Oleh : Rian
Harahap
Tatihku semakin lama semakin
jelas. Tak pernah aku tertatih-tatih lebih dari yang kubisa, inilah mungkin
saatnya. Ketika mentari enggan berkuasa atas langit. Lalu sembilu meradang di
awan menghujam pinus-pinus di kaki gunung. Aroma semerbak melukis sebentuk hati
di serai-serai sepi pagi. Kiranya air sungai tak mampu lagi ditahan oleh
bendungan dan kanal. Ia ingin meriak menggunung lalu menembus langit. Sedikit
teriak di sela keheningan bebatuan memecah seriuh-riuhnya. Kepulan gemericik
semakin buncah kala aku menimang-nimang keseriusan ini. Sikap yang kuraut dalam
simpul tatih yang menatih.
|
Empat tahun ini
aku lelah dengan seribu pinta dari manusia-manusia yang bergerak di
koridor-koridor kampus. Dosen-dosen dengan ribuan teori peninggalan
pendahulunya serta wajah ketat yang menyapa di awal pagi. Semua kuhadapi dengan
keikhlasan tanpa ada pinta di akhirnya. Kurungan-kurungan dalam diktat tebal
yang menyeranta mata agar terus terjaga dan belum lagi seikat asa yang ditumpuk
orang tua di atas pundakku. Itu yang membuat aku harus menjadi lebih dibanding
manusia lain. Lebih dalam berpikir, bertindak dan bernafas. Asa yang menumpuk
tak pula berkurang hari demi hari, ia selalu bertambah bak kemarau yang
dirancang tanpa mengenal hujan.
Aku semakin
renta dengan kejeniusan ini. Semua dituntut untuk menjadi manusia yang benar
dan manusia yang tepat guna. Rentetan hutang-hutang itu memacu pembuluh darah
ini. Tak ingin rasanya aku hanyut hanya untuk memikirkan sebuah kesiaan dalam
menjalani hidup. Hidup adalah anugerah yang selalu diperebutkan oleh jutaan
sperma yang haus akan hirupan oksigen. Menatap dunia dengan mata. Mendengar
cerita dengan telinga lalu menyicip suka dan duka dengan hati. Tentu saja
kesenangan akan hidup terus berikrar dalam sperma-sperma itu hingga akhirnya
lahirlah menyentuh bumi.
Keringat orang tuakulah yang membuatku hari ini
menangis terisak. Sungguh begitu isak dalam kalut menelisik. Kecilku dibesarkan
dari seribu keringat yang jatuh tiap terik berteriak. Ia tak takut akan panas
apalagi hanya sebuah cerita jika kulit melegam. Baginya legam adalah emas dari
tuhan bersebab ia mengais riski dengan menggali langit dan menenggelamkan
kepasrahan.
Kami tak
memiliki kebun ataupun ladang berhektar-hektar. Kami cukup memiliki cangkul dan
sabit serta beberapa alat tani lainnya. Ayah telah tiada semenjak sepuluh tahun
yang lalu. Ia tertabrak oleh truk di kota. Kata mereka seperti itu, sebab Ayah
hanya kulihat ketika masih kecil. Aku hanya ingat sedikit dari raut wajahnya.
Sekarang
tinggallah perempuan perkasa yang tak mau kompromi dengan waktu. Ibu adalah
pekerja keras, ditambah lagi dengan
urat-urat Ibu yang mengaku masih kuat untuk bergelut dengan tanah. Dari tanah
kembali ke tanah. Ibu selalu mengucapkan itu. Ayah dan Ibu persis seperti
manusia yang tak ada habis lelahnya. Tanpa ragu ia rela mengorbankan setiap
uang hasil menggarap lahan orang untuk ditabung di celengan semarnya.
Cling-cling, bunyi itu selalu mengiang dan menipuku. Bukan karena apa, hingga
aku kuliah di kota pun yang jauhnya ratusan ribu kilometer bunyi tak seberapa
itu selalu mengisi langit-langit kamar. Aku rapuh jika mendengarnya. Aku harus
berlari jangan berjalan lalu melompat dan jangan pula berhenti.
Ibu ingin aku
dan keempat adikku sekolah dengan baik, paling tidak mengikuti wajib belajar
yang ditetapkan pemerintah. Mungkin inilah resiko dari Ibu yang tidak
mendapatkan pendidikan keluarga berencana. Desaku jauh dari perencanaan matang
dari pemerintah itu. Makanya semua yang disini senang memiliki anak. Setiap
tahun pasti punya rencana memiliki anak. Banyak anak banyak rezeki, itu
filosofi yang bagus hingga akhirnya aku menjumpai kata-kata itu salah ketika
sudah di kota. Hilda, adik perempuanku serta Samsul dan Seno. Mereka begitu
rajin sekolah meski keterbatasan kadang hadir. Ya, Ibu tak pernah meminta
apa-apa. Kecuali pendidikan dan pendidikan. Pernah suatu ketika Ibu sedang
membuka lahan, namun karena begitu luasnya kami pun tak ingin hanya melihat.
Meski sekolah akan menjelang kami sudah bertekad akan membantu Ibu membuka
lahan tapi ia memang tak ingin sama. Ia ingin berbeda. Kami harus lebih pintar
darinya. Kami harus mencoba memakai seragam dan menulis serta membaca meski ia
hanya bisa mendengar. Itu yang sangat ia kecamkan padaku dan adik-adikku. Hingga
kami harus berlari melewati semak-semak untuk pergi ke sekolah setelah
mendengar itu, takut jika terlambat.
Keringat ibu
selalu mengguyur tubuhnya yang mulai layu. Diambilnya cangkul lalu dengan gagah
membelah tanah. Baginya ini bukan hanya semata pekerjaan lelaki tapi ini adalah
hidup. Hidup yang ditempuh dengan lokomotif tanpa asap. Bisa terbang bisa
melayang. Ibu pun menangis sedu, seketika mengangkat telponku yang menumpang ke
rumah pak Kepala Desa.
“Bu. esok lusa
anakmu wisuda, Ibu datang ya”
“ Nak ee, ya
kalo mbokmu datang ke kota lalu siapa
yang ke ladang. Ya kalau belum penting-penting amat, mbok disini aja”
“Tapi wisuda itu
penting lo mbok”
“Emang wisuda
itu opo?”
Aku pikir ibu
memang tidak tahu menahu mengenai kata-kata aneh ini. Bisa saja ia beranggapan
yang kukatakan ini adalah hanya sebuah permintaan kunjungan seperti seorang
anak pesantren yang hendak dikunjungi orangtuanya di pondok.
“Wisuda itu
mbok, aku uwes eneng wae kuliah”
“Habis ?”
“Iyo-iyo”
“Yo uwes ibu
datang ...”, entah suara apalagi yang terdengar seperti kegembiraan yang sudah
lama ingin pecah.
Aku senang ibu
akan datang dan betul saja. Mengenakan kebaya satu-satunya, Ibu berlari ke
arahku ketika anaknya sudah memegang gelar sarjana. Empat tahun yang lama
bagiku, bagi Ibu dan bagi cangkul-cangkul kami. Sesegera kesejukan meretas di
sekitar hatiku. Aku yakin begitu berartinya sebuah gelar ini baginya. Ia yakin
anaknya pasti mampu melakukan dengan sepenuh jiwa. Hingga tak perlu ada
keraguan meski wisuda itupun ia tahu artinya dari sebuah penjelasan kecil di
rumah kepala desa.
***
Pagi di desa.
Sejuk tanpa ada aroma kesibukan yang merongrong. Semua kabar menepi di
ujung-ujung warung. Bunyi dentang gitar menyapu sekian lama kelelahan yang
diderita. Gubuk-gubuk menyaji kesetiaan seorang istri yang mengepulkan asap
dapur. Rengekan bayi-bayi di gendongan Ibunya. Keceriaan yang tak berbatas
tanpa melihat ke atas. Seribu kupu-kupu berterbangan menjenguk sunyinya hutan
hujan di pinggir desa. Meski begitu pun aku masih saja sama, menganggur.
Pengangguran
adalah kawan yang rela berbagi cerita saat hujan, terik, sendiri, ramai hingga
kembali lagi ke hari ini. Ketika menganggur hinggap di kepalaku, banyak lagi
beban yang menghimpit tepat di ubun-ubunku. Kejadian ini serupa ketika aku
harus secepatnya menyelesaikan kuliahku. Kesempatan bekerja hanyalah untuk
orang-orang yang memiliki sanak kerabat yang ada pemerintah ataupun yang memiliki
koneksi yang begitu kuat. Irama itu sudah pasti menjadi harmoni yang serasi
dengan lakon bumi. Maka menganggur semakin lekat dengan pikiranku, sembari itu aku
terus beranjak dari keterpurukan.
Sudah hampir
setahun aku menganggur sebagai seorang sarjana. Sarjana yang mengerti betul
akan siap bekerja. Sembari itu
kusingkapkan lengan baju selama berjalannya detik yang melalui hari. Membantu
mereka yang belum sempat mengenyam berlian pendidikan. Mereka yang tak mampu
membaca, menulis dan hanya bisa mendengar. Persis seperti Ibu, gambaran itu
setidaknya harus berubah jika orang-orang menanyakan seperti apa desaku. Aku berseliweran
ke rumah-rumah, gubuk-gubuk, pinggiran sungai bahkan di tepi jurang asalkan
masih ada yang belum mengenal pendidikan.
Ibu tetap
mengurus ladang orang. Menanami cabe serta diselipkan beberapa tanaman
holtikultura. Pagi tetap menjadi pagi lalu malam kembali malam. Ibu semakin
menua, terkadang aku menyempatkan membantu ibu disela kesibukannya menata
gemburnya tanah. Ia tak pernah mengerutkan dahi hingga senjakala pun menembus
awan sutra.
Namun aku
sedikit gamang dengan kondisi Ibu. Ia lebih banyak diam sekarang. Beribu
pertanyaan menganntung di jidatku.
“Apakah karena
aku pengangguran?”
Aku malu melihat
matanya. Aku sadar sebuah pengabdian yang kulakukan ini adalah tanpa pamrih.
Hanya menelurkan insan-insan cerdik pandai tanpa imbal sedikitpun. Aku sadar
itu, konon lagi jika menatap matanya yang tipis itu. Melirik tubuhnya yang
kecil dengan legam yang menghias indah dalam lekuk-lekuk lesung pipinya.
Penasaranku membuncah, ingin kutanya padanya mengapa ia gundah gulana? Aku tak
kuat bertanya itu padanya. Waktu itu juga aku memeberanikan diri. Ia duduk di
dipan, Aku coba kesampingnya.
“Mbok, Mbok.. ,
Ada apa ya kok menung aja seharian?”
“Ga apa-apa, Nak.”
“Ayo Mbok jujur
toh.”
Sebenarnya ia
tak ingin bercerita namun sesegera mungkin ia meluapkan kegundahannya padaku.
Meski terbata di awal.
“Gini loh. Mbok
senang kalau kamu udah kerja, sangat senang. Apalagi kamu sudah mengajari
anak-anak desa ini makin pintar. Tapi ya kerjamu itu yang diberi balasan yang
setimpal dong. Mbok pingin kamu jadi orang kantoran. Kamu pergi pagi-pagi
membawa tas dengan pakaian rapi. Kamu dapat gaji yang pas tiap bulan. Mbok juga
kepingin kamu itu ditanya tetangga. Kalau kamu itu kerja di mana?”
“Anakku kerja
PNS,” ia melirik lekat ke arahku.
“Iya Mbok tapi..”
“Tapi, ya itu cuma
mimpi-mimpi, Mbok. Biar kamu gak seperti Mbok loh.”
Aku tak kuat
untuk melawan argumennya lagi. Sebab aku tak pernah diajarkan untuk menepis kemuliaan
yang dipinta orang tua. Bagiku itulah doanya padaku saat ini. Aku sungguh
menikmati kata-kata itu.
Aku sempat mendengar kabar dari tetangga kalau
salah satu pemuda di kampung sebelah menjadi pegawai negeri sipil di kantor
kecamatan. Mungkin itu yang membuat Ibu memiliki mimpi anaknya berseragam.
Begitu polosnya dan cintanya Ibu. Aku sesak dalam labirin yang tak berisi
udara. Ibu sangat mencintaiku. Lalu kutekankan pula dalam kondisi melankolis
itu bahwa aku harus bisa menempuh yang ia pinta.
Dan benar saja
tak berapa lama ada tes penerimaan pegawai negeri sipil di kabupaten. Aku
mendaftar dengan sejuta harapan yang membisu agar pinta Ibu jadi pintu nyata
cintaku padanya. Sejak saat itu, Aku berusaha menghadirkan suasana belajar yang
intens di balik tepas-tepas yang mau rubuh. Tinggallah aku menunggu hasil dari
sebuah harapan. Apakah harapan akan berbuah mimpi atau hanya ilusi? Tak sabar kugesa langkah ini. Kupacu tumitku
untuk menuju ke kantor kecamatan, tapi sebelumnya Aku pamit ke Ibu.
“Mbok, aku ke
kecamatan yo. Lihat hasil pengumuman. Doain ya, Mbok.”
“Iyo, hati-hati, Nak.”
Semakin lama
hangat tubuh ini semakin tak stabil, tak siap untuk melihat sebait kecil
namaku.
“Jarwo Prasetyo.”
Itu Aku, air
mataku penuh menganak sungai. Semua peluh tumbuh menjadi teh yang diseduh.
Penuh nikmat dan rasa manis. Tak ada luka, sakit hanya senang dan riang. Aku
menatap jauh ke langit, melihat Ibu tersenyum di balik awan. Memanggilku pulang
ke rumah dan menghendakiku mendekapnya lalu berkeliling ke ladang-ladang milik
orang. Aku akan mengajaknya dengan seragam abdi negara ini menuju kantorku.
Melihat pergi pagi dengan rapi dan pulang kesorean dengan segepok buah tangan.
Ibu pasti senang. Kuputar balik arahku searah degup jantung yang dicabik-cabik
cinta. Di mata hanya ada matanya. Di telinga hanya ada suara celengannya. Di
bibir mengucap doa padanya. Teriakku sudah kuungkap setibanya di ujung desa
kami.
“Mbok, aku lulus
jadi abdi negara. PNS Mbok, PNS!”
“Mbok, Mbok di mana?”
Belum juga
kuterima balasan sahut yang diharap. Lalu aku termangu di depan ladang-ladang.
Hanya ada jalan berlubang bersimbah darah. Tak ada perempuan. Apalagi mimpi
yang dilukis di tepi langit. Terdengar sesekali bisik-bisik di rumah tetangga.
“Mboknya Jarwo
kecelakaan waktu nyusul ke kecamatan.” ***
Penulis adalah alumni
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UMSU. Cerpen-cerpennya dimuat di Harian Sinar Harapan, Suara Pembaruan, Riau Pos, Koran
Riau,
Analisa, Waspada, Mimbar Umum, dan Medan Bisnis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar