Cerpen : Lastri
Bako
D
|
ipungutinya
juga butiran beras-beras yang berserak dengan sejuta rasa bahagia berharap bisa
makan tuk hari ini. Dengan rasa senang yang tidak terkira Darwo selesai
mengumpulkan beras di atas bajunya.
“Makasih ya, Nak…!”
Saudagar yang kaya itu menepuk-nepuk
pundak Darwo dan mengambil beras yang telah terkumpul di baju yang dibentangkan
Darwo dan menumpahkan ke dalam sekantong plastik hitam dan mencampakkan baju Darwo
tepat ke wajahnya.
”Ini bajumu…!”
Sejuta rasa itu lenyap dalam seketika. Dia
ingin menangis, marah, tapi itu terlalu sulit diutarakan. Seluruh tubuhnya
gemetar hebat. Kini rasa lapar terasa melilit perutnya. Bendungan air mata itu
tumpah sedikit-demi sedikit.
”Bukankah beras itu sudah tidak layak
lagi Bapak makan ya?” ucapnya, matanya sangat sayu berpadu dengan wajahnya yang
pucat pasi.
“Haaaa…kamu ini ada-ada saja, masa iya
saya makan beras yang sudah jorok, berpasir, kena debu dan dipengang oleh
tanganmu yang jorok itu. Ini tidak untuk aku makan, Nak, tapi ini untuk
ayam-ayamku!” jawabnya santai. Saudagar
itu tidak memiliki perasaan, bahkan hatinya pun tidak tersentuh melihat Darwo, tanpa
alas kaki, baju kumel dan wajah yang memancarkan seribu pilu berhap belas
kasih.
Darwo hanya terdiam membisu, dan hanya bisa
melihat saudagar itu memasukkan kantungan beras ke dalam mobilnya.
”Ada apa denganmu?”
“Tidak, Pak, bukankah saya sudah
memunguti beras itu, biarkanlah sedikit saja untuk saya.”
“Enak saja kau, masih kecil menolong
mengharapkan imbalan, pergi sana!”
“Saya belum makan pak!”rintihnya memulas
perutnya yang semakin terasa sakit.
Lelaki kaya itu pergi begitu saja
meninggalkan Darwo. Mulutnya komat-kamit memaki sosok Darwo. Kini Darwo terus
berjalan menyusuri jalanan yang panjang.
Sambil menyeret-nyeret kantung plastik
dengan ukuran besar, Darwo berharap dia bisa mengumpulkan botol-botol gelas atau sejenis barang bekas yang terpenting lebih dahulu.
Terik matahari yang terus menggerogoti
pori-pori tak lagi dihiraukan Darwo, yang dia butuhkan sekarang bisa memenuhi
kantung plastiknya saja dan menjualnya ke penampung barang bekas.
Sedari tadi tak sebutir pun nasi yang
hinggap di lambungnya, walau sekedar menetralisir asam lambungnya. Kini dia
berhenti di bawah pohon beringin yang rimbun. Kerongkongan terasa kering, menelan
ludah sendiri pun tidak ada lagi cairan yang tersisa di mulut.
“Ya Allah, aku lapar dan haus.”
Keinginan terbesar yang ingin
diwujutinya hanya itu, yakni makan dan minum. Dipandanginya terus jalanan yang
dipenuhi orang-orang berlalu lalang dengan sibuknya. Di seberang jalan
keramaian memenuhi sebuah gedung, tadinya Darwo tidak tertarik untuk mendekat, tapi
ada secerca harapan. Seorang gadis
sebayanya membuang setumpuk kotak nasi dan beberapa cairan berwarna di gelas
plastik juga. Dengan sigapnya dia berdiri dan menyebrang jalan. Dia tidak menghiraukan
kenderaan yang berlalu lalang dengan kecepatan tinggi.
”Yang terpenting adalah makan,” pikirnya.
Dugaannya tepat, ada banyak makanan sisa
di sana, plus minuman yang enak pula.
”Tak apa bekas yang terpenting bergizi,”
desisnya tak sabar lagi ingin menyantap makanan yang telah dikumpulkan dari
keseluruhan kotak menjadi satu kotak, begitu juga dengan minumannya.
Dia begitu bahagia.
” Begitu cepat ya Allah engkau mendengar
doaku….!” serunya.
“Nyam-nyam…enak!”
Sibuk dengan makanan enak hasil
penemuannya hari ini Darwo lupa akan sedih yang sempat menyelimuti bayang kota
yang semakin rabun akan orang-orang yang baik. Mata-mata gerimis mengintai,
Darwo juga pasti tahu sebongkah awan cukup cucurkan hujan.
“Ya Allah, di manalah aku berteduh?”
Baru sepersekian detik, dia membludakkan
bahagia dengan makan enak, hujan sudah merusuhi jalan ceritanya. Tanpa pikir
panjang, dengan sigap Darwo melahap santapannya sekuat yang dia bisa, agar bisa
cepat-cepat mencari tempat berteduh sebelum hujan menggusurnya.
“Hai…!”
Darwo kebingungan, didengarnya tapi tak
sempat mencari arah suara itu.
“Kamu, sudah mau turun hujan, ayo masuk
ke dalam saja!” seru gadis yang membuang sampah kotak nasi tadi. Gadis itu
tersenyum, keluguan sikap Darwo menggelitik sukmanya. Tak lama gadis itu
memaksa untuk menyentuh pundak Darwo, yang sedari tadi memunggunginya.
“Ops!” Darwo kaget bukan kepalang. Dia
tersentak. Dan wal hasil gadis itu tertawa lepas. Darwo sempat merasa salah
tingkah, ada apa gerangan dengan wanita yang cantik jelita menghampirinya yang
jelek realita.
“Mau apa?”
“Kamu sangat lucu, seperti kucing
yang tertangkap basah mencuri ikan, ha ha ha…” gadis itu masih dalam
kelucuannya. Tak berapa kemudian gadis itu tersadar.
“Heh kamu, masuklah untuk berteduh, sebentar
lagi hujan turun, makanlah di dalam saja. Kalau kamu mau, kamu bisa ambil
makanan yang ada di dalam sana,” seru gadis itu.
Dan melangkah dahulu ke arah rumah yang
ditunjukkan ke Darwo.
Bergairahlah si hati, Darwo sangat
menyukai harinya semua permintaannya selalu dikabulkan secepatnya. Dia
berbenah, menarik kantong plastik dengan sisi tangan kanan, dan memegang kotak
nasi di sisi tangan kiri. Darwo pun mengikuti langkah gadis itu. Rintik gerimis
begitu rapat menyerbu langkahnya, dengan sigapnya Darwo sedikit berlari dan
sampailah di dalam rumah wanita itu. ***
Ranah kompak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar