Oleh: Fadmin Prihatin Malau
Melestarikan, berarti lestari. Tidak
punah atau hilang atau diambil pihak lain. Kondisi ini sudah acapkali terjadi.
Misalnya, klaim budaya daerah yang ada di Indonesia oleh negara serumpun
Malaysia, terakhir Gordang Sambilan dari kabupaten Mandailing Natal (Madina)
Sumatera Utara. Malaysia, negara serumpun. Namanya juga negara serumpun. Ibarat
pohon Bambu selalu tumbuh dan berkembang secara berumpun atau serumpun sehingga
banyak persamaan dan kesamaan tetapi tidak persis sama.
Beranjak dari
banyak persamaan, kesamaan tetapi tidak persis sama maka perlu ada penegasan
yakni didaftarkan pada badan dunia. Kelemahan Pemerintah Indonesia terletak
pada bidang ini sehingga banyak kebudayaan daerah yang belum didaftar pada
badan dunia. Banyak yang belum mendokumentasikan budaya dan kearifan lokal pada
daerahnya masing-masing.
Pusat Informasi
dan Dokumentasi Mandailing (PIDM) di desa Hutapungkut Jae Kecamatan Kotanopan Kabupaten
Mandaling Natal, Sumatera Utara memiliki dokumentasi tentang Budaya Mandaling
dengan memiliki Museum dan Perpustakaan di Sopo Sio Parsarimpunan Ni Tondi
Mandailing Saba Garabak mengoleksi alat kesenian Mandailing Ensambel Gordang
Sambilan, Etek, Gondang Dua dan lainnya seperti alat-alat tradisional,
foto-foto bersejarah, audiovisual, penerbitan buku serta lainnya.
Menurut pendiri
PID Mandailing, dr. Rizali H Nasution, kepada penulis belum lama ini, PIDM
didirikan 17 Agustus 2010 sebagai satu program Kelompok Humaniora – Pokmas
Mandiri dengan misi revitalisasi sejarah, kesenian dan kebudayaan Mandailing
dengan menghadirkan museum dan perpustakaan mengenai Mandailing.
Museum
menghadirkan tentang kondisi Mandailing dari segi sosial dan ekonomi masyarakat
Mandailing dan budaya Mandailing serta perpustakaan mengoleksi 638 judul buku
dan 108 diantaranya tentang Mandailing. “PID Mandailing, melestarikan budaya
tidak mengenal waktu,” kata dr. Rizali H. Nasution.
Menurutnya, Gordang
Sambilan merupakan budaya dari Mandailing sudah pasti akan berdifusi. Kebudayaan bukan seperti air di
dalam cangkir yang tetap di dalam cangkir. Kebudayaan itu seperti air dalam
bungkusan kain, pasti merembes, berdifusi
sehingga kebudayaan itu menembus ruang dan waktu.
Kebudayaan berdifusi. Artinya budaya itu berkembang
dimana kebudayaan itu sedang berada. Budaya tidak dapat lepas dari manusianya
sehingga budaya Mandailing tidak bisa lepas dari masyarakat Mandailing dimana
pun berada, termasuk yang berada di Malaysia.
Masyarakat
Mandailing yang berada di Malaysia sudah tentu membawa kebudayaannya. Seorang,
sekelompok orang yang berada pada satu daerah pasti akan mengekspresikan
budayanya. Berawal dari sifat budaya itu maka ketika masyarakat Mandailing yang
berada di Malaysia dan dimana saja pasti mengekspresikan kebudayaannya maka
dari itu perlu didaftar dan harus terdaftar.
Dikatakan
Rizali, sesungguhnya kebudayaan itu tidak mengenal ruang, tidak mengenal lokasi
sehingga dimanapun berada, kapanpun waktunya tetap kebudayaan Mandailing. Hal
yang penting mendaftarkan atau terdaftar sebagai milik bangsa Indonesia sebagai
warisan budaya bangsa Indonesia. Bila sudah terdaftar atau didaftarkan maka kekhawatiran,
ketakutan masyarakat Indonesia akan hilang atau diklaem bangsa lain tidak akan
terjadi,
Adat
Budaya Untuk Diwariskan
Melihat
kehadiran PID Mandailing satu upaya nyata untuk mempertegas eksistensi semua
unsur kebudayaan Mandaling yang ada. Memberikan informasi karena perkembangan
zaman dengan populasi manusia yang begitu cepat berkembang maka banyak yang
tidak (kurang) mengenal sesungguhnya budaya yang dimilikinya. Adanya pusat
informasi Mandailing memberikan jawaban itu seperti sekarang ini banyak yang
kurang tepat, salah menyebutkan Gordang Sambilan dengan sebutan Gondang
Sambilan.
Banyak yang
kurang paham bahwa Gordang Sambilan merupakan ensambel yang terdiri dari Sembilan buah gendang besar dengan
ukuran besar dan panjang (drum chime)
yang dibuat dari kayu Ingul dan dimainkan oleh empat orang. Ukuran dan panjang
gendang itu bertingkat, mulai dari yang paling kecil sampai kepada yang paling
besar. Tabung resonator dibuat dengan cara melubangi kayu dan salah satu dari
ujung lubangnya (bagian kepalanya) ditutup dengan membrane yang terbuat dari
kulit lembu kering (disebut jangat) yang diregangkan dengan rotan sekaligus
sebagai alat pengikatnya.
Budaya yang
ingin diwariskan kepada generasi mendatang memang harus ada yang diwariskan, maka
kehadiran PID Mandailing merupakan jawaban untuk itu meskipun masih dalam
kondisi yang belum lengkap akan tetapi sudah mendekati sempurna dimana ada
perpustakaan, ada koleksi alat kesenian, ada koleksi alat-alat tradisional
masyarakat Mandailing tempo dulu seperti garigit, dulang, baluang dan lainnya.
Adanya koleksi
audiovisual, adanya foto-foto bersejarah yang berkaitan dengan Mandailing
sehingga bicara sosial, budaya Mandailing bisa melihat di PID Mandailing.
Kehadiran PID Mandailing sebagai wujud nyata dalam melestarikan budaya yang ada
sehingga tidak hilang begitu saja atau diklaem bangsa lain.
Melestarikan
budaya yang ada sangat penting karena budaya itu harus terus berkembang, tidak
mengenal waktu dan ruang, harus terus ada dari generasi ke generasi, jangan
sampai hilang atau diklaem bangsa lain sebagai miliknya, sebagai warisan dari
leluhurnya.
Untuk
melestarikan budaya leluhur bangsa kerja yang luhur oleh semua komponen anak
bangsa dan yang lebih penting lagi pemerintah harus berada pada barisan depan
mengawal asset budaya bangsa sebagai jati diri bangsa yang mandiri. Semoga. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar