ke tulang, begitu siang datang mengusir pagi matahari hilang
tertimbun awan hitam. Sungguh menyebalkan. Seperti hari ini jam di tanganku
baru saja mengarak ke angka tiga. Awan mendung telah menyelimuti daerah
kampusku padahal baru sepuluh menit yang lalu matahari masih tampak nyengir.
Aku meraba tasku, ah... aku lupa membawa senjata andalanku padahal biasanya ia
selalu ada dalam tasku.
Aku
bergegas untuk meninggalkan kampus dan segera pulang agar tak kehujanan. Baru
saja aku sampai di gerbang kampus jarum-jarum kecil telah turun menyuntik
tubuhku. Kuputuskan untuk berteduh di bangunan pos satpam yang sekarang sudah
tak digunakan lagi. Aku tak sendiri, seorang perempuan berambut hitam panjang,
berkulit putih juga berdiri di teras pos.
“Kehujanan
juga ya, Bang?” sapanya, kujawab dengan anggukan.
“Kuliah
di kampus ini juga ya, Mbak?”
“Oh,
gak, Bang, saya sudah tamat,” jawabnya.
Suara
nyanyian petir mendentum keras, kau menjerit dan mendekap lenganku. Kau tampak
begitu cantik saat kita berada pada jarak sedekat ini, sangat dekat. Kurasakan
detak jantungmu mengalun cepat. Kau tersadar dengan segera menarik lenganmu.
Pipimu memerah. Kau terlihat seperti wanita-wanita Jepang yang berlesung merah,
anggun.
Aku
mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa. Entah mengapa ketika melihatmu ada
getaran yang memintal-mintal hatiku seperti gumpalan kekaguman akan
kecantikanmu. Rasa itu kian menggelitik saja ketika kau tawarkan untuk berjabat
tangan. Kusongsong jemarimu yang lembut.
“Sakura,“
ucapnya dengan segaris senyum yang tersungging di bibirnya.
“Dimas,”
kubalas pula senyumanmu.
Em...
ternyata bukan wajahmu saja yang seperti wanita Jepang, tetapi namamu juga atau
jangan-jangan kau orang Jepang yang sudah menjadi warga negara Indonesia atau
kau peranakan antara Jepang dengan Indonesia. Aku sungguh ingin tahu itu sebab
saat berbicara tak terlihat nada kejepang-jepangan darimu. Perasaanku mulai
digelayuti pertanyaan-pertanyaan tentangmu. Sepertinya kau mendengar
suara-suara riuh dalam hatiku.
“Abang
bingung ya, Sakura memang dilahirkan di Jepang tapi tinggal di Indonesia
semenjak usia sebelas tahun bersama ayah.”
“Oh...
rumah Sakura di mana?”
“Di
daerah sini juga, Bang. Dekat kok, gak jauh.”
“Boleh
lain hari main ke rumah?”
“Ya
bolehlah, Bang...”
Wah,
kesempatan yang bagus untuk mengenal lebih jauh tentang gadis cantik ini. Kalau
berhasil kesampaian juga impianku untuk mempunyai pacar yang berkulit putih dan
berambut hitam panjang. Maklumlah, pacar-pacarku yang terdahulu tak ada yang
kulitnya bening seperti ini. Pastinya akan memperbaiki keturunanku, pikirku
dalam hati. Terlalu jauh sekali aku berpikir hingga keturunan, sedang aku saja
belum tahu apakah dia masih sendiri atau mungkin dia sudah bersuami.
Ah...
gadis itu baru saja berkenalan beberapa menit yang lalu tetapi sudah membuat
aku kelimpungan karena tak bisa berhenti memikirkannya. Aku memang orang yang
mudah sekali untuk jatuh dalam pelukan cinta
dan sulit pula untuk melupakannya.
Hari
semakin sore, hujan tak jua menandakan akan usai. Awan terlihat semakin gelap
saja. Suasana kampus pun telah sepi hanya beberapa mahasiswa saja yang duduk di
teras-teras kelas sambil menunggu hujan reda sementara yang lain memilih
menembus pasukan hujan dengan mengendarai mobil ataupun kereta. Hanya mahasiswa
yang naik kendaraan umum saja yang masih tersisa menunggu hujan kan usai, salah
satunya ya aku ini.
“Abang
rumahnya di mana?” tanyamu memecah lamunanku. Deg ... ah sial matamu membunuh
mataku hingga mataku tak berdaya menatapnya.
“Di
Jalan Delitua Pasar VIII.”
“Oh...
boleh besok Sakura main ke rumah Abang?”
“Boleh
banget-lah.”
Em...
aku yakin aku pasti bisa mendapatkan perempuan ini, tak perlu diragukan lagi
dia pasti belum bersuami. Jangan buang waktu lagi Dimas, besok dia kan datang
ke rumahmu kau harus katakan padanya kalau kau cinta. Pasti kau diterima. Lihat
saja cara dia menatapmu, sepertinya dia juga menyukaimu. Ayolah Dimas...
monologku dalam hati.
Tak
terasa sudah dua jam kebersamaan kami mengalir merdu seperti alunan rintik
hujan yang turun dari tempias atap menuju hulunya, menyerupai musik-musik
alunan hatiku.
Hujan
tinggal rerintiknya saja, rasanya aku ingin hujan kembali deras agar kita bisa lebih lama lagi bersama. Tapi
tak mungkin matahari juga sudah menampakkan cakrawalanya.
“Bang,
hujannya sudah reda, Sakura pulang ya.”
“Ok, besok jangan lupa ya dengan
janjinya.”
“Pastilah,
Bang, Sakura akan datang ke rumah Abang. Tunggu Sakura ya!”
Kau
berlalu, langkahmu begitu cepat. Baru beberapa detik mataku lengah, batangmu
sudah tak nampak. Aku belum juga beranjak, aku ingin sejenak menikmati adamu
beberapa detik lagi di sini. Harummu masih menyapa, hem... seperti aroma
bunga-bunga yang segar.
Suara
lengkingan Jo memburamkan anganku.
“Boy...
sedang apa di sini?” sambil menghampiriku.
“Hujannya
deras! Jadi, aku berteduh di sini.”
“Ah...
kau bercanda ya, Boy! Hujan dari mana? Hahaha,” Jo menertawakanku.
Sialan!
Berani-beraninya dia menertawakanku.
“Tadi
hujan, Jo, dan aku berteduh di sini bersama seorang perempuan cantik. Dan dia
baru saja pergi beberapa menit yang lalu sesaat hujan reda.”
“Ah...kurasa
kau sudah gila, Dimas, aku melihatmu dari depan kantin berbicara sendiri,
tersenyum sendiri dan kau baru saja berdiri di sini dua puluh menit yang lalu.”
Aku
terdiam...oh Tuhan apa yang terjadi padaku. Sakura...kuarahkan pandanganku ke
penjuru dinding bangunan itu. Kutemukan tulisan berukir “Sakura love Dimas...”
Kurasakan
desiran rindu menyapu relungku namun beberapa serdadu bulu kudukku berdiri
memahat kulit. Sungguh kuharap kau tak jadi datang ke rumahku esok. ***
Dunia Koma,18
April 20012
Ajeng
Miftahul Ula,
mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia UMN Al-Washliyah Medan dan bergiat di
KOMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar