Sabtu, 13 April 2013

CORONG : UJIAN NASIONAL




B
ulan ini bulan Ujian Nasional (UN). Pekan pertama, 15-18 April 2013 UN Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), disusul pekan berikutnya SLTP dan Sekolah Dasar. Ini merupakan UN kesekian dengan menggunakan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Mampukah UN mengatasi nasib bangsa?
Prosentase APBN di sektor pendidikan itu konon murni untuk pelayanan publik/masyarakat, tidak termasuk keperluan dinas. Kebijakan pembangunan pendidikan dalam kurun waktu tertentu meliputi peningkatan akses masyarakat terhadap pendidikan lebih berkualitas melalui pelaksanaan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Selain itu, pemberian akses yang lebih besar kepada kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkau layanan pendidikan, seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil, masyarakat di daerah-daerah konflik atau  masyarakat penyandang cacat.
Walaupun sebelumnya telah ada upaya dari pemerintah khususnya pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan program pemberantasan buta huruf melalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket A  untuk  anak usia setara SD, kejar Paket B untuk anak usia setara SMP serta kejar Paket C untuk anak usia setara SMA.
Namun demikian program itupun kurang dapat berjalan secara maksimal karena berbagai faktor dan kondisi. Sehingga pada awal tahun 1994 pemerintah kembali mencanangkan program wajib belajar 9 tahun. Akan tetapi sampai kini masih banyak anak usia sekolah yang tidak dapat mengikuti pendidikan sebagimana diharapkan.
Sebagiamana dipaparkan dalam temuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bahwa jumlah anak usia 7-15 tahun yang belum pernah sekolah masih sekitar 693,7 ribu orang atau sekitar 1,7 %. Sementara, yang tidak bersekolah lagi baik karena putus sekolah maupun  karena tidak melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan menengah sekitar 2,7 juta orang atau sekitar 6,7 % dari total penduduk usia 7-15 tahun.
Secara komulatif jumlah siswa putus sekolah dalam kurun waktu 2 tahun terakhir mencapai 1,39 juta untuk jenjang SD/MI, 535,7 ribu untuk jenjang SMP/MTs dan 352, 6 ribu untuk jenjang SMA/ SMK/MA. Untuk itu, sejak tahun 1998, pemerintah melakukan berbagai langkah antisipasi dalam mencegah meluasnya dampak krisis moneter khususnya untuk kalangan keluarga miskin dalam mengakses pendidikan yaitu dengan kebijakan Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) bidang pendidikan.
Melalui program JPS itu, pemerintah memberikan beasiswa secara besar-besaran kepada siswa dari kalangan keluaraga kurang mampu yaitu sebanyak 1,8 juta siswa SD/MI, 1,65 juta siswa SMP/MTs dan 500 ribu siswa SMA/SMK/MA. Kemudian program ini ditingkatkan jumlah penerimanya sejak tahun 2001 dengan tambahan sumber biaya dari Program Pengurangan Subsidi BBM(PKPS-BBM).
Meskipun program JPS telah berakhir pada 2003, pemerintah tetap melanjutkan pemberian beasiswa tersebut melalui PKPS-BBM. Kebijakan pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) pada 2005 dikhawatirkan akan menurunkan kemampuan daya beli penduduk miskin.
Hal ini lebih lanjut akan menghambat upaya penuntasan Program Wajib Belajar Dasar Sembilan Tahun karena penduduk miskin akan semakin sulit memenuhi kebutuhan akan biaya pendidikan. Oleh karena itu program PKPS-BBM  bidang pendidikan perlu dilanjutkan pelaksanaanya. 
Undang-undang Sisdiknas pun mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut maka pemerintah wajib memberikan layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar (SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan yang sederajat).
Dengan adanya pengurangan subsidi bahan bakar minyak mulai tahun 2005, sejalan dengan penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, pemerintah memprogramkan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS) bagi SD/MI/SDLB  dan SMP/MTs/SMPLB negeri /swasta dan Pesantren Salafiyah serta sekolah keagamaan non islam setara SD dan SMP yang menyelenggarakan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, yang selanjutnya disebut sekolah. 
Dengan adanya program Bantuan Operasional Sekolah ini peserta didik di tingkat pendidikan dasar dibebaskan beban biaya operasional sekolah atau dengan kata lain tidak dipungut biaya. Asumsi sebagian besar masyarakat bahwa bantuan operasional sekolah (BOS) berarti sekolah gratis, memang tidak  selalu salah.
Dengan kisaran angka BOS sebesar Rp 20.000,00 per murid per bulan untuk siswa SD dan Rp 30.000,00 per murid per bulan untuk SLTP  yang dihitung dari hasil perhitungan biaya satuan (unit cost) rata-rata yang ditanggung oleh masyarakat/orang tua, sehingga kalau biaya yang dibebankan pada orang tua ini ”diambil alih“ oleh pemerintah melalui penyediaan dana BOS, mestinya secara logika masyarakat sudah tidak perlu membayar lagi.
Namun besarnya  kebutuhan  sekolah untuk melayani satu murid tidak sama dengan biaya yang ditanggung masyarakat. Untuk SD, kisarannya bisa mencapai Rp 50.000,00 -    Rp 100.000,00 per murid per bulan yang dihitung  dari penyedia layanan atau tingkat sekolah.
Di tengah hiruk pikuknya UN dan pelaksanaan BOS itu, mulai 2013 ini pula pemerintah bakal menggelontorkan kurikulum baru yang disebut Kurikulum 2013. Ya, semoga saja pendidikan kita  dapat membentuk ahlak yang baik pada anak didik sehingga bangsa ini terlepas dari lubang jarumkemelaratan. Semoga. ***



Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar