Oleh : Budi Hatees
A
|
CAP saya baca tulisan dari para akademisi
sastra di Kota Medan yang dihasratkan sebagai kritik sastra. Mereka bicara, terutama, tentang
cerpen-cerpen yang muncul secara kontinyu di ruang-ruang sastra media massa.
Namun, setiap kali membacanya, mendadak saya merasa disedot ke dalam ruang
kelas (kuliah) saat pelajaran sastra berlangsung.
Di sana ada
akademisi itu, sibuk menceritakan kembali isi karya sastra, menerangjelaskan
motif para karakter, mengurai unsur
dalam dan unsur luar, kemudian meminjam sejumlah teori sastra. Tapi,
saya justru jadi bingung, untuk apa
akademisi itu di sana jika tujuannya hanya mengulang kembali apa yang ada dalam
teks sastra? Tanpa kehadirannya, tidaklah sulit mengulang-ulang apa yang ada
dalam teks karya sastra itu, tinggal membaca paragraf demi paragraf.
Tulisan yang
dihasratkan sebagai kritik sastra itu justru mengingatkan saya pada karya-karya
Laila S. Chudori. Sastrawan cum
jurnalis yang bekerja di Majalah
Tempo ini, selalu menulis tentang film-film baru dari Holliwood yang masuk
ke negeri ini. Dia menguraikan kembali isi film itu, menerangjelaskan makna
setiap fragmen di dalamnya, lalu menarik sebuah simpul tentang bagaimana hasil
kerja sutradara, permainan acting para pemain, dan kualitas naskah skenario
yang ditulis. Terakhir, dia akan membandingkan karya sinematografi itu dengan
karya sebelumnya, kemudian membuat simpul tentang bagus tidaknya karya tersebut
untuk dinikmati para penonton.
Apa yang
dilakukan Laila S. Chudori acap merangsang saya untuk secepatnya pergi ke
gedung-gedung Sineplex, memburu untuk menonton film-film baru itu. Sering saya
puas karena hasil apresiasi Laila S. Chudori atas film itu brilian, tapi tak jarang saya kecewa. Pujian-pujiannya, terkesan, terlalu
berlebihan. Tapi, saya pikir, mungkin karena tulisan itu—sebagaimana saya juga
acap melakukan hal serupa sebagai bentuk kerja sama dengan jaringan pelaku
bisnis bioskop di negeri ini—dibuat untuk mendukung bisnis pelaku usaha
jaringan bioskop.
Meskipun
begitu, tulisan Laila S. Chudori lebih jelas sikap dan pilihannya dibandingkan
sikap dan pilihan para akademisi ketika menulis tentang cerpen-cerpen yang
muncul di ruang sastra media-media di Kota Medan. Para akademisi itu menulis
tentang cerpen-cerpen yang sudah dipublikasikan, dan karenanya sudah dibaca oleh public.
Sementara Laila S. Chudori menulis tentang film yang belum ditonton. Sebab itu,
apa pun yang ditulis Laila S. Chudori tentang film, dia tidak akan terperosok
jauh ke dalam sikap redanden yang
begitu kuat melatarbelakangi tulisan-tulisan para akademisi sastra.
Makanya,
para akademisi sastra di Kota Medan—dengan tulisan-tulisan yang dihasratkan
sebagai kritik sastra itu—justru menegaskan satu penyakit yang sudah umum
ditemukan dalam dunia kesusastraan kita. Penyakit yang ditemukan pertama kali
oleh A. Teuw ketika akademisi dari Leiden, Belanda, ini menyatakan
ketidakpuasannya atas hasil kritik para akademisi sastra terhadap sejumlah
sajak penyair Indonesia.
Tak usahalah
saya sebut siapa yang menulis kritik terhadap sajak Toety Heraty Noerhady dan
Subagio Sastrowardoyo itu, cukup saya
singgung betapa public sastra di negeri ini pasti sangat akrab dengan
sajak-sajak kedua penyair itu. Sajak-sajak Toety Heraty Noerhady ada dalam buku
Mimpi dan Pretensi, dikenal sangat
kuat akan nilai-nilai filosofi hidup, sama halnya dengan Subagio Sastrowardoyo
yang sajaknya bisa ditemukan dalam banyak buku. Yang jelas, A. Teuw
tak bermaksud mengejek para akademisi sastra, sekalipun saya (mungkin juga
Anda) segera mempertanyakan bagaimana mungkin kemampuan para akademisi sastra
dalam mengkritisi karya sastra menjadi kurang memuaskan?
Persoalannya
sama seperti yang saya singgung di awal tulisan ini. Para akademisi sastra
menulis tulisan yang dihasratkan sebagai kritik sastra, tetapi isinya melulu
soal mengulang-ulang isi karya sastra yang dibaca. Dan, tentu, seperti acap
diteriakkan Saut Situmorang—kritikus sastra dari Yogjakarta—yang berkesimpulan:
“Sebagian besar dari tulisan “kritik sastra” itu sebenarnya lebih pantas dimasukkan dalam kategori tulisan “apresiasi” atau “komentar”
sastra saja”.
Saya
teringat pada komentator pertandingan sepak bola di televisi. Mereka, ketika
bermain sepak bola saja ngos-ngosan, tapi punya kemampuan luar biasa untuk menilai
bagaimana seharusnya seorang pemain sepak bola memberi umpan dan bekerja sama
di lapangan. Mereka menganalisis saat pertandingan berlangsung, dan sering,
mereka lebih hebat dari seorang pelatih sekaliber Mourinho.
Komentator
sepak bola itu, bukan pemain sepak bola yang andal, dan sangat mungkin tak akan
mampu menceploskan bola ke gawang seorang kiper profesional. Tapi, ulah para
komentator ini menyebabkan, public menganggap sepak bola itu sesuatu yang
mudah. Tinggal menyepak bola, menceploskan bola ke gawang lawan. Ulah
komentator sastra juga menyebabkan karya sastra menjadi sesuatu yang remeh, dan
setiap orang kemudian menganggap bahwa menulis karya sastra itu adalah
pekerjaan yang gampang. Makanya, apa yang menimpa rumah tangga sastra kita
sejak lama, sampai hari ini tetap tak bisa dicarikan solusinya.
Saya
teringat Wiratmo Sukito ketika menulis
"Kegagalan Kritik Sastra Indonesia Dewasa Ini", Harian Kami edisi 30 Oktober 1968.
Dia menulis: “Keadaan hidup sastra dewasa ini sangat memberi kesan
kepada kita, bahwa kekuatan politik masih tetap digunakan untuk menentukan
kritik sastra. Apabila hal ini dilakukan oleh publik sastra adalah keliru untuk
melemparkan kesalahan kepada mereka, karena yang menjadi persoalan pokok ialah
wibawa kritik sastra dalam masyarakat.”
Pada akhir Oktober 1968, Wiratmo Sukito menyalahkan para
kritikus sastra. Goenawan Mohamad dalam esainya ” Tentang Kewibawaan Kritik”
(ada dalam buku Kesusastraan dan
Kekuasaan, 1993), menolak
menyalahkan kritikus sastra. “Kewibawaan
kritik sastra kita di masyarakat sekarang ini tidak ada,” tulis Gunawan
Mohammad, “karena ia belum pernah ada.”
Dan, memang, itulah persoalan utama
dunia sastra kita; kritik sastra tak berwibawa. Tapi, kritik sastra tidak akan
mungkin berwibawa kalau isinya melulu tentang apresiasi dan komentar, hal-hal
yang sudah dipahami oleh publik. Para akademisi sastra, mereka yang berkutat dengan sekian banyak
teori, yang melakukan kerja analisis dengan sekian banyak metoda, seharusnya
mampu menawarkan gagasan-gagasan brilian untuk menerangjelaskan kandungan dalam
karya sastra kepada public.
Saya tak berharap kerja akademisi sastra dengan posisi
legislator yang acap melakukan beatifikasi atau penobatan, seperti yang selama
ini menjadi pilihan HB Jassin. Tapi,
masyarakat sastra kita, juga para sastrawannya, adalah orang-orang yang terlalu
berharap agar kritikus sastra bisa tampil sebagai lembaga pemberi sertifikasi.
Seorang penulis karya sastra akan merasa kurang percaya diri sebelum ada
sastrawan yang mengkritisi karyanya, lalu berlomba-lomba meminta endorsmen untuk menyebut karyanya
sebagai karya yang bagus dan luar biasa.
Sastra, karenanya, tidak dinilai berdasarkan derajat sastra,
tetapi berdasarkan anasir-anasir politis. Buku sastra diterbitkan, lalu diberi endorsmen dari sastrawan terkenal, dan dihasratkan hal itu akan membuat buku
tersebut laris sebagai produk kapitalis. Komentator sastra pun akan memberi
pengantar yang luar biasa, melebih-lebihkan, dan membangga-banggakan sesuatu
yang sesungguhnya penuh kekurangan dan tak pantas dibanggakan.
Maka, beginilah jadinya, dunia sastra kita seperti jalan di
tempat. Kita member sanjungan yang luar biasa terhadap novel yang laris manis
tetapi tak punya ruh sastra. Tak heran
bila penulis novel Laskar Pelangi,
kemudian mendaulat dirinya sendiri sebagai sastrawan internasional sembari
meledek para kritikus sastra di negeri ini sebagai nonsense. ***
Penulis adalah esais,
tinggal di Kota Sipirok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar