Sabtu, 20 April 2013

CORONG : UN-ku Sayang, UN-ku Malang!


 

 
S
AYA tergemap membaca berita sehari menjelang Ujian Nasional (UN) Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA), pekan lalu. Bahwan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia mengumumkan penundaan UN pada 12 provinsi di Indonesia. Wah, wah! Cem betol aja…
Namun begitu kenyataannya. Dikarenakan keterlambatan lembaran soal naik cetak, maka UN terpaksa ditunda. Aihh……… segampang itukah! Bukankah UN merupakan proyek nasional dari tahun ke tahun?
Apakah hanya sampai di situ? Ternyata, saat hari pertama UN, masih ada daerah di Kabupaten/Kota di Sumatera Utara yang terpaksa melakukan UN susulan. Pasalnya, lembaran soal tidak cukup. Aha! Ini benar-benar skenario yang bodoh bin tolol – andai saja ini sebuah tontonan film. Yah, mirip sinetron Indonesialah, gampang ditebak asal-muasal atau ujung ceritanya.
Dari kasus UN ini, saya jadi teringat tentang Program Kompensasi Pengurangan Subsidi Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM) bidang pendidikan beberapa tahun lampau.  Sebagaimana kita tahu, program ini digulirkan pemerintah berupa Dana operasional sekolah yang bersumber dari anggaran pemerintah (pusat, Provinsi dan kabupaten/kota) dan orang tua murid.
Dana dari pemerintah ini berupa dana operasional dan pemeliharaan (DOP) sekolah, subsidi pembiayaan penyelenggaraan atau sumbangan biaya penyelenggaraan pendidikan (SPP/SBPP) dan dana bantuan operasional (DBO). Namun bantuan ini tidak setiap tahun dan setiap sekolah menerima ketiga jenis dana operasional tersebut sekaligus. Kontribusi rutin dana pendidikan lebih tepatnya datang dari orang tua murid dalam bentuk dana/iuran Badan Pembantu Pengelolaan Pendidikan (BP3), sekarang bernama Komite Sekolah.
       Melihat realitas tersebut, pemerintah mencoba meminimalisasi berbagai bentuk kesenjangan yang mungkin terjadi dengan berusaha merealisasikan pengalokasian dana APBN sebesar 20% untuk meningkatkan kualitas pendidikan.    
Selain itu, kebijakan pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak untuk dialihkan pengalokasiannya dalam bentuk kompensasipun dilaksanakan. Salah satunya alokasi pada sektor pendidikan dengan pengadaan Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Program ini merupakan konsekuensi yang menjadi tanggung jawab pemerintah atas pengurangan subsidi BBM yang tujuannya untuk secara bertahap membebaskan sebagian biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh orang tua siswa.
Penyaluran dana BOS tersebut dilaksanakan oleh Tim Program Kompensasi Pengurangan Subsidi BBM (PKPS-BBM) tingkat provinsi melalui kantor pos atau bank pemerintah. Konon, untuk penyaluran dana tersebut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melakukan inspeksi mendadak (Sidak) guna pengecekan di sekolah-sekolah, sebagaimana dilakukan di Surabaya serta peninjauan di beberapa Provinsi.
Pemerintah menyatakan untuk saat ini penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) relatif aman dari aneka bentuk penyimpangan dan tidak ditemukan hal-hal mencurigakan di lapangan. Namun, menurut Fajar Kurnianto (2003:1-3)  pernyataan pemerintah tersebut belum tentu benar karena justru dana BOS sangat rawan dengan penyimpangan.
Fajar berpendapat bahwa: Pertama, jumlah sekolah yang ditinjau pemerintah tidak menjamin penyimpangan dana BOS itu diselewengkan pada sekolah-sekolah lain. Karena institusi-institusi pendidikan, terkhusus sekolah-sekolah bukan institusi yang jauh dari praktik-praktik penyelewengan dana. Sama halnya dengan yang lain, institusi ini berpotensi menilap dana. Terutama, jika dana yang diterimanya lumayan besar.
Kedua, adanya beberapa sekolah yang ternyata belum memiliki rekening, bakal menimbulkan kekhawatiran akan masuknya dana BOS ke rekening kepala sekolah. Hal ini sangat berbahaya, apabila tidak ada pemantauan secara cermat oleh semua kalangan, khususnya pemerintah. Kepala sekolah adalah sentral sekolah, ia berpotensi melakukan tindakan apapun atas nama jabatan  itu, demi keuntungan pribadi. Aliran dana ke rekening  kepala sekolah patut menjadi perhatian serius guna menyelamatkan penyaluran dana BOS hingga aman sampai ke tangan siswa.
Ketiga, ada sekolah-sekolah yang berniat mengembalikan dana BOS. Alasan yang dikemukakan antara lain karena sekolah-sekolah tersebut merasa mampu mencukup kebutuhannya sendiri dari dana wali siswa. Sehingga dana BOS tersebut dianggap salah sasaran.
         Pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menyatakan bahwa penyaluran dana BOS relatif masih aman dari aneka bentuk penyimpangan. Pernyataan tersebut ternyata tidak sesuai dengan fakta yang terjadi dilapangan. Hal ini terbukti dengan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat seperti yang terjadi pada beberapa daerah di Sumatera Utara.
Alamak! Belum lagi persoalan dana BOS itu aman, kini muncul pula politisasi UN. UN tahun ini mirip Pemilihan Umum (Pemilu). Kertas suara, tinta, dan angkutan. Klise! Waduh, tulisan ini pun jadi banyak tanda serunya. UN-ku sayang, UN-ku malang. Amang oiiiiii………..!!!!!! ***



Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar