Oleh : Hendra Purnama
S
|
eorang lelaki merapatkan jaketnya dan
melangkah cepat-cepat pada sebuah Subuh yang masih dini. Azan terdengar
setengahnya, tadi dia sedikit termenung, agak gusar juga karena menyangka azan
itu adalah azan panggilan salat Subuh. Tapi air mukanya berubah lagi setelah
sadar bahwa yang terdengar sekarang baru azan awal. Dia menggelengkan kepala, masih
agak gusar, dan menyesali dirinya yang tidak memiliki jam tangan. Petunjuk
waktu di telepon genggamnya pun tidak bisa terbaca karena kehabisan baterai.
Dia betul-betul buta waktu. Yang jadi panduannya hanya langit yang masih gelap
dan tentu saja azan Subuh tadi.
“Aku harus
segera sampai di sana sebelum azan Subuh tiba!” Begitu katanya pada diri
sendiri, karena pada Subuh seperti ini siapa yang bisa diajak berkomunikasi?
Lelaki itu terus
berjalan, dia melintasi jalan setapak, jalan raya, trotoar, melewati
lampu-lampu jalan yang masih menyala. Melewati museum perjuangan yang selalu
sepi baik siang ataupun malam. Melewati tiang bendera yang kosong kesepian. Dia
mengeluh pendek. Perjalanan terasa terlalu jauh untuk kakinya yang kelelahan.
Padahal dia masih muda, seharusnya energinya masih banyak meski tadi malam
hanya tidur tiga jam.
Dia meraba
dadanya, merasakan sesuatu di sana. Bukan di dalam kulitnya, hanya sampai di
dalam jaketnya. Dia tersenyum “Benda ini masih ada, harus kuantarkan segera.”
Begitu juga katanya pada diri sendiri, karena pada Subuh seperti ini siapa lagi
yang bisa diajak berbagi?
Dia terus berjalan
sementara langit mulai berubah sedikit. Subuh pasti akan tiba tanpa ada yang
bisa menahannya. Lelaki itu tahu, maka dia lebih memercepat langkahnya. Kini
dia sampai di satu tempat yang bukan tujuannya. Di tempat ini tak ada manusia, namun
kini dia menemukan banyak aspek yang berpapasan dengannya. Lelaki itu tertegun,
nyaris memerlambat langkahnya.
“Begitu banyak
aspek di sini, datang dari mana? Mengapa?” Sambil berjalan dan melihat kiri
kanan lelaki itu terus bertanya pada diri sendiri. Harus pada diri sendiri,
karena pada Subuh seperti ini manusia macam apa yang bisa diajak diskusi?
Begitulah,
dengan mata kepalanya sendiri lelaki itu melihat mata-mata sendu memandangnya.
Mata-mata itu berbaris di pinggir jalan. Mata-mata itu milik orang-orang yang
gelisah dan muram. Mata-mata itu milik bapak-bapak yang kebingungan mencari
nafkah untuk makan keluarganya. Milik para korban pencabulan dan perkosaan di
angkutan kota dan negara tetangga. Milik para istri yang mengerucut bibirnya
setiap suami pulang tidak membawa uang. Lalu lelaki itu melihat ratusan potong Giorgio Armani terselip di lemari. Lalu
ada rasa sakit menyelip. Tidak ada yang salah dengan Armani, tapi rasa sakit itu tetap menyusup sedikit demi sedikit.
“Sekali lagi,
aku masih terlalu peduli pada aspek-aspek itu, sampai lupa pada janji sendiri.
Aku terlalu memikirkan mereka sampai lupa kewajibanku sendiri! Sialan!” Lelaki
itu merutuk, menyadari bahwa kebiasaannya ini seperti lingkaran setan saja.
Terjadi berulang-ulang kali, selalu disertai penyesalan dan rutuk geram, namun
tetap saja terulang.
Dia lalu meraba
dadanya, merasakan lagi sesuatu yang terselip di antara jaket dan kaosnya.
Sejenak dia merasa sedang membawa-bawa sampah. Sekejap dia berpikir apa yang
terletak di dadanya itu tak sebanding dengan mata-mata yang dilewatinya ini.
Apa yang dilihatnya tampak lebih penting dari yang ada dalam dadanya. Tapi
lelaki itu terus berjalan dalam diam, tentu saja harus begitu karena pada Subuh
seperti ini manusia siapa lagi yang bisa diminta untuk mengerti situasi?
Kini dia sampai
di jalan raya, dia tahu tujuannya makin dekat. Dia pun tahu waktunya sudah
semakin singkat. Tapi aspek-aspek baru terus bermunculan dan kembali memaksanya
melambatkan langkah kaki. Kini dia melihat tak hanya sekadar mata, tapi sosok anak-anak
kurus telanjang lalu lalang dengan perut buncit, mata besar, dan gigit jari.
Anak-anak rambut gimbal lalu lalang tanpa alas kaki berdiam diri di
lorong-lorong gelap pembuangan air, berteman dengan tikus got yang sebesar
kucing. Ada gadis-gadis dengan rok mini dan belahan dada seksi menawarkan
keperawanan yang tak lagi mereka miliki. Lalu lelaki itu juga melihat Crocs Malindi bersisian di rak sepatu,
menunggu kaki-kaki jenjang yang akan menggunakannya. Crocs yang kesepian dan berdebu karena kaki itu hanya dua sementara
mereka berjumlah ratusan.
Dia meraba lagi
dadanya, pertemuan dengan aspek tadi membuat benda itu serasa mati dan tak
berdenyut lagi. Lelaki itu menggelengkan kepala, agak gusar dengan perhatiannya
yang terpecah. Dia melangkah lebih cepat lagi.
Sementara langit
makin berubah, memang masih gelap. Tapi ayam mulai ada yang ribut bersuara.
Lelaki itu tahu ayam dapat melihat fajar empat puluh lima menit lebih cepat
dari manusia. Mungkin itu sebabnya mereka bisa bersuara lebih dulu dari kita.
Maka lelaki itu tahu bahwa sebentar lagi fajar datang dan Subuh berkumAndang.
Sementara tujuannya sendiri belum lagi kelihatan.
Dia sedikit
merutuki kelambatan ini, tapi dia tidak punya pilihan selain makin memercepat
langkahnya. Kini justru ada rasa cemas menyusup, cemas yang tidak beralasan
namun merasuk dalam pikiran. Mendadak dia khawatir sesuatu yang ada dalam
dadanya tidak terisi hal yang pantas, padahal dia ingin menyerahkannya dengan
khidmat pada aspek lain yang lebih penting dari aspek-aspek yang dilewatinya
sejak tadi. Bahkan lelaki itu sebenanrya tahu bahwa dia akan menyerahkan ini
pada aspek yang lebih penting dari dirinya sendiri.
Lelaki itu mengingat-ingat
apa yang sudah diatulis dalam benda itu. Benda yang sudah berkali-kali diaantarkan.
Lelaki itu terus mengingat-ingat, tapi rasanya tidak ada perbedaan. Isinya
nyaris sama, kalaupun ada yang berbeda mungkin hanya susunan kata. Sudah
terlalu lama dia malas membuat yang baru dan hanya menyalin saja. Rasanya juga
tidak pernah ada yang keberatan.
Lelaki itu
berbelok sekali lagi. Kini tempat tujuannya sudah kelihatan. Sebuah bangunan
dengan menara yang tinggi. Rumput hijau membentang di halaman dan cahaya lampu
terang menyerobot keluar dari jendela-jendela yang artistik. Lelaki itu sudah
sangat hapal tempat itu. Dia tersenyum, menyeka keringatnya dengan punggung
tangan, meraba sekali lagi benda di dadanya dan melangkah. Tapi tiba-tiba
sesuatu menghalanginya. Sesuatu itu tampak tidak dari mana-mana. Sejak tadi
seharusnya dia berdiri di jalan yang akan dilalui lelaki itu. Sesuatu itu
berdiri dalam situasi antara terlihat dan tidak. Lelaki itu hampir berpikir
untuk menabraknya. Andai saja dia tidak melihatnya.
“Minggir!” dia
berkata pada sesuatu itu.
“Anda mau ke mana?”
sesuatu itu ternyata bisa bicara.
“Minggir! Aku
harus ke sana sebelum Subuh tiba!”
Sesuatu itu
tampak tersenyum, atau sebenarnya lelaki itulah yang merasakan bahwa ada aura
senyuman datang dari aspek penghalang di depannya. “Anda mau apa ke sana?”
“Aku mau membawa
ini…” Lelaki itu mengeluarkan benda yang ada di dadanya, yang terselip antara
kaos dan jaketnya. Ternyata benda itu adalah selembar kertas. Hanya itu,
selembar kertas yang penuh dengan tulisan tangan.
“Apa itu?”
“Puisi…” suara
lelaki itu yakin sekali
“Kenapa Anda
bawa puisi ke sana? Di sana tidak sedang ada pentas baca puisi atau pengumpulan
antologi…”
“Harus kubawa ke
mana lagi? Ini puisiku, mereka menangis tiap hari, mereka meratap tiap hari,
mereka menjerit tiap hari. Mau kujual tak ada yang suka, mau kulelang tak ada
yang menawar! Kamu mau beli puisi ini? Atau kamu punya transaksi yang hebat
untuk puisi ini? Apa? Tak usah ditukar uang pun tak apalah. Asal semua tangisan
di sini bisa lepas dariku. Kalau kamu tidak punya dan tidak bisa membantu
apa-apa, lebih baik minggir, di sana ada yang lebih baik dari kamu yang mau
menerima puisi ini!”
Sesuatu itu
tersenyum lagi, dia belum mau beranjak. “Biar saya yang memegang puisi itu…”
“Aku tidak bisa
percaya kamu, siapa kamu? Kenal pun tidak!”
Sesuatu itu tersenyum lagi, mungkin memang
yang dia bisa hanya bicara dan tersenyum “Kalau Anda tidak percaya saya, maka Anda
tidak akan bisa melepaskan puisi itu, lagipula untuk masuk ke sana sebelum Subuh
tiba Anda harus melewati saya. Tidak ada pilihan, bukan Anda penguasa di sini.”
“Setidaknya
katakan, kamu siapa?”
“Aku Isya, aku
pemeluk malam, dan yang memiliki kesabaran paling panjang! Mari, berikan
puisimu!”
Lelaki itu
termenung, sementara langit makin berubah. Lelaki itu tahu sekian menit lagi
mungkin azan Subuh berkumandang. Beradu argumen di sini hanya akan memperlambat
waktu. Lelaki itu memandangi kertas di tangannya, membaca larik-larik kata di
sana. Dia merasa bisa menghapalnya dan perasaannya berangsur membaik. Tidak
gusar lagi, ketika itu dia mengulurkan kertas tadi pada sesuatu itu, yang
langsung diterima, tentu saja sambil tersenyum.
“Silahkan
lanjutkan perjalanan…” Isya bergeser, membuka jalan.
Lelaki itu
melangkah masuk ke tempat tujuannya. Sebuah tempat berpintu gerbang, dan
bertembok tinggi, sehingga dalam sekejap lelaki itu menghilang dari pandangan
mata. Dia tidak keluar lagi, dan Isya pun ikut menghilang membawa selembar puisi.
Lalu tak berapa
lama kemudian, di kejauhan azan Subuh berkumandang. Meninggalkan bunyi
klesak-klesik yang aneh dalam rongga telinga. ***
Bandung, Desember 2012
Terispirasi dari Puisi Erri Subiaktiyang berjudul:
“Puisiku Terinjak Stiletto Louboutin”
Hendra Purnama alias Hendra_Veejay lahir di Bogor 1 April 1982. Saat
ini tinggal di Jalan Nagrog I No 29 RT
01/07 Ds Pasir Jati. Ujung Berung, Bandung – 40616. Bekerja di Salman Films
Bandung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar