Oleh : Tiflatul Husna
G
|
adis
itu kerap memasung kata, bungkam dalam bicara. Setiap gemeretak jiwanya terukir
dalam buku harian berwarna merah muda. Air mata menjadi pengiring malam-malam
sebelum ia benar-benar merapat ke tepi mimpi.
Sebenarnya dia gadis yang ceria, namun
semenjak kematian ibunya wajah itu selalu digelayut mendung. Bagaimana tidak,
ia mendapati ibunya dengan tubuh membiru, kaku, mulut berbusa dan bau menyengat, beliau
menenggak racun. Hal itu terjadi karena ayahnya mendua rasa dengan wanita yang
tak lain adalah sahabat sang ibu. Aih! Hari-hari berubah pekat.
Namanya Lisa Adinda, entah mengapa
sepertinya ada hal yang tidak bisa dibujuk, sekonyong-konyong dendam menjalari darahnya.
Keadaan bertambah parah kala ibu tirinya melahirkan putra pertama.
Perhatian ayahnya yang telah berkurang kini semakin terasa kerontang. Tak heran
jika di rumah ia menjadi gadis pemasung kata-kata, dan dia telah memersiapkan
satu rencana. Ya, sebuah rencana untuk menghabisi nyawa ayah kandungnya.
Tekadnya sudah bulat. Untuk mengalihkan
kepedihannya ia kerap menguliti isi buku. Ke perpustakaan, itulah salah satu tempat yang bisa membuatnya
merasa bahagia selain kamarnya. Maka tak heran jika kawan-kawannya menganggap
ia orang yang aneh. Di saat orang lain dikerubungi kepedihan, kepenatan maka
tak jarang waktu dihabiskan untuk nongkrong di Mall, atau di emperan jalan.
“Lisa, kamu itu kok aneh ya?” celoteh seorang temannya sambil mengayun kaki saat duduk di bangku taman dan
matanya menekuri wajah Lisa yang merekahkan sepotong senyum.
“Di mana-mana kalau orang suntuk itu
jalan-jalan Lis, bukan malah baca buku.
Apa nggak tambah suntuk?” dia
mengulur tanya dengan wajah persis jeruk purut.
Lisa terdiam. Matanya mengitari setiap
celah taman, lantas menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Masing-masing orang memiliki hak untuk
mengubur perihnya dengan cara yang berbeda-beda,” desisnya tanpa melihat lawan
bicara.
Dia tengah mengumpulkan informasi
tentang cara membunuh yang sempurna, di dalam kamar ia kerap menonton
berita-berita kriminal.
***
Hari itu mendung menggantung, namun
semangat untuk merampungkan hajat semakin mengental menyusuri setiap celah
uratnya. Dia bergegas menemui seseorang, yakni lelaki paruh baya dengan kaos
hitam, bercelana keper abu-abu, berkumis tipis, dan kepalanya botak. Ia tampak duduk
di beranda rumah. Sesekali mulutnya mengepulkan asap. Rupanya beliau pembunuh
hebat, seseorang sahabat melepas riwayat digenggaman dan bahkan ia telah
berhasil membunuh ibu kandungnya dengan cara tak beradab, sangat biadab.
“Kau serius ingin menghabisinya?” tanya
lelaki paruh baya itu menatap tajam ke arah Lisa.
Lisa terdiam, ia tahu perbuatan itu
salah. Kalau dia melakukannya pasti penjara dunia menjadi singgahannya dan
neraka mutlak sebagai peristirahatan yang abadi. Pikirannya bergulat.
“Kalau kau serius, aku bisa bantu,”
timpalnya sambil menaruh puntung rokok ke asbak yang ada di hadapannya.
Lisa tercenung, seseorang yang telah
melakukan salah pastilah akan diburu gelisah. Apalagi ini tindakan berencana.
“Kau bunuh saja, tak usah khawatir.
Kalau kau melakukan itu dendam ibumu akan terbayar dan batinmu akan puas,”
cetusnya santai. Sementara itu mata Lisa terpejam seakan menghimpun kekuatan.
“Aku
akan membunuhnya,” matanya terbuka dengan tangan mengepal, kalimat itu meluncur
seketika dari bibir Lisa.
“Baik! Akan kuajari kau jadi manusia
yang berhasil membalaskan dendam pada siapapun!” ujarnya sambil menepuk-nepuk
pundak Lisa.
Dia mulai memberikan arahan kepada Lisa.
Sesekali mereka tertawa kecil dan Lisa seperti terhipnotis dengan ucapannya.
Lisa semakin semangat melakukan hal paling sadis yang akan segera terjadi
antara ayah dan anak kandungnya.
“Jadilah pembunuh yang paling biadab,
agar kita puas. Jangan tanggung-tanggung,” pesan lelaki itu berdengung di
telinga Lisa.
***
Langit cerah, sesekali awan
berkejar-kejaran menutupi matahari karena hembusan angin. Gadis itu telah
merampungkan rencana.
“Tidak bisa tidak. Kematian itu musti
terjadi di tangan ini” gelitik batinnya, seulas senyum tersimpul di sudut bibir.
Mungkin inilah saat yang tepat, sebab liburan
sekolah telah menemu rupa. Ayah dan ibu tirinya mengajak pergi ke puncak.
Sepanjang perjalanan ia selalu menatap gambar ibunya.
“Sebentar lagi, Bu,” bisiknya pelan,
bibirnya singgah di gambar itu.
***
Malam itu gerimis turun satu-satu,
dingin dan pekat menyergap. Niat telah tanak, Lisa melirik jam yang terpajang
di atas lemari masih sekira pukul sebelas. Ia beranjak dari pembaringan dan
mengendap menuju ruang tengah. Di sana ia mendapati sang ayah masih
bercengkrama dengan si istri muda.
Dia menguping pembicaraan mereka. Jelas
saja dua orang itu membicarakannya.
“Bang,
Lisa nanti kuliahnya gimana ya?” tanya wanita itu.
Ayahnya terdiam sambil memencet-mencet
tombol handphone.
“Sebentar lagi mau Ujian Negara,”
sambungnya dan tampak kesedihan mengerubungi wajahnya.
“Tenanglah, masih ada perhiasan peninggalan
almarhumah” jawabnya datar.
“Manalah cukup itu, Bang. Lagi pula
jangan sampai dijual benda-benda peninggalan kakak itu,” ujar wanita itu
terdiam sesaat.
“Nanti tak ada lagi kenang-kenangan
Lisa, Bang,” imbuhnya beriring perih.
Tenggorokan Lisa serasa tercekat
mendengar pembicaraan itu. Air matanya hendak menetes, sebab ia tahu usaha
kuliner ayahnya mengalami kemunduran sejak tiga bulan terakhir. Entah apa
penyebab pastinya, Lisa tidak tahu. Menghabisi ayahnya, masihkah rencana itu
ada di dalam dada?
Subuh hampir merapat ke tepi hari. Jam
sudah menunjukkan pukul dua lewat seperempat. Lisa bimbang antara melanjutkan
niat atau mundur.
***
Mata wanita itu sembab, bahkan anak
balitanya menangis tiada henti. Wanita itu meraung seperti orang kesurupan,
sudah tiga kali ia pingsan. Ia mendapati penggalan kepala suaminya di dalam
goni tak bertali persis di depan pintu rumah tempat penginapan. Beberapa bagian
tubuhnya belum ditemukan.
Lisa turut pula memaksa air mata untuk
menggenang di pipinya, agar semua percaya kalau dia juga ikut terluka atas
musibah yang menimpa. Ayahnya telah menamatkan riwayat di tangan Lisa, anak
kandungnya. Ia meminum beberapa tetes darah serta memakan secuil hati ayahnya.
Meski semula ia tak sanggup, tapi apa mau dikata ia telah berjanji dengan
lelaki yang mengajarinya kemarin.
“Kalau membunuh jangan tanggung-tanggung,”
kalimat itu kembali terngiang.
Kini hatinya telah puas. Tak adakah
terselip sekerat gelisah di dalam hatinya yang hanya sebongkah?
“Ibu, telah tunai janjiku,” ucapnya
lirih, sembari ujung jemarinya menepikan air mata yang menghujani pipi.
“Selamat menikmati malam pertamamu,
ayah, di neraka,” pekiknya dalam hati.
***
Libur telah usai, jalanan di depan
sekolah kembali ramai. Si ibu tiri begitu setia mengantar Lisa dengan sepeda
motor. Setelah menginjakkan kaki di pekarangan sekolah, ucapan selamatpun
berhamburan dari teman-temannya, guru-guru dan bahkan dari kepala sekolah.
Mereka menyalami Lisa dengan senyum sumringah.
“Terimakasih, Anakku. Kau telah
mengharumkan nama sekolah,” ucap kepala sekolah terharu.
“Cerpenmu bagus, Nak. Semoga itu bukan
kisah nyata,” papar seorang guru.
“Iya, ajari kami ya,” pinta temannya.
Lisa berhasil merengkuh juara satu dalam
ajang bergengsi, lomba menulis cerpen remaja tingkat provinsi. Lisa akan
mewakili daerahnya menuju nasional. Dia terdiam, ia melihat ibunya tersenyum
bangga bersebab pembunuhan itu melahirkan prestasi dari ujung pena Lisa Adinda,
anak kandungnya. ***
Dunia KOMA, 08 Nopember 2011
Tiflatul Husna lahir di Tanjung
Balai 12 Agustus 1992, saat ini bergiat di Komunitas Pecinta Membaca dan
Berkarya (KOMA), Medan. Beberapa karyanya pernah dipublikasikan di media
seperti Medan Bisnis, dan karya puisi serta cerpennya termaktub dalam antologi
puisi “Cahaya” dan antologi puisi “Tarian Angin” serta antologi cerpen
“Tualang”. Saat ini tercatat sebagai Mahasiswi
Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al-Washliyah jurusan Pendidikan
Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar