Kamis, 31 Oktober 2013

GELANGGANG SAJAK : Murdoks, Tommy Sianturi (Sabtu, 5 Oktober 2013)


Murdoks :
GARIS PELANGI

Di kantin TBM,
pernah kulukis wajahmu di antara garis pelangi
dan kau malu-malu menatap lukisan itu
menunduk sambil menatap segelas kopi
membayang wajahmu pada permukaan
dalam
rindunya
pada tepian bibirmu
berucap
tak terucap
karena malu-malumu
telah lebih dulu tergoda
pada jiwa resah.

                                                                                              Medan 05102012

Antara Kau dan Aku

Bayu menggapai daun-daun
Di kala teja beranjak dari peraduan,
perawan desa menarikan zapin dalam temaran lampu
 mercusuar dari kejauhan,
di tepian berpasir kita menatap malam
 yang malu-malu mengintip perawan desa
 menari diiringi suara rebana,
 mengajak kita menyatu dalam rindunya,
antara kau dan aku
sesaat deburan ombak menyadarkan kita dari khayal,
Entah kapan jadi nyata,
 seperti bayu mencumbui riaknya laut,
 tanpa isyarat
yang terjadi di tepian pantai hari ini.
                                                                        
                                                                                                                 Riau-Bengkalis 01032012

Menangislah, Pertiwi

Menangislah, Pertiwi
pada nasib yang terombang-ambing oleh alunan alam,
sesaat ia beri tanda atas kuasanya
yang terjadi hari ini,
bukan kehendak namanya manusia,
Menangislah, Pertiwi
yang mengatas-namakan Indonesia
yang sakit karena manusia
yang tertatih oleh sistem
entah mau ke mana
Menangislah, Pertiwi
yang terpana mendengar badut berdasi
berkotbah di balik podium tak bernama
Menangislah, Pertiwi
dengan air mata nasib bangsa ini
sebelum nafas asa telah jadi nestapa
di tanah merah bernisan dan tertera
“ Indonesia meratapi nasib sendiri”

                                                                                                              Pekanbaru-riau 20092012


POTRET

Kita tak pernah bertemu
Pun tidak
Kulihat potretmu
Di sudut jaman semakin menua

Kita tak pernah menyapa
Karena keangkuhan milik kita
Milik para penyair
Milik para badut sarat menelan tawa
Milik kritikus sastra sok jadi jawara
Milik para penguasa yang jadi nohkoda
Dan milik anak-anak bangsa terluka,

Lantas kita mau jadi apa!
                                                                                               
                                                                                    Pekanbaru-Riau 03252012


Surya Hardi  yang juga punya  nama samaran, Murdoks dikenal di kalangan teaterawan.Menggeluti kesenian sejak 1996, selain menulis puisi, artikel, cerpen dan esai kebudayaan. Pernah bergabung dalam kelompok Teater Patria Medan.  Sejumlah puisinya terbit dalam antologi bersama di beberapa kota di Indonesia.








Tommy Sianturi :
Petang

Kelopak mataku meringkuk
terhempas laksa hembusan angin
menggantungkan butir-butir rindu
rebah di dahan yang kita semai.
Aku rela langit mendung membasuh,
kesunyian petang membahana pekarangan.
Pun kutiru lolongan serigala menggelegar
Layaknya aku tercabik-cabik kenangan.
Ladang Kompak, 2012

Terngiang

Terngiang dendang lampau
dari rahim bumi.
Menempatkan batin
menjemput pagi sebelum kembara;
Kembali cocokan jejak kecil di lapangan,
aroma hujan,
teriakan menyambar-nyambar,
suara bel sepeda kala sayu senja menjalar.

Sekelebat deruh angin merampas sebingkai album
sinar rembulan pun mengagetkanku dari lamunan.
Ladang Kompak

Langkah Kaki

langkah kaki menghentak
menggoncang rumput lalu debu berlarian;
biarkan hentakan penuh semangat
meremukan daun-daun rapuh;
hamparan ranting-ranting tak kokoh                    
bergelimpangan digerogoti waktu.

Kadang malam semakin dingin,
debur ombak menghempas batu karang,
jarum jam menusuk-nusuk.
Pucuk-pucuk cemara menggigil beku,
langkah kaki kaku tak menentu
namun impian semakin menderuh
dalam kalbu rindu.
Ladang Kompak

Gadis Berpayung Hitam

gadis berpayung hitam
tersedan-sedan menjerit menengadah
merelakan deras hujan menimpa ubun-ubun
seraya dalam isak tangis kembara batang kara.

terik siang menghadang jalan
gadis berpayung hitam
menggelepar pada padang belukar,
memuntahkan batas peluh
akhir nafas melumat tumpah.
Ladang Kompak

Sebelum

malam-malam terasa kembar
mencoba tilik ranah perjuangan
dalam kepakan sayap impian rembang.
membasahi pucuk-pucuk dahaga.

kejora berpacaran bersama rembulan,
deruh angin mendesah sukma
menghunus rembuk nyanyian petuah;
sebelum rembulan beranjak ke peraduan
meninggalkan gugusan gemerlapan,
Sebelum daun-daun berguguran
Menahan masa rentan.
Sebelum usia melumat tumpah
Berlayarlah mendekati impian.
Ladang Kompak


Tommy Leonardo Sianturi, lahir di B. Aceh 16 Oktober 1992. Mahasiswa Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya, USU. Sekarang aktif dalam komunitas “Kompak” Taman Budaya dan pecinta karya sastra.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar