S
|
AYA
tergemap membaca berita sehari menjelang Ujian Nasional (UN) Sekolah Lanjutan
Tingkat Atas (SLTA), pekan lalu. Bahwan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia mengumumkan penundaan UN pada 12 provinsi di Indonesia. Wah,
wah! Cem betol aja…
Namun begitu kenyataannya. Dikarenakan keterlambatan
lembaran soal naik cetak, maka UN terpaksa ditunda. Aihh……… segampang itukah!
Bukankah UN merupakan proyek nasional dari tahun ke tahun?
Apakah hanya sampai di situ? Ternyata, saat hari pertama
UN, masih ada daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang terpaksa
melakukan UN susulan. Pasalnya, lembaran soal tidak cukup. Aha! Ini benar-benar
skenario yang bodoh bin tolol – andai saja ini sebuah tontonan film. Yah, mirip
sinetron Indonesialah, gampang ditebak asal-muasal atau ujung ceritanya.
Dari kasus UN ini, saya jadi teringat tentang Program
Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) bidang pendidikan
beberapa tahun lampau. Sebagaimana kita
tahu, program ini digulirkan pemerintah berupa Dana operasional sekolah yang
bersumber dari anggaran pemerintah (pusat, Provinsi dan kabupaten/kota) dan
orang tua murid.
Dana dari pemerintah ini berupa dana operasional dan
pemeliharaan (DOP) sekolah, subsidi pembiayaan penyelenggaraan atau sumbangan
biaya penyelenggaraan pendidikan (SPP/SBPP) dan dana bantuan operasional (DBO).
Namun bantuan ini tidak setiap tahun dan setiap sekolah menerima ketiga jenis
dana operasional tersebut sekaligus. Kontribusi rutin dana pendidikan lebih
tepatnya datang dari orang tua murid dalam bentuk dana/iuran Badan Pembantu
Pengelolaan Pendidikan (BP3), sekarang bernama Komite Sekolah.
Melihat realitas tersebut, pemerintah mencoba meminimalisasi berbagai bentuk
kesenjangan yang mungkin terjadi dengan berusaha merealisasikan pengalokasian
dana APBN sebesar 20% untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Selain
itu, kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak untuk dialihkan
pengalokasiannya dalam bentuk kompensasipun dilaksanakan. Salah satunya alokasi
pada sektor pendidikan dengan pengadaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program
ini merupakan konsekuensi yang menjadi tanggung jawab pemerintah atas
pengurangan subsidi BBM yang tujuannya untuk secara bertahap membebaskan
sebagian biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh orang tua siswa.
Penyaluran
dana BOS tersebut dilaksanakan oleh Tim Program Kompensasi Pengurangan Subsidi
BBM (PKPS-BBM) tingkat provinsi melalui kantor pos atau bank pemerintah. Konon,
untuk penyaluran dana tersebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan
inspeksi mendadak (Sidak) guna pengecekan di sekolah-sekolah, sebagaimana
dilakukan di Surabaya serta peninjauan di beberapa Provinsi.
Pemerintah
menyatakan untuk saat ini penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS)
relatif aman dari aneka bentuk penyimpangan dan tidak ditemukan hal-hal
mencurigakan di lapangan. Namun, menurut Fajar Kurnianto (2003:1-3)
pernyataan pemerintah tersebut belum tentu benar karena justru dana BOS
sangat rawan dengan penyimpangan.
Fajar
berpendapat bahwa: Pertama, jumlah sekolah yang ditinjau pemerintah tidak
menjamin penyimpangan dana BOS itu diselewengkan pada sekolah-sekolah lain.
Karena institusi-institusi pendidikan, terkhusus sekolah-sekolah bukan
institusi yang jauh dari praktik-praktik penyelewengan dana. Sama halnya dengan yang lain, institusi ini berpotensi
menilap dana. Terutama, jika dana yang diterimanya lumayan besar.
Kedua, adanya beberapa sekolah yang ternyata belum
memiliki rekening, bakal menimbulkan kekhawatiran akan masuknya dana BOS ke
rekening kepala sekolah. Hal ini sangat berbahaya, apabila tidak ada pemantauan
secara cermat oleh semua kalangan, khususnya pemerintah. Kepala sekolah adalah
sentral sekolah, ia berpotensi melakukan tindakan apapun atas nama jabatan
itu, demi keuntungan pribadi. Aliran dana ke rekening kepala
sekolah patut menjadi perhatian serius guna menyelamatkan penyaluran dana BOS
hingga aman sampai ke tangan siswa.
Ketiga, ada sekolah-sekolah yang berniat mengembalikan
dana BOS. Alasan yang dikemukakan antara lain karena sekolah-sekolah tersebut
merasa mampu mencukup kebutuhannya sendiri dari dana wali siswa. Sehingga dana
BOS tersebut dianggap salah sasaran.
Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menyatakan bahwa penyaluran
dana BOS relatif masih aman dari aneka bentuk penyimpangan. Pernyataan tersebut
ternyata tidak sesuai dengan fakta yang terjadi dilapangan. Hal ini terbukti
dengan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat seperti yang terjadi pada
beberapa daerah di Sumatera Utara.
Alamak! Belum lagi persoalan dana BOS itu aman, kini
muncul pula politisasi UN. UN tahun ini mirip Pemilihan Umum (Pemilu). Kertas
suara, tinta, dan angkutan. Klise! Waduh, tulisan ini pun jadi banyak tanda
serunya. UN-ku sayang, UN-ku malang.
Amang oiiiiii………..!!!!!! ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar