Oleh : Anesti Rahayu
E
|
ntah
kenapa aku bahagia jika hujan bunuh diri dari langit. Keberaniannya menjatuhkan
diri dari singgasana langit demi sejukkan bumi yang gersang. Betapa tidak, satu
harian ini matahari sudah memanggang kulit pun keringkan kerongkongan. Bahkan
tumbuhan pun berteriak meminta hujan segera datang beri pertolongan. Tuhan
memang maha adil, diberikan-Nya tumpahan air agar kami penghuni bumi tak lagi
merintih.
Aku masih ingat tentang sebuah cerita.
Kisahkan pelangi yang kesepian. Itu kenapa pelangi selalu muncul setelah hujan.
Ia tak ingin makhluk siapapun itu merasa kesepian seperti dirinya. Ya, dia
memang tak sendirian. Ada banyak warna. Tak hanya merah tapi warna lainnya
turut dampingi. Karena ia tak ingin kesepian, maka ia meminta teman-temannya
ikut cerahkan warnanya. Melengkapi. Membuatnya lebih indah. Maka, dengan itu ia
berharap bisa memberi senyuman bagi siapa saja yang melihatnya. Setelah hujan
ia barulah menampakkan diri karena ia ingin tunjukkan bahwa hujan bukanlah
tangisan tanpa henti. Setelah tangis pasti ada senyum. Itulah pelangi.
Aku tersenyum pandangi langit sore ini.
Pelangi telah menyapaku dengan pesona warna yang tiada bisa kuungkap dengan
kata-kata akan keindahannya. Tapi tanpa terasa ada yang merembes di kedua
pipiku. Aku tak bisa menahan butiran kristal bening yang jatuh. Tiap kali aku
melihat pelangi, aku teringat padanya. Sosok yamg sangat berarti bagiku lebih
dari apapun.
Kedua bola mataku yang bundar menangkap
seorang gadis berbalut kaos dan celana pendek santai sedang berbahagia bersama
lelaki berkumis. Bermain kejar-kejaran di halaman depan rumahnya. Mereka sangat
akrab. Sangat akrab. Menikmati sore setelah hujan bersama cerianya cahaya
pelangi.
Sayangnya, aku tak seberuntung gadis
itu. Aku tak memiliki sosok seperti lelaki itu. Tak bisa bermain apalagi
tertawa bersama-sama. Aku hanya punya wanita yang selama Sembilan bulan lebih
rahimnya menjadi rumahku. Ibu membesarkanku sendirian dengan cinta pun kasih
sayangnya. Sejak aku berusia lima tahun, sang khalik memanggil pendamping ibuku
ke pangkuan-Nya. Aku kehilangannya.
Dulu dia yang tak pernah alpa membacakan
dongeng sebelum lelapku. Mengecup keningku jika aku sudah terbang di alam
mimpi. Mengacak geram rambutku yang panjang jika aku sedikit nakal. Namun, kini
aku harus kesepian tanpanya. Terlebih ibuku yang selalu mendoakannya di tiap
sujudnya.
Ingin sekali aku bisa kembali ke masa
silam. Dimana aku masih bisa bersamanya. Tapi takdir sudah tergaris. Dia telah
tiada. Tapi dia tak benar-benar pergi dari hidupku sebab dia selalu ada di hati
pun di tiap doaku. Aku sangat mencintainya. Aku bahagia karena dia telah tenang
di pangkuan-Nya.
***
Hari ini aku akan membawakan kado
khusus untuknya. Kenapa? Karena hari ini dia berulang tahun. Meski tak bisa
bertatap muka, tapi aku masih bisa menciumnya. Telah kusiapkan sebuah lukisan
yang kubuat sendiri. Ada aku, ibu, dan dirinya dalam lukisan itu. Kuhias dengan
bingkai paling cantik terbuat dari bambu.
Aku pergi menemuinya sendirian.
Ibuku sedang sibuk dengan mesin jahitnya. Pesanan dari pelanggan banyak sekali.
Tapi bukan berarti ibu melupakan hari paling istimewa ini. Aku lihat ibu juga
sudah membuat sebuah kue balck forest kesukaan suaminya. Rencananya nanti malam
kami akan merayakannya di rumah berdua. Ya, hanya berdua.
Nah, aku sudah sampai di tempat yang
kurindukan. Meski tiap minggu aku kesini tapi aku selalu rindu. Rindu pada
penghuni di dalamnya. Kali ini, aku tak ingin menangis. In kan hari bahagia
untuknya. Aku nggak boleh menangis. Ya kan?
Di sisi rumah yang sangat kecil,
dihiasi rumput-rumput indah aku duduk manis. Seperti biasa aku selalu berdoa
terlebih dahulu. Lalu aku akan menyiram gundukan tanah di depanku dengan
sedikit air dari botol yang telah kubawa. Pun menaburkan sedikit bunga agar dia
tersenyum.
Kemudian aku mencium nisan di
hadapanku. Aku tak ingin menangis.
“Jangan menangis Vina.” batinku. Aku
langsung bercerita apa saja yang ingin kuceritakan padanya. Dan kuletakkan kado
yang sudah kusiapkan khusus untuknya.
“Hanya ini yang bisa Vina berikan di
hari ulang tahun ayah. Selamat ulang tahun, ayah.” Kuusap-usap rumah kecil dari
tanah itu. Lalu aku pulang karena hujan telah mengepungku.
Di dalam angkot, aku melihat anak
kecil yang dipangku ayahnya. Anak itu tertidur pulas. Hm, aku rindu memori
seperti itu. Kini hanya bisa kunikmati dengan melihat gambar nyata yang selalu
kutemu di mana pun aku berada. Rindu padanya selalu mendekapku. Meski baru saja
aku menemuinya, aku ingin kembali lagi kesana.
“Ayah…” ucapku pelan. Lelaki di
hadapanku tersenyum.
Aku tiba di rumah dengan baju
sedikit basah. Untunglah, hujan berhenti saat angkot menurunkanku. Aku
membersihkan tubuhku. Lalu kubantu ibu menyiapkan pekerjaan rumah. Malamnya,
kami berdua merayakan hari kelahiran ayah. Memotong kue kesukaannya. Memakannya
dengan senyuman rindu.
“Selamat ulang tahun, Yah.” Ibu
memelukku dengan matanya yang sudah basah. Begitupun aku. **
Langit
Kompak, 9 Desember 2012
Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris
Fakultas Sastra Universitas Islam Sumatera Utara dan bergiat di Komunitas
Penulis Anak Kampus (KOMPAK).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar