Minggu, 10 November 2013

Menenun Pinta



Cerpen : Lastri Bako


D
ipungutinya juga butiran beras-beras yang berserak dengan sejuta rasa bahagia berharap bisa makan tuk hari ini. Dengan rasa senang yang tidak terkira Darwo selesai mengumpulkan beras di atas bajunya.
“Makasih ya, Nak…!”
Saudagar yang kaya itu menepuk-nepuk pundak Darwo dan mengambil beras yang telah terkumpul di baju yang dibentangkan Darwo dan menumpahkan ke dalam sekantong plastik hitam dan mencampakkan baju Darwo tepat ke wajahnya.
”Ini bajumu…!”
Sejuta rasa itu lenyap dalam seketika. Dia ingin menangis, marah, tapi itu terlalu sulit diutarakan. Seluruh tubuhnya gemetar hebat. Kini rasa lapar terasa melilit perutnya. Bendungan air mata itu tumpah sedikit-demi sedikit.
”Bukankah beras itu sudah tidak layak lagi Bapak makan ya?” ucapnya, matanya sangat sayu berpadu dengan wajahnya yang pucat pasi.
“Haaaa…kamu ini ada-ada saja, masa iya saya makan beras yang sudah jorok, berpasir, kena debu dan dipengang oleh tanganmu yang jorok itu. Ini tidak untuk aku makan, Nak, tapi ini untuk ayam-ayamku!” jawabnya  santai. Saudagar itu tidak memiliki perasaan, bahkan hatinya pun tidak tersentuh melihat Darwo, tanpa alas kaki, baju kumel dan wajah yang memancarkan seribu pilu berhap belas kasih.
Darwo hanya terdiam membisu, dan hanya bisa melihat saudagar itu memasukkan kantungan beras ke dalam mobilnya.
”Ada apa denganmu?”
“Tidak, Pak, bukankah saya sudah memunguti beras itu, biarkanlah sedikit saja untuk saya.”
“Enak saja kau, masih kecil menolong mengharapkan imbalan, pergi sana!”
“Saya belum makan pak!”rintihnya memulas perutnya yang semakin terasa sakit.
Lelaki kaya itu pergi begitu saja meninggalkan Darwo. Mulutnya komat-kamit memaki sosok Darwo. Kini Darwo terus berjalan menyusuri jalanan yang panjang.
Sambil menyeret-nyeret kantung plastik dengan ukuran besar, Darwo berharap dia bisa mengumpulkan botol-botol  gelas atau sejenis barang bekas  yang terpenting lebih dahulu.
Terik matahari yang terus menggerogoti pori-pori tak lagi dihiraukan Darwo, yang dia butuhkan sekarang bisa memenuhi kantung plastiknya saja dan menjualnya ke penampung barang bekas.
Sedari tadi tak sebutir pun nasi yang hinggap di lambungnya, walau sekedar menetralisir asam lambungnya. Kini dia berhenti di bawah pohon beringin yang rimbun. Kerongkongan terasa kering, menelan ludah sendiri pun tidak ada lagi cairan yang tersisa di mulut.
“Ya Allah, aku lapar dan haus.”
Keinginan terbesar yang ingin diwujutinya hanya itu, yakni makan dan minum. Dipandanginya terus jalanan yang dipenuhi orang-orang berlalu lalang dengan sibuknya. Di seberang jalan keramaian memenuhi sebuah gedung, tadinya Darwo tidak tertarik untuk mendekat, tapi ada  secerca harapan. Seorang gadis sebayanya membuang setumpuk kotak nasi dan beberapa cairan berwarna di gelas plastik juga. Dengan sigapnya dia berdiri dan menyebrang jalan. Dia tidak menghiraukan kenderaan yang berlalu lalang dengan kecepatan tinggi.
”Yang terpenting adalah makan,” pikirnya.
Dugaannya tepat, ada banyak makanan sisa di sana,  plus minuman yang enak pula.
”Tak apa bekas yang terpenting bergizi,” desisnya tak sabar lagi ingin menyantap makanan yang telah dikumpulkan dari keseluruhan kotak menjadi satu kotak, begitu juga dengan minumannya.
Dia begitu bahagia.
” Begitu cepat ya Allah engkau mendengar doaku….!” serunya.
“Nyam-nyam…enak!”
Sibuk dengan makanan enak hasil penemuannya hari ini Darwo lupa akan sedih yang sempat menyelimuti bayang kota yang semakin rabun akan orang-orang yang baik. Mata-mata gerimis mengintai, Darwo juga pasti tahu sebongkah awan cukup cucurkan hujan.
“Ya Allah,  di manalah aku berteduh?”
Baru sepersekian detik, dia membludakkan bahagia dengan makan enak, hujan sudah merusuhi jalan ceritanya. Tanpa pikir panjang, dengan sigap Darwo melahap santapannya sekuat yang dia bisa, agar bisa cepat-cepat mencari tempat berteduh sebelum hujan menggusurnya.
“Hai…!”
Darwo kebingungan, didengarnya tapi tak sempat mencari arah suara itu.
“Kamu, sudah mau turun hujan, ayo masuk ke dalam saja!” seru gadis yang membuang sampah kotak nasi tadi. Gadis itu tersenyum, keluguan sikap Darwo menggelitik sukmanya. Tak lama gadis itu memaksa untuk menyentuh pundak Darwo, yang sedari tadi memunggunginya.
“Ops!” Darwo kaget bukan kepalang. Dia tersentak. Dan wal hasil gadis itu tertawa lepas. Darwo sempat merasa salah tingkah, ada apa gerangan dengan wanita yang cantik jelita menghampirinya yang jelek realita.
            “Mau apa?”
            “Kamu sangat lucu, seperti kucing yang tertangkap basah mencuri ikan, ha ha ha…” gadis itu masih dalam kelucuannya. Tak berapa kemudian gadis itu tersadar.
“Heh kamu, masuklah untuk berteduh, sebentar lagi hujan turun, makanlah di dalam saja. Kalau kamu mau, kamu bisa ambil makanan yang ada di dalam sana,” seru gadis itu.
Dan melangkah dahulu ke arah rumah yang ditunjukkan ke Darwo.
Bergairahlah si hati, Darwo sangat menyukai harinya semua permintaannya selalu dikabulkan secepatnya. Dia berbenah, menarik kantong plastik dengan sisi tangan kanan, dan memegang kotak nasi di sisi tangan kiri. Darwo pun mengikuti langkah gadis itu. Rintik gerimis begitu rapat menyerbu langkahnya, dengan sigapnya Darwo sedikit berlari dan sampailah di dalam rumah wanita itu. ***

Ranah kompak

Tidak ada komentar:

Posting Komentar