Oleh : Winda
Prihartini
K
|
ritik
sastra menurut Andre Harjana
merupakan hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya
sastra lewat pemahaman dan penafsiran yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Dapat
dikatakan bahwasanya kritik sastra adalah suatu kegiatan yang sebenarnya
sederhana bagi pembaca – terutama pembaca
‘peka’.
Apabila seorang pembaca mampu
menafsirkan dan memahami suatu karya yang dibacanya, secara tidak
langsung sebenarnya ia telah mengkritik sesebuah karya sastra. Meskipun hal itu
tidak terungkap secara nyata, malainkan hanya pernyataan lisan dan terkadang
itupun hanya berproses pada otak kiri dan dalam hati.
Pada zaman sekarang ini, tidak
dapat dimungkiri
masyarakat semakin aktif dan peduli terhadap sekitar. Namun, disayangkan sekali
dari banyak kalangan yang lebih suka blak-blakan di mana pun dia
berada, tidak sedikit juga kalangan yang suka berpendapat bukan pada tempatnya.
Memang,
proses struktur dalamnya sama yaitu berproses dalam otak kiri, tetapi
penyampaiannya belum tentu sesuai dengan prosesnya.
Hal itulah yang
sangat disayangkan. Padahal,
jika pendapat, komentar,
dan penilaian tersebut diaplikasikan pada tujuan yang tepat maka akan
menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Bermanfaat bagi penulis, bagi pembaca
bahkan bagi karya sastra itu sendiri.
Puisi Kritik
Sebuah karya yang dapat diberi
penilaian atau mendapat kritik yaitu dapat dimulai dari sebuah puisi. Semua
orang tahu sebenarnya mengkritik tidak sulit. Namun, tidak semua orang mampu
menyampaikan kepekaannya untuk orang lain dan disebarluaskan. Bagi seorang
pemula seperti saya, mungkin ada ke’ngerian’an jika mengkritik, sebab kata
kritik itu sendiri telah melahirkan anggapan kesadisan. Setelah dihayati, akan
labih sadis jika tidak mencoba mengenal dan mendekati si kritik.
Kali ini saya dihadapkan pada
sebuah ujian yang diharuskan untuk mengkritik. Saya sebut ini kesempatan.
‘Biarlah’ buah karya Lastri Bako ada di hadapan saya dan
harus dapat terlahir sebuah kritik dari puisi tersebut. Lastri Bako merupakan
salah satu anggota dari organisasi kepenulisan di Taman Budaya Sumatera Utara
(TBSU).
Dalam karyanya, ia mencoba
mencurahkan kegelisahan
dan kegundahannya pada seorang ayah. Dia benar-benar menjadi seorang anak yang
membuat saya berpikir apa sebenarnya gambaran sifatnya dalam puisi tersebut.
Seorang anak egoiskah atau seorang anak yang terlalu sayang kepada ayahnya
sehingga tidak ingin menyusahkan ayahnya.
....
Jangan
pikirkan aku, Ayah
Ada
nyamuk yang menjagaku di sini
Ada
bunga yang siap menunggu
Ada
cicak yang siap mengomentari
Setiap
jerit hatiku
Jangan
tanyakan kenapa...aku malam ini, Ayah
Nanti,
jika aku sudah lelah
Dengan
kesendirianku
Aku
akan masuk
Saat
ini biarlah.....aku seperti ini
Agar
hatiku bisa cair
Dari
kebekuan dunia.
Itulah penggalan puisi yang
membuat saya bimbang. Ya, tetapi kembali kepada penilaian serta penafsiran
tiap-tiap individu terhadap sebuah karya.
Namun, di sini jelasnya karena puisi
‘Biarlah’ ini saya menarik kesimpulan yang berbeda mengenai kritik. Ini dapat
dikatakan langkah pertama saya dekat dengan kritik. Jika dekat berarti sudah
mengenal sehingga kesadisan itu berubah jadi keinginan. Lalu, biarlah pendapat
mengudara terbang ke tempat
yang selayaknya. Tidak hanya berproses lalu berlalu begitu saja. Sebab
pendapat, penilaian serta komentar tetap harus diberikan dan tersampaikan meski
tidak dibayar.
Pendapat dan sebuah
pernyataan di sini yaitu disampaikan melalui media tulis. Mungkin ada sebagian
orang yang merasa dirinya tidak pintar menulis. Itu sangat salah besar,
seseorang merasa tidak pintar karena ia tidak pernah mencoba untuk belajar.
Apabila secara teratur kita menuangkan apa yang kita rasakan menjadi sebuah
tulisan, maka hasil dari tulisan tersebut dalam beberapa waktu dengan aktivitas
menulis yang rutin maka akan menghasilkan sesuatu karya yang ‘berhasil’.
Berhasil memuaskan diri sendiri dan orang lain.
Tertulis di majalah Horison, dalam esai Salim Said, Ke Pulau Jawa Menjadi Seniman ada sebuah
pesan yang pesan itu juga memberi motivasi tersendiri kepada saya. Di dalamnya
tertulis, W.S. Rendra memberi Nasehat
kepada Salim Said “Banyaklah berlatih menulis”. Dari peryataan tersebut dapat
dikatakan bahwa seorang Rendra saja menasihati agar dapat menjadi penulis yang
baik, banyaklah berlatih menulis. Kalau tidak pernah berlatih ataupun menulis
tetapi tidak teratus dan sesuka hati itu akan sulit mengubah tulisan kita.
Tidak ada hal yang
tidak mungkin. Jika kita dapat membaca dengan baik kenapa kita tidak dapat
menulis dengan baik pula? Permasalahannya, sekarang hanya kemauan. Jika kita
dapat menciptakan timbulnya suatu kemauan maka sesuatu yang kita inginkan akan
dapat kita lakukan. Apapun itu, termasuk juga menulis.
Dalam menulis,
memanglah ada beberapa hal yang patut diperhatiakan penulis pemula seperti
saya. Hal yang terpenting yaitu memahami penggunaan kata-kata yang tepat dan
mudah dipahami. Untuk meningkatkan penggunaan kata-kata agar lebih baik, banyak
membaca adalah salah satu yang harus dilakukan. Dan jangan memakai kata-kata
yang sulit dipahami agar maksud dan tujuan kita dapat tersampaikan kepada
pembaca.
Karena
itulah, mencobalah. Hanya dengan mencoba kita tahu seberapa besar kemampuan
kita dengan hasil yang kita dapat. Mencoba lebih baik daripada tidak sama
sekali, itu kata-kata yang selalu terdengar untuk memotivasi. ***
Ranah Kompak –FKIP UMSU, April 2013
Winda
Prihartini, lahir
di Medan, 28 September 1992. Tinggal di Jalan Paku Gang Siku,
Tanah Enam Ratus, Medan Marelan. Mahasiswi Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara FKIP jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia stambuk 2010. Saat ini bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus
(KOMPAK) Medan dan anggota Teater Bahtera FKIP UMSU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar