Minggu, 28 April 2013

ESAI : Puisi Kritik Awal (meng)kritik Sastra



Oleh : Winda Prihartini


K
ritik sastra menurut Andre Harjana merupakan hasil usaha pembaca dalam mencari dan menentukan nilai hakiki karya sastra lewat pemahaman dan penafsiran yang dinyatakan dalam bentuk tertulis. Dapat dikatakan bahwasanya kritik sastra adalah suatu kegiatan yang sebenarnya sederhana bagi pembacaterutama pembaca ‘peka’.
Apabila seorang pembaca mampu menafsirkan dan memahami suatu karya yang dibacanya, secara tidak langsung sebenarnya ia telah mengkritik sesebuah karya sastra. Meskipun hal itu tidak terungkap secara nyata, malainkan hanya pernyataan lisan dan terkadang itupun hanya berproses pada otak kiri dan dalam hati.
Pada zaman sekarang ini, tidak dapat dimungkiri masyarakat semakin aktif dan peduli terhadap sekitar. Namun, disayangkan sekali dari banyak kalangan yang lebih suka blak-blakan di mana pun dia berada, tidak sedikit juga kalangan yang suka berpendapat bukan pada tempatnya. Memang, proses struktur dalamnya sama yaitu berproses dalam otak kiri, tetapi penyampaiannya belum tentu sesuai dengan prosesnya.
Hal itulah yang sangat disayangkan. Padahal, jika pendapat, komentar, dan penilaian tersebut diaplikasikan pada tujuan yang tepat maka akan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat. Bermanfaat bagi penulis, bagi pembaca bahkan bagi karya sastra itu sendiri.

Puisi Kritik
Sebuah karya yang dapat diberi penilaian atau mendapat kritik yaitu dapat dimulai dari sebuah puisi. Semua orang tahu sebenarnya mengkritik tidak sulit. Namun, tidak semua orang mampu menyampaikan kepekaannya untuk orang lain dan disebarluaskan. Bagi seorang pemula seperti saya, mungkin ada ke’ngerian’an jika mengkritik, sebab kata kritik itu sendiri telah melahirkan anggapan kesadisan. Setelah dihayati, akan labih sadis jika tidak mencoba mengenal dan mendekati si kritik.
Kali ini saya dihadapkan pada sebuah ujian yang diharuskan untuk mengkritik. Saya sebut ini kesempatan. ‘Biarlah’ buah karya Lastri Bako ada di hadapan saya dan harus dapat terlahir sebuah kritik dari puisi tersebut. Lastri Bako merupakan salah satu anggota dari organisasi kepenulisan di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU).
Dalam karyanya, ia mencoba mencurahkan kegelisahan dan kegundahannya pada seorang ayah. Dia benar-benar menjadi seorang anak yang membuat saya berpikir apa sebenarnya gambaran sifatnya dalam puisi tersebut. Seorang anak egoiskah atau seorang anak yang terlalu sayang kepada ayahnya sehingga tidak ingin menyusahkan ayahnya.

....
Jangan pikirkan aku, Ayah
Ada nyamuk yang menjagaku di sini
Ada bunga yang siap menunggu
Ada cicak yang siap mengomentari
Setiap jerit hatiku

Jangan tanyakan kenapa...aku malam ini, Ayah
Nanti, jika aku sudah lelah
Dengan kesendirianku
Aku akan masuk
Saat ini biarlah.....aku seperti ini
Agar hatiku bisa cair
Dari kebekuan dunia.

Itulah penggalan puisi yang membuat saya bimbang. Ya, tetapi kembali kepada penilaian serta penafsiran tiap-tiap individu terhadap sebuah karya.
            Namun, di sini jelasnya karena puisi ‘Biarlah’ ini saya menarik kesimpulan yang berbeda mengenai kritik. Ini dapat dikatakan langkah pertama saya dekat dengan kritik. Jika dekat berarti sudah mengenal sehingga kesadisan itu berubah jadi keinginan. Lalu, biarlah pendapat mengudara terbang ke tempat yang selayaknya. Tidak hanya berproses lalu berlalu begitu saja. Sebab pendapat, penilaian serta komentar tetap harus diberikan dan tersampaikan meski tidak dibayar.
            Pendapat dan sebuah pernyataan di sini yaitu disampaikan melalui media tulis. Mungkin ada sebagian orang yang merasa dirinya tidak pintar menulis. Itu sangat salah besar, seseorang merasa tidak pintar karena ia tidak pernah mencoba untuk belajar. Apabila secara teratur kita menuangkan apa yang kita rasakan menjadi sebuah tulisan, maka hasil dari tulisan tersebut dalam beberapa waktu dengan aktivitas menulis yang rutin maka akan menghasilkan sesuatu karya yang ‘berhasil’. Berhasil memuaskan diri sendiri dan orang lain.
            Tertulis di majalah Horison, dalam esai Salim Said, Ke Pulau Jawa Menjadi Seniman ada sebuah pesan yang pesan itu juga memberi motivasi tersendiri kepada saya. Di dalamnya tertulis, W.S. Rendra memberi Nasehat kepada Salim Said “Banyaklah berlatih menulis”. Dari peryataan tersebut dapat dikatakan bahwa seorang Rendra saja menasihati agar dapat menjadi penulis yang baik, banyaklah berlatih menulis. Kalau tidak pernah berlatih ataupun menulis tetapi tidak teratus dan sesuka hati itu akan sulit mengubah tulisan kita.
            Tidak ada hal yang tidak mungkin. Jika kita dapat membaca dengan baik kenapa kita tidak dapat menulis dengan baik pula? Permasalahannya, sekarang hanya kemauan. Jika kita dapat menciptakan timbulnya suatu kemauan maka sesuatu yang kita inginkan akan dapat kita lakukan. Apapun itu, termasuk juga menulis.
            Dalam menulis, memanglah ada beberapa hal yang patut diperhatiakan penulis pemula seperti saya. Hal yang terpenting yaitu memahami penggunaan kata-kata yang tepat dan mudah dipahami. Untuk meningkatkan penggunaan kata-kata agar lebih baik, banyak membaca adalah salah satu yang harus dilakukan. Dan jangan memakai kata-kata yang sulit dipahami agar maksud dan tujuan kita dapat tersampaikan kepada pembaca.
Karena itulah, mencobalah. Hanya dengan mencoba kita tahu seberapa besar kemampuan kita dengan hasil yang kita dapat. Mencoba lebih baik daripada tidak sama sekali, itu kata-kata yang selalu terdengar untuk memotivasi. ***



Ranah Kompak –FKIP UMSU, April 2013



Winda Prihartini, lahir di Medan, 28 September 1992. Tinggal di Jalan Paku Gang Siku, Tanah Enam Ratus, Medan Marelan. Mahasiswi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara FKIP jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia stambuk 2010. Saat ini bergiat di Komunitas Penulis Anak Kampus (KOMPAK) Medan dan anggota Teater Bahtera FKIP UMSU.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar