Minggu, 07 April 2013

Cerpen : ULANG TAHUNMU (Sabtu, 30 Maret 2013)


Oleh : Anesti Rahayu


E
ntah kenapa aku bahagia jika hujan bunuh diri dari langit. Keberaniannya menjatuhkan diri dari singgasana langit demi sejukkan bumi yang gersang. Betapa tidak, satu harian ini matahari sudah memanggang kulit pun keringkan kerongkongan. Bahkan tumbuhan pun berteriak meminta hujan segera datang beri pertolongan. Tuhan memang maha adil, diberikan-Nya tumpahan air agar kami penghuni bumi tak lagi merintih.
Aku masih ingat tentang sebuah cerita. Kisahkan pelangi yang kesepian. Itu kenapa pelangi selalu muncul setelah hujan. Ia tak ingin makhluk siapapun itu merasa kesepian seperti dirinya. Ya, dia memang tak sendirian. Ada banyak warna. Tak hanya merah tapi warna lainnya turut dampingi. Karena ia tak ingin kesepian, maka ia meminta teman-temannya ikut cerahkan warnanya. Melengkapi. Membuatnya lebih indah. Maka, dengan itu ia berharap bisa memberi senyuman bagi siapa saja yang melihatnya. Setelah hujan ia barulah menampakkan diri karena ia ingin tunjukkan bahwa hujan bukanlah tangisan tanpa henti. Setelah tangis pasti ada senyum. Itulah pelangi.
Aku tersenyum pandangi langit sore ini. Pelangi telah menyapaku dengan pesona warna yang tiada bisa kuungkap dengan kata-kata akan keindahannya. Tapi tanpa terasa ada yang merembes di kedua pipiku. Aku tak bisa menahan butiran kristal bening yang jatuh. Tiap kali aku melihat pelangi, aku teringat padanya. Sosok yamg sangat berarti bagiku lebih dari apapun.
Kedua bola mataku yang bundar menangkap seorang gadis berbalut kaos dan celana pendek santai sedang berbahagia bersama lelaki berkumis. Bermain kejar-kejaran di halaman depan rumahnya. Mereka sangat akrab. Sangat akrab. Menikmati sore setelah hujan bersama cerianya cahaya pelangi.
Sayangnya, aku tak seberuntung gadis itu. Aku tak memiliki sosok seperti lelaki itu. Tak bisa bermain apalagi tertawa bersama-sama. Aku hanya punya wanita yang selama Sembilan bulan lebih rahimnya menjadi rumahku. Ibu membesarkanku sendirian dengan cinta pun kasih sayangnya. Sejak aku berusia lima tahun, sang khalik memanggil pendamping ibuku ke pangkuan-Nya. Aku kehilangannya.
Dulu dia yang tak pernah alpa membacakan dongeng sebelum lelapku. Mengecup keningku jika aku sudah terbang di alam mimpi. Mengacak geram rambutku yang panjang jika aku sedikit nakal. Namun, kini aku harus kesepian tanpanya. Terlebih ibuku yang selalu mendoakannya di tiap sujudnya.
Ingin sekali aku bisa kembali ke masa silam. Dimana aku masih bisa bersamanya. Tapi takdir sudah tergaris. Dia telah tiada. Tapi dia tak benar-benar pergi dari hidupku sebab dia selalu ada di hati pun di tiap doaku. Aku sangat mencintainya. Aku bahagia karena dia telah tenang di pangkuan-Nya.
***
            Hari ini aku akan membawakan kado khusus untuknya. Kenapa? Karena hari ini dia berulang tahun. Meski tak bisa bertatap muka, tapi aku masih bisa menciumnya. Telah kusiapkan sebuah lukisan yang kubuat sendiri. Ada aku, ibu, dan dirinya dalam lukisan itu. Kuhias dengan bingkai paling cantik terbuat dari bambu.
            Aku pergi menemuinya sendirian. Ibuku sedang sibuk dengan mesin jahitnya. Pesanan dari pelanggan banyak sekali. Tapi bukan berarti ibu melupakan hari paling istimewa ini. Aku lihat ibu juga sudah membuat sebuah kue balck forest kesukaan suaminya. Rencananya nanti malam kami akan merayakannya di rumah berdua. Ya, hanya berdua.
            Nah, aku sudah sampai di tempat yang kurindukan. Meski tiap minggu aku kesini tapi aku selalu rindu. Rindu pada penghuni di dalamnya. Kali ini, aku tak ingin menangis. In kan hari bahagia untuknya. Aku nggak boleh menangis. Ya kan?
            Di sisi rumah yang sangat kecil, dihiasi rumput-rumput indah aku duduk manis. Seperti biasa aku selalu berdoa terlebih dahulu. Lalu aku akan menyiram gundukan tanah di depanku dengan sedikit air dari botol yang telah kubawa. Pun menaburkan sedikit bunga agar dia tersenyum.
            Kemudian aku mencium nisan di hadapanku. Aku tak ingin menangis.
            “Jangan menangis Vina.” batinku. Aku langsung bercerita apa saja yang ingin kuceritakan padanya. Dan kuletakkan kado yang sudah kusiapkan khusus untuknya.
            “Hanya ini yang bisa Vina berikan di hari ulang tahun ayah. Selamat ulang tahun, ayah.” Kuusap-usap rumah kecil dari tanah itu. Lalu aku pulang karena hujan telah mengepungku.
            Di dalam angkot, aku melihat anak kecil yang dipangku ayahnya. Anak itu tertidur pulas. Hm, aku rindu memori seperti itu. Kini hanya bisa kunikmati dengan melihat gambar nyata yang selalu kutemu di mana pun aku berada. Rindu padanya selalu mendekapku. Meski baru saja aku menemuinya, aku ingin kembali lagi kesana.
            “Ayah…” ucapku pelan. Lelaki di hadapanku tersenyum.
            Aku tiba di rumah dengan baju sedikit basah. Untunglah, hujan berhenti saat angkot menurunkanku. Aku membersihkan tubuhku. Lalu kubantu ibu menyiapkan pekerjaan rumah. Malamnya, kami berdua merayakan hari kelahiran ayah. Memotong kue kesukaannya. Memakannya dengan senyuman rindu.
            “Selamat ulang tahun, Yah.” Ibu memelukku dengan matanya yang sudah basah. Begitupun aku. **

Langit Kompak, 9 Desember 2012




Penulis adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Islam Sumatera Utara dan bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar