Tutuplah Jendela
Tutuplah jendelamu. Bukankah jalanan kini
Deras menghamburkan batu-batu?
Aku baca rautmu. Sungkawa masih melaut
Di situ. Entah bagaimana, orang-orang jelaga itu
Menyambitkan makian ke liang pendengaranmu
Lalu batu-batu deras menerjuni tubuhmu
Sedang tanganmu murni dan langkahmu lurus
Menuju pusat cahaya
Siapa meniup badai dan menghamburkan
Debu-debu, mengeruhkan kolam ruhani mereka?
Kata-kata sampah berhamburan di luar rumah
Dan batu-batu masih bergetaran
Dalam genggaman orang-orang. Tutuplah
Jendela. Bukankah kau kini harus
Membebat luka?
Jepara, 2012
Dari Jendela
Dari jendela tanpa kaca itu
Ia pandangi halaman disesaki sampah
Dan batu-batu. Matanya kelam
Seperti disaput cahaya kedalaman hutan
Waktu tak henti mendenyutkan duka
Pada jantungnya, membawanya
Sampai pada rumah
Sunyi ini. Kosong tanpa penghuni
Atap dengan lubang besar
Kayu yang telah lapuk di mana-mana
Tiang-tiang dan dinding miring
Begitu ingin menyium tanah
Nestapa kembali meruap di sini
Seperti pernah meruap di rumah dulu
Hidup telah tergenang airmata. Terbebat
Sampah. Terhimpit batu
Jepara, 2012
Memetik Bunga Kemboja
Ia memetik bunga-bunga kemboja
Yang menjulur rendah di halaman rumahnya
Ketika matahari belum sepenuhnya rekah
Tak mungkin kau bertanya
Untuk apa. Hatinya kelewat pilu untuk menjawab
Sekian ingin tahumu
Dari ranting pohon sebelah manakah
Angin berayun lalu menisik sehelai rambut
Yang lunglai di kelam dahinya? Cahaya keperakan
Memicingkan matanya yang sembab
Dilimbur tangis panjang. Jarum waktu pun
Jadi ngungun dan menyendat
Bahkan ketika matahari belum sepenuhnya rekah
Akhirnya ia mesti memetik
Bunga-bunga kemboja itu. Menaruhnya
Di tempayan dengan jemari gemetaran
Sedang airmatanya kembali terurai oleh pedih
Sebuah kepergian. Kita melihatnya dari sini
Jepara, 2012
Saat-saat Kembali
Pohon jambu batu itu masih menjatuhkan
Keteduhan yang sama pada tubuhmu. Seperti
Bertahun lalu. Di halaman belakang, direngkuh
Jemari lembut angin berlesatan dari jalanan
Di luar pagar, helai-helai rambutmu pun terberai
Duduk di bangku kayu dengan warna yang sama
Letak yang sama, kini kau kembali menemukan
Tubuh setelah disamun rutin panjang yang melupakan
Kau fahami daun-daun hari sesungguhnya
Telah banyak bertanggalan dari ranting usiamu
Di sudut itu, pada sebuah batu pun masih
Tertakik kata-kata yang dulu. Membuatmu
Tersenyum dan bertanya di mana karib itu
Kini berada. Adakah masih ingat wangi tubuhmu
Yang acap ia madahi dalam sajak-sajaknya?
Duduk di bawah pohon jambu batu menikmati
Saat-saat kembali, betapa ingin melupakan
Nyeri yang diborehkan saat-saat kepergian
Jepara, 2012
Memandang Bulan
Kau tengadah ke langit keperakan
Dan memandang bulan. Ini jam berapa atau
Hari apa, seperti lesap dari senarai ingin tahu
Tentang dunia yang tak henti mengitarimu
Angin malam menggeraikan rambut dan nakal
Menyusup ke sebalik jaketmu. Sedang malam
Terus berangkat. Makin mendentangkan
Talu sunyi ke dadamu. Di matamu, cahaya
Memuai dan berlinangan
Jepara, 2012
Ia Telah Lupa
Ia telah lupa bagaimana menulis
Puisi cinta. Tak ada imaji bunga dan kupu-kupu
Sayap warna-warni terbang mengitarinya
Juga udara diruapi aroma wangi
Ia telah lupa. Sebab setelah khianat
Kekasih itu, dari tangannya hanya mengucur
Gairah kutuk dan makian. Tangis dan kilau
Mata pedang. Tak berkesudahan
Dan inilah satu puisinya. Kita membacanya
Dengan mata berlinangan
Jepara, 2012
Hidayat Jasn, kelahiran Jepara, 28 Agustus 1976. Senang menulis puisi sejak
masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Puisi-puisi yang ditulisnya di
antaranya terpublikasi di Suara Merdeka,
Wawasan, Solopos, Surabaya Post, Sumut Pos, Waspada, Suara Muhammadiyah,
Sabili, Radio Suara Jerman Deutsche Welle, dll, di samping ikut terantologi
dalam Nyanyian Fajar, Sajadah Kata, dan Peta Kepenyairan 18 Penyair Jawa Tengah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar