Minggu, 07 April 2013

Esai : Melestarikan Budaya Mandailing dari Waktu ke Waktu (Sabtu, 30 Maret 2013)


Oleh: Fadmin Prihatin Malau

Melestarikan, berarti lestari. Tidak punah atau hilang atau diambil pihak lain. Kondisi ini sudah acapkali terjadi. Misalnya, klaim budaya daerah yang ada di Indonesia oleh negara serumpun Malaysia, terakhir Gordang Sambilan dari kabupaten Mandailing Natal (Madina) Sumatera Utara. Malaysia, negara serumpun. Namanya juga negara serumpun. Ibarat pohon Bambu selalu tumbuh dan berkembang secara berumpun atau serumpun sehingga banyak persamaan dan kesamaan tetapi tidak persis sama.
Beranjak dari banyak persamaan, kesamaan tetapi tidak persis sama maka perlu ada penegasan yakni didaftarkan pada badan dunia. Kelemahan Pemerintah Indonesia terletak pada bidang ini sehingga banyak kebudayaan daerah yang belum didaftar pada badan dunia. Banyak yang belum mendokumentasikan budaya dan kearifan lokal pada daerahnya masing-masing.
Pusat Informasi dan Dokumentasi Mandailing (PIDM) di desa Hutapungkut Jae Kecamatan Kotanopan Kabupaten Mandaling Natal, Sumatera Utara memiliki dokumentasi tentang Budaya Mandaling dengan memiliki Museum dan Perpustakaan di Sopo Sio Parsarimpunan Ni Tondi Mandailing Saba Garabak mengoleksi alat kesenian Mandailing Ensambel Gordang Sambilan, Etek, Gondang Dua dan lainnya seperti alat-alat tradisional, foto-foto bersejarah, audiovisual, penerbitan buku serta lainnya.
Menurut pendiri PID Mandailing, dr. Rizali H Nasution, kepada penulis belum lama ini, PIDM didirikan 17 Agustus 2010 sebagai satu program Kelompok Humaniora – Pokmas Mandiri dengan misi revitalisasi sejarah, kesenian dan kebudayaan Mandailing dengan menghadirkan museum dan perpustakaan mengenai Mandailing.
Museum menghadirkan tentang kondisi Mandailing dari segi sosial dan ekonomi masyarakat Mandailing dan budaya Mandailing serta perpustakaan mengoleksi 638 judul buku dan 108 diantaranya tentang Mandailing. “PID Mandailing, melestarikan budaya tidak mengenal waktu,” kata dr. Rizali H. Nasution.
Menurutnya, Gordang Sambilan merupakan budaya dari Mandailing sudah pasti akan berdifusi. Kebudayaan bukan seperti air di dalam cangkir yang tetap di dalam cangkir. Kebudayaan itu seperti air dalam bungkusan kain, pasti merembes, berdifusi sehingga kebudayaan itu menembus ruang dan waktu.
Kebudayaan berdifusi. Artinya budaya itu berkembang dimana kebudayaan itu sedang berada. Budaya tidak dapat lepas dari manusianya sehingga budaya Mandailing tidak bisa lepas dari masyarakat Mandailing dimana pun berada, termasuk yang berada di Malaysia.
Masyarakat Mandailing yang berada di Malaysia sudah tentu membawa kebudayaannya. Seorang, sekelompok orang yang berada pada satu daerah pasti akan mengekspresikan budayanya. Berawal dari sifat budaya itu maka ketika masyarakat Mandailing yang berada di Malaysia dan dimana saja pasti mengekspresikan kebudayaannya maka dari itu perlu didaftar dan harus terdaftar.
Dikatakan Rizali, sesungguhnya kebudayaan itu tidak mengenal ruang, tidak mengenal lokasi sehingga dimanapun berada, kapanpun waktunya tetap kebudayaan Mandailing. Hal yang penting mendaftarkan atau terdaftar sebagai milik bangsa Indonesia sebagai warisan budaya bangsa Indonesia. Bila sudah terdaftar atau didaftarkan maka kekhawatiran, ketakutan masyarakat Indonesia akan hilang atau diklaem bangsa lain tidak akan terjadi,
Adat Budaya Untuk Diwariskan
Melihat kehadiran PID Mandailing satu upaya nyata untuk mempertegas eksistensi semua unsur kebudayaan Mandaling yang ada. Memberikan informasi karena perkembangan zaman dengan populasi manusia yang begitu cepat berkembang maka banyak yang tidak (kurang) mengenal sesungguhnya budaya yang dimilikinya. Adanya pusat informasi Mandailing memberikan jawaban itu seperti sekarang ini banyak yang kurang tepat, salah menyebutkan Gordang Sambilan dengan sebutan Gondang Sambilan.
Banyak yang kurang paham bahwa Gordang Sambilan merupakan ensambel yang terdiri dari Sembilan buah gendang besar dengan ukuran besar dan panjang (drum chime) yang dibuat dari kayu Ingul dan dimainkan oleh empat orang. Ukuran dan panjang gendang itu bertingkat, mulai dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar. Tabung resonator dibuat dengan cara melubangi kayu dan salah satu dari ujung lubangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membrane yang terbuat dari kulit lembu kering (disebut jangat) yang diregangkan dengan rotan sekaligus sebagai alat pengikatnya.
Budaya yang ingin diwariskan kepada generasi mendatang memang harus ada yang diwariskan, maka kehadiran PID Mandailing merupakan jawaban untuk itu meskipun masih dalam kondisi yang belum lengkap akan tetapi sudah mendekati sempurna dimana ada perpustakaan, ada koleksi alat kesenian, ada koleksi alat-alat tradisional masyarakat Mandailing tempo dulu seperti garigit, dulang, baluang dan lainnya.
Adanya koleksi audiovisual, adanya foto-foto bersejarah yang berkaitan dengan Mandailing sehingga bicara sosial, budaya Mandailing bisa melihat di PID Mandailing. Kehadiran PID Mandailing sebagai wujud nyata dalam melestarikan budaya yang ada sehingga tidak hilang begitu saja atau diklaem bangsa lain.
Melestarikan budaya yang ada sangat penting karena budaya itu harus terus berkembang, tidak mengenal waktu dan ruang, harus terus ada dari generasi ke generasi, jangan sampai hilang atau diklaem bangsa lain sebagai miliknya, sebagai warisan dari leluhurnya.
Untuk melestarikan budaya leluhur bangsa kerja yang luhur oleh semua komponen anak bangsa dan yang lebih penting lagi pemerintah harus berada pada barisan depan mengawal asset budaya bangsa sebagai jati diri bangsa yang mandiri. Semoga. ***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar