Minggu, 07 April 2013

CORONG : b.e.r.j.u.a.n.g (Sabtu, 30 Maret 2013)




B
ERJUANG. Kata itu meluncur dari Kepala Badan Kesatuan Bangsa, Politik dan Perlindungan Masyarkat (Kesbangpol Linmas) Provinsi Sumatera Utara (Provsu) Drs H Eddy Sofyan MAP ketika menjadi narasumber pembekalan calon anggota muda dan biasa Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Utara, Sabtu 23 Maret 2013.
Saya terperangah mendengar kata itu. Tentu tidak asing lagi di telinga. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, juang atau berjuang memiliki empat pengertian : 1 berlaga (tt binatang yg besar-besar); berlawan: dua ekor gajah jantan ~ memperebutkan betinanya; 2 memperebutkan sesuatu dng mengadu tenaga; berperang; berkelahi: segenap rakyat ikut serta ~ untuk mencapai kemerdekaan; 3 berlanggaran (tt perahu, ombak, dsb); 4 berusaha sekuat tenaga tt sesuatu; berusaha penuh dng kesukaran dan bahaya: pihak keamanan sudah ~ membebaskan saudara itu;
Namun, kata ini ternyata memiliki konotasi lain, yakni akronim dari beras, baju, dan uang. Ia memrediksi, kemungkinan banyak yang tidak memberikan “berjuang” sehingga jumlah pemilih pada pemilihan gubernur Sumatera Utara barusan minim.  Minimnya tingkat partisipasi pemilih pada Pilgubsu 7 Maret 2013 tak sebanding dengan biaya yang cukup mahal melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2013 sebesar Rp 690 miliar untuk dua putaran.
Pelaksanaan Pilgubsu ini menjadi pembicaraan hangat di tingkat nasional. Salah satunya terkait partisipasi pemilih yang sangat rendah dan tercatat hanya mencapai 38% dari total pemilih sekitar 10 juta orang.
Sebagaimana diketahui, pada pilgubsu 2013  pasangan Gus Irawan-Soekirman memeroleh 1.027.433 suara (21,13 %), Effendi Simbolon-Jumiran Abdi 1.183.187 (24,34 %), Chairuman Harahap-Fadli Nurzal  452.096 (9,30 %), Amri Tambunan-RE Nainggolan 594.414 (12,23 %), dan Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi 1.604.337 (33 %).
Persentase jumlah suara yang diperoleh itu sebenarnya tidak sebanding dengan jumlah penduduk Sumatera Utara. Berdasar Sensus Penduduk 2010, Sumatera Utara memiliki jumlah penduduk sebesar 13 juta lebih dan yang memiliki hak suara memilih berkisar 10 juta. Nyatanya, yang memilih hanya sebesar 38 persen sebagaimana diklaim Kepala Kesbangpol Linmas Sumatera Utara.
Jumlah pemilih itu tentu saja tidak signifikan dalam meraih pengaruh di daerah ini. Betapa tidak, pasangan Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry Nuradi hanya didukung 1,6 juta  dari 10 atau 13 juta lebih rakyat Sumatera Utara. Bahkan, jumlahnya tidak mencapai penduduk Medan (2,3 juta). Saya menyebut, raihan suara Gatot-Tengku merupakan kemenangan seremonial ketimbang legitimated rakyat.
Adakah yang salah dalam sistem pilkada ini? Ya, sepertinya ada yang salah. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sumatera Utara tampaknya harus menempuh cara lain untuk mendongkrak peningkatan jumlah pemilih.  Sebagaimana kontestan pilkada, KPU Sumut juga harus melakukan ”berjuang” kepada para pemilih.
KPU harus menganggap bahwa pilkada adalah pesta demokrasi rakyat. Karena namanya pesta, tata cara perayaannya harus dilakukan sesuai budaya yang kita anut. Tiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) harus menyediakan nasi kotak atau nasi bungkus untuk para calon pemilih dan suguhan hiburan rakyat.
Sembari menunggu giliran atau menanti penghitungan suara, calon pemilih bisa makan dan menikmati sajian hiburan kesenian. Hiburan rakyat ini bisa berupa kuda kepang, ketoprak dor, wayang, teater bangsawan, opera, tarian,  musik tradisi, atau organ tunggal. Ya, seperti pesta kawinlah pokoknya.
Diperkirakan, 20 persen biaya pilkada dapat langsung dinikmati masyarakat. Dana ini diperoleh dari biaya sosialisasi yang termaktub dalam belanja pilkada KPU. Perjuangan itulah yang harus dilakukan KPU.
Selain itu, KPU harus membuat keputusan untuk menganjurkan para kepala daerah yang terlibat dalam pilkada segera nonaktif begitu ditetapkan sebagai kontestan dan pencabutan nomor undi. Dengan demikian, pelaksana kepala daerah bertugas selama beberapa bulan untuk menuntaskan pilkada.
Tidak seperti sekarang, para incumbent terbukti mementingkan diri sendiri. Bukankah tiap daerah memiliki desk pilkada pada pemerintahan masing-masing? Diduga, desk pilkada itu justru jadi mesin birokrasi untuk incumbent.  Nah, jumlah pemilih yang ada itulah nilai riil kerja mesin birokasi. Selebihnya hasil kerja kontestan  non-incumbent, suara murni.
Jadi, KPU harus ”berjuang” untuk rakyat, untuk negara – bukan untuk kelompok tertentu. ***




Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar