B
|
ulan ini
bulan Ujian Nasional (UN). Pekan pertama, 15-18 April 2013 UN Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA), disusul pekan berikutnya SLTP dan Sekolah Dasar. Ini
merupakan UN kesekian dengan menggunakan 20 persen Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN). Mampukah UN mengatasi nasib bangsa?
Prosentase APBN di sektor pendidikan itu konon murni
untuk pelayanan publik/masyarakat, tidak termasuk keperluan dinas. Kebijakan
pembangunan pendidikan dalam kurun waktu tertentu meliputi peningkatan akses
masyarakat terhadap pendidikan lebih berkualitas melalui pelaksanaan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun.
Selain itu, pemberian akses yang lebih besar kepada
kelompok masyarakat yang selama ini kurang dapat menjangkau layanan pendidikan,
seperti masyarakat miskin, masyarakat yang tinggal di daerah terpencil,
masyarakat di daerah-daerah konflik atau masyarakat penyandang cacat.
Walaupun sebelumnya telah ada upaya dari pemerintah
khususnya pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan program pemberantasan
buta huruf melalui Kelompok Belajar (Kejar) Paket A untuk anak usia
setara SD, kejar Paket B untuk anak usia setara SMP serta kejar Paket C untuk
anak usia setara SMA.
Namun demikian program itupun kurang dapat berjalan
secara maksimal karena berbagai faktor dan kondisi. Sehingga pada awal tahun
1994 pemerintah kembali mencanangkan program wajib belajar 9 tahun. Akan tetapi
sampai kini masih banyak anak usia sekolah yang tidak dapat mengikuti pendidikan
sebagimana diharapkan.
Sebagiamana dipaparkan dalam temuan Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) bahwa jumlah anak usia 7-15 tahun yang
belum pernah sekolah masih sekitar 693,7 ribu orang atau sekitar 1,7 %. Sementara,
yang tidak bersekolah lagi baik karena putus sekolah maupun karena tidak
melanjutkan dari SD/MI ke SMP/MTs dan dari SMP/MTs ke jenjang pendidikan
menengah sekitar 2,7 juta orang atau sekitar 6,7 % dari total penduduk usia
7-15 tahun.
Secara komulatif jumlah siswa putus sekolah dalam kurun
waktu 2 tahun terakhir mencapai 1,39 juta untuk jenjang SD/MI, 535,7 ribu untuk
jenjang SMP/MTs dan 352, 6 ribu untuk jenjang SMA/ SMK/MA. Untuk itu, sejak
tahun 1998, pemerintah melakukan berbagai langkah antisipasi dalam mencegah meluasnya
dampak krisis moneter khususnya untuk kalangan keluarga miskin dalam mengakses
pendidikan yaitu dengan kebijakan Program Jaringan Pengaman Sosial (JPS) bidang
pendidikan.
Melalui program JPS itu, pemerintah memberikan beasiswa
secara besar-besaran kepada siswa dari kalangan keluaraga kurang mampu yaitu
sebanyak 1,8 juta siswa SD/MI, 1,65 juta siswa SMP/MTs dan 500 ribu siswa
SMA/SMK/MA. Kemudian program ini ditingkatkan jumlah penerimanya sejak tahun
2001 dengan tambahan sumber biaya dari Program Pengurangan Subsidi
BBM(PKPS-BBM).
Meskipun program JPS telah berakhir pada 2003, pemerintah
tetap melanjutkan pemberian beasiswa tersebut melalui PKPS-BBM. Kebijakan
pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menaikkan harga bahan bakar
minyak (BBM) pada 2005 dikhawatirkan akan menurunkan kemampuan daya beli
penduduk miskin.
Hal ini lebih lanjut akan menghambat upaya penuntasan
Program Wajib Belajar Dasar Sembilan Tahun karena penduduk miskin akan semakin
sulit memenuhi kebutuhan akan biaya pendidikan. Oleh karena itu program
PKPS-BBM bidang pendidikan perlu dilanjutkan pelaksanaanya.
Undang-undang Sisdiknas pun mengamanatkan bahwa setiap
warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar.
Konsekuensi dari amanat undang-undang tersebut maka pemerintah wajib memberikan
layanan pendidikan bagi seluruh peserta didik pada tingkat pendidikan dasar
(SD/MI dan SMP/MTs serta satuan pendidikan yang sederajat).
Dengan adanya pengurangan subsidi bahan bakar minyak mulai
tahun 2005, sejalan dengan penuntasan Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9
tahun, pemerintah memprogramkan pemberian bantuan operasional sekolah (BOS)
bagi SD/MI/SDLB dan SMP/MTs/SMPLB negeri /swasta dan Pesantren Salafiyah
serta sekolah keagamaan non islam setara SD dan SMP yang menyelenggarakan Wajib
Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, yang selanjutnya disebut sekolah.
Dengan adanya program Bantuan Operasional Sekolah ini
peserta didik di tingkat pendidikan dasar dibebaskan beban biaya operasional
sekolah atau dengan kata lain tidak dipungut biaya. Asumsi sebagian besar
masyarakat bahwa bantuan operasional sekolah (BOS) berarti sekolah gratis,
memang tidak selalu salah.
Dengan kisaran angka BOS sebesar Rp 20.000,00 per murid
per bulan untuk siswa SD dan Rp 30.000,00 per murid per bulan untuk SLTP
yang dihitung dari hasil perhitungan biaya satuan (unit cost) rata-rata yang
ditanggung oleh masyarakat/orang tua, sehingga kalau biaya yang dibebankan pada
orang tua ini ”diambil alih“ oleh pemerintah melalui penyediaan dana BOS,
mestinya secara logika masyarakat sudah tidak perlu membayar lagi.
Namun besarnya kebutuhan sekolah untuk
melayani satu murid tidak sama dengan biaya yang ditanggung masyarakat. Untuk
SD, kisarannya bisa mencapai Rp 50.000,00 - Rp 100.000,00 per
murid per bulan yang dihitung dari penyedia layanan atau tingkat sekolah.
Di tengah hiruk pikuknya UN dan pelaksanaan BOS itu,
mulai 2013 ini pula pemerintah bakal menggelontorkan kurikulum baru yang
disebut Kurikulum 2013. Ya, semoga saja pendidikan kita dapat membentuk ahlak yang baik pada anak
didik sehingga bangsa ini terlepas dari lubang jarumkemelaratan. Semoga. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar