Jumat, 01 November 2013

Sakura (Sabtu, 26 Oktober 2013)

Cerpen : Ajeng Miftahul Ula



A
khir-akhir ini cuaca sungguh sulit ditebak. Pagi hari sengatan mentari terasa menusuk kulit hingga ke tulang, begitu siang datang mengusir pagi matahari hilang tertimbun awan hitam. Sungguh menyebalkan. Seperti hari ini jam di tanganku baru saja mengarak ke angka tiga. Awan mendung telah menyelimuti daerah kampusku padahal baru sepuluh menit yang lalu matahari masih tampak nyengir. Aku meraba tasku, ah... aku lupa membawa senjata andalanku padahal biasanya ia selalu ada dalam tasku.
Aku bergegas untuk meninggalkan kampus dan segera pulang agar tak kehujanan. Baru saja aku sampai di gerbang kampus jarum-jarum kecil telah turun menyuntik tubuhku. Kuputuskan untuk berteduh di bangunan pos satpam yang sekarang sudah tak digunakan lagi. Aku tak sendiri, seorang perempuan berambut hitam panjang, berkulit putih juga berdiri di teras pos.
“Kehujanan juga ya, Bang?” sapanya, kujawab dengan anggukan.
“Kuliah di kampus ini juga ya, Mbak?”
“Oh, gak, Bang, saya sudah tamat,” jawabnya.
Suara nyanyian petir mendentum keras, kau menjerit dan mendekap lenganku. Kau tampak begitu cantik saat kita berada pada jarak sedekat ini, sangat dekat. Kurasakan detak jantungmu mengalun cepat. Kau tersadar dengan segera menarik lenganmu. Pipimu memerah. Kau terlihat seperti wanita-wanita Jepang yang berlesung merah, anggun.
Aku mulai merasakan sesuatu yang tidak biasa. Entah mengapa ketika melihatmu ada getaran yang memintal-mintal hatiku seperti gumpalan kekaguman akan kecantikanmu. Rasa itu kian menggelitik saja ketika kau tawarkan untuk berjabat tangan. Kusongsong jemarimu yang lembut.
“Sakura,“ ucapnya dengan segaris senyum yang tersungging di bibirnya.
“Dimas,” kubalas pula senyumanmu.
Em... ternyata bukan wajahmu saja yang seperti wanita Jepang, tetapi namamu juga atau jangan-jangan kau orang Jepang yang sudah menjadi warga negara Indonesia atau kau peranakan antara Jepang dengan Indonesia. Aku sungguh ingin tahu itu sebab saat berbicara tak terlihat nada kejepang-jepangan darimu. Perasaanku mulai digelayuti pertanyaan-pertanyaan tentangmu. Sepertinya kau mendengar suara-suara riuh dalam hatiku.
“Abang bingung ya, Sakura memang dilahirkan di Jepang tapi tinggal di Indonesia semenjak usia sebelas tahun bersama ayah.”
“Oh... rumah Sakura di mana?”
“Di daerah sini juga, Bang. Dekat kok, gak jauh.”
“Boleh lain hari main ke rumah?”
“Ya bolehlah, Bang...”
Wah, kesempatan yang bagus untuk mengenal lebih jauh tentang gadis cantik ini. Kalau berhasil kesampaian juga impianku untuk mempunyai pacar yang berkulit putih dan berambut hitam panjang. Maklumlah, pacar-pacarku yang terdahulu tak ada yang kulitnya bening seperti ini. Pastinya akan memperbaiki keturunanku, pikirku dalam hati. Terlalu jauh sekali aku berpikir hingga keturunan, sedang aku saja belum tahu apakah dia masih sendiri atau mungkin dia sudah bersuami.
Ah... gadis itu baru saja berkenalan beberapa menit yang lalu tetapi sudah membuat aku kelimpungan karena tak bisa berhenti memikirkannya. Aku memang orang yang mudah sekali untuk jatuh dalam pelukan cinta  dan sulit pula untuk melupakannya.
Hari semakin sore, hujan tak jua menandakan akan usai. Awan terlihat semakin gelap saja. Suasana kampus pun telah sepi hanya beberapa mahasiswa saja yang duduk di teras-teras kelas sambil menunggu hujan reda sementara yang lain memilih menembus pasukan hujan dengan mengendarai mobil ataupun kereta. Hanya mahasiswa yang naik kendaraan umum saja yang masih tersisa menunggu hujan kan usai, salah satunya ya aku ini.
“Abang rumahnya di mana?” tanyamu memecah lamunanku. Deg ... ah sial matamu membunuh mataku hingga mataku tak berdaya menatapnya.
“Di Jalan Delitua Pasar VIII.”
“Oh... boleh besok Sakura main ke rumah Abang?”
“Boleh banget-lah.”
Em... aku yakin aku pasti bisa mendapatkan perempuan ini, tak perlu diragukan lagi dia pasti belum bersuami. Jangan buang waktu lagi Dimas, besok dia kan datang ke rumahmu kau harus katakan padanya kalau kau cinta. Pasti kau diterima. Lihat saja cara dia menatapmu, sepertinya dia juga menyukaimu. Ayolah Dimas... monologku dalam hati.
Tak terasa sudah dua jam kebersamaan kami mengalir merdu seperti alunan rintik hujan yang turun dari tempias atap menuju hulunya, menyerupai musik-musik alunan hatiku.
Hujan tinggal rerintiknya saja, rasanya aku ingin hujan kembali deras  agar kita bisa lebih lama lagi bersama. Tapi tak mungkin matahari juga sudah menampakkan cakrawalanya.
“Bang, hujannya sudah reda, Sakura pulang ya.”
Ok, besok jangan lupa ya dengan janjinya.”
“Pastilah, Bang, Sakura akan datang ke rumah Abang. Tunggu Sakura ya!”
Kau berlalu, langkahmu begitu cepat. Baru beberapa detik mataku lengah, batangmu sudah tak nampak. Aku belum juga beranjak, aku ingin sejenak menikmati adamu beberapa detik lagi di sini. Harummu masih menyapa, hem... seperti aroma bunga-bunga yang segar.
Suara lengkingan Jo memburamkan anganku.
“Boy... sedang apa di sini?” sambil menghampiriku.
“Hujannya deras! Jadi, aku berteduh di sini.”
“Ah... kau bercanda ya, Boy! Hujan dari mana? Hahaha,” Jo menertawakanku.
Sialan! Berani-beraninya dia menertawakanku.
“Tadi hujan, Jo, dan aku berteduh di sini bersama seorang perempuan cantik. Dan dia baru saja pergi beberapa menit yang lalu sesaat hujan reda.”
“Ah...kurasa kau sudah gila, Dimas, aku melihatmu dari depan kantin berbicara sendiri, tersenyum sendiri dan kau baru saja berdiri di sini dua puluh menit yang lalu.”
Aku terdiam...oh Tuhan apa yang terjadi padaku. Sakura...kuarahkan pandanganku ke penjuru dinding bangunan itu. Kutemukan tulisan berukir “Sakura love Dimas...”
Kurasakan desiran rindu menyapu relungku namun beberapa serdadu bulu kudukku berdiri memahat kulit. Sungguh kuharap kau tak jadi datang ke rumahku esok. ***


Dunia Koma,18 April 20012
Ajeng Miftahul Ula, mahasiswa bahasa dan sastra Indonesia UMN Al-Washliyah Medan dan bergiat di KOMA.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar