B
|
ERJUANG.
Kata itu meluncur dari Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan
Masyarkat (Kesbangpol Linmas) Provinsi Sumatera Utara (Provsu) Drs H Eddy
Sofyan MAP ketika menjadi narasumber pembekalan calon anggota muda dan biasa
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Utara, Sabtu 23 Maret 2013.
Saya terperangah mendengar kata itu. Tentu tidak asing lagi di telinga.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, juang atau berjuang memiliki empat
pengertian : 1 berlaga (tt
binatang yg besar-besar); berlawan: dua ekor gajah jantan ~ memperebutkan betinanya;
2 memperebutkan sesuatu dng
mengadu tenaga; berperang; berkelahi: segenap rakyat ikut serta ~ untuk mencapai kemerdekaan;
3 berlanggaran (tt perahu,
ombak, dsb); 4 berusaha sekuat
tenaga tt sesuatu; berusaha penuh dng kesukaran dan bahaya: pihak keamanan sudah ~ membebaskan
saudara itu;
Namun, kata ini ternyata memiliki konotasi lain, yakni
akronim dari beras, baju, dan uang. Ia memrediksi, kemungkinan banyak yang
tidak memberikan “berjuang” sehingga jumlah pemilih pada pemilihan gubernur
Sumatera Utara barusan minim. Minimnya
tingkat partisipasi pemilih pada Pilgubsu 7 Maret 2013 tak sebanding dengan
biaya yang cukup mahal melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
2013 sebesar Rp 690 miliar untuk dua putaran.
Pelaksanaan Pilgubsu ini menjadi pembicaraan hangat di
tingkat nasional. Salah satunya terkait partisipasi pemilih yang sangat rendah
dan tercatat hanya mencapai 38% dari total pemilih sekitar 10 juta orang.
Sebagaimana
diketahui, pada pilgubsu 2013 pasangan Gus
Irawan-Soekirman memeroleh 1.027.433 suara (21,13 %), Effendi Simbolon-Jumiran
Abdi 1.183.187 (24,34 %), Chairuman Harahap-Fadli Nurzal 452.096 (9,30
%), Amri Tambunan-RE Nainggolan 594.414 (12,23 %), dan Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi 1.604.337 (33 %).
Persentase jumlah suara yang diperoleh itu
sebenarnya tidak sebanding dengan jumlah penduduk Sumatera Utara. Berdasar
Sensus Penduduk 2010, Sumatera Utara memiliki jumlah penduduk sebesar 13 juta
lebih dan yang memiliki hak suara memilih berkisar 10 juta. Nyatanya, yang
memilih hanya sebesar 38 persen sebagaimana diklaim Kepala Kesbangpol Linmas
Sumatera Utara.
Jumlah pemilih itu tentu saja tidak signifikan
dalam meraih pengaruh di daerah ini. Betapa tidak, pasangan Gatot Pujo
Nugroho-Tengku Erry Nuradi hanya didukung 1,6 juta dari 10 atau 13 juta lebih rakyat Sumatera
Utara. Bahkan, jumlahnya tidak mencapai penduduk Medan (2,3 juta). Saya
menyebut, raihan suara Gatot-Tengku merupakan kemenangan seremonial ketimbang legitimated rakyat.
Adakah yang salah dalam sistem pilkada ini? Ya,
sepertinya ada yang salah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara tampaknya
harus menempuh cara lain untuk mendongkrak peningkatan jumlah pemilih. Sebagaimana kontestan pilkada, KPU Sumut juga
harus melakukan ”berjuang” kepada para pemilih.
KPU harus menganggap bahwa pilkada adalah pesta
demokrasi rakyat. Karena namanya pesta, tata cara perayaannya harus dilakukan
sesuai budaya yang kita anut. Tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) harus
menyediakan nasi kotak atau nasi bungkus untuk para calon pemilih dan suguhan
hiburan rakyat.
Sembari menunggu giliran atau menanti penghitungan
suara, calon pemilih bisa makan dan menikmati sajian hiburan kesenian. Hiburan
rakyat ini bisa berupa kuda kepang, ketoprak dor, wayang, teater bangsawan,
opera, tarian, musik tradisi, atau organ
tunggal. Ya, seperti pesta kawinlah pokoknya.
Diperkirakan, 20 persen biaya pilkada dapat
langsung dinikmati masyarakat. Dana ini diperoleh dari biaya sosialisasi yang
termaktub dalam belanja pilkada KPU. Perjuangan itulah yang harus dilakukan
KPU.
Selain itu, KPU harus membuat keputusan untuk
menganjurkan para kepala daerah yang terlibat dalam pilkada segera nonaktif begitu
ditetapkan sebagai kontestan dan pencabutan nomor undi. Dengan demikian,
pelaksana kepala daerah bertugas selama beberapa bulan untuk menuntaskan
pilkada.
Tidak seperti sekarang, para incumbent terbukti mementingkan diri sendiri. Bukankah tiap daerah
memiliki desk pilkada pada pemerintahan masing-masing? Diduga, desk pilkada itu
justru jadi mesin birokrasi untuk incumbent. Nah, jumlah pemilih yang ada itulah nilai
riil kerja mesin birokasi. Selebihnya hasil kerja kontestan non-incumbent,
suara murni.
Jadi, KPU harus ”berjuang” untuk rakyat, untuk
negara – bukan untuk kelompok tertentu. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar