Minggu, 07 April 2013

Cerpen : SEBONGKAH GELISAH


Oleh : Tiflatul Husna


G
adis itu kerap memasung kata, bungkam dalam bicara. Setiap gemeretak jiwanya terukir dalam buku harian berwarna merah muda. Air mata menjadi pengiring malam-malam sebelum ia benar-benar merapat ke tepi  mimpi.
Sebenarnya dia gadis yang ceria, namun semenjak kematian ibunya wajah itu selalu digelayut mendung. Bagaimana tidak, ia mendapati ibunya dengan tubuh membiru, kaku,  mulut berbusa dan bau menyengat, beliau menenggak racun. Hal itu terjadi karena ayahnya mendua rasa dengan wanita yang tak lain adalah sahabat sang ibu. Aih! Hari-hari berubah pekat.
Namanya Lisa Adinda, entah mengapa sepertinya ada hal yang tidak bisa dibujuk, sekonyong-konyong dendam menjalari  darahnya.  Keadaan bertambah parah kala ibu tirinya melahirkan putra pertama. Perhatian ayahnya yang telah berkurang kini semakin terasa kerontang. Tak heran jika di rumah ia menjadi gadis pemasung kata-kata, dan dia telah memersiapkan satu rencana. Ya, sebuah rencana untuk menghabisi nyawa ayah kandungnya.
Tekadnya sudah bulat. Untuk mengalihkan kepedihannya ia kerap menguliti isi buku. Ke perpustakaan,  itulah salah satu tempat yang bisa membuatnya merasa bahagia selain kamarnya. Maka tak heran jika kawan-kawannya menganggap ia orang yang aneh. Di saat orang lain dikerubungi kepedihan, kepenatan maka tak jarang  waktu dihabiskan untuk nongkrong di Mall, atau di emperan jalan.
“Lisa, kamu itu kok aneh ya?” celoteh seorang temannya sambil  mengayun kaki saat duduk di bangku taman dan matanya menekuri wajah Lisa yang merekahkan sepotong senyum.
“Di mana-mana kalau orang suntuk itu jalan-jalan Lis, bukan malah baca buku.  Apa nggak tambah suntuk?” dia mengulur tanya dengan wajah persis jeruk purut.
Lisa terdiam. Matanya mengitari setiap celah taman, lantas menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan.
“Masing-masing orang memiliki hak untuk mengubur perihnya dengan cara yang berbeda-beda,” desisnya tanpa melihat lawan bicara.
Dia tengah mengumpulkan informasi tentang cara membunuh yang sempurna, di dalam kamar ia kerap menonton berita-berita kriminal.
***
Hari itu mendung menggantung, namun semangat untuk merampungkan hajat semakin mengental menyusuri setiap celah uratnya. Dia bergegas menemui seseorang, yakni lelaki paruh baya dengan kaos hitam, bercelana keper abu-abu, berkumis tipis, dan kepalanya botak. Ia tampak duduk di beranda rumah. Sesekali mulutnya mengepulkan asap. Rupanya beliau pembunuh hebat, seseorang sahabat melepas riwayat digenggaman dan bahkan ia telah berhasil membunuh ibu kandungnya dengan cara tak beradab, sangat biadab.
“Kau serius ingin menghabisinya?” tanya lelaki paruh baya itu menatap tajam ke arah Lisa.
Lisa terdiam, ia tahu perbuatan itu salah. Kalau dia melakukannya pasti penjara dunia menjadi singgahannya dan neraka mutlak sebagai peristirahatan yang abadi. Pikirannya bergulat.
“Kalau kau serius, aku bisa bantu,” timpalnya sambil menaruh puntung rokok ke asbak yang ada di hadapannya.
Lisa tercenung, seseorang yang telah melakukan salah pastilah akan diburu gelisah. Apalagi ini tindakan berencana.
“Kau bunuh saja, tak usah khawatir. Kalau kau melakukan itu dendam ibumu akan terbayar dan batinmu akan puas,” cetusnya santai. Sementara itu mata Lisa terpejam seakan menghimpun kekuatan.
 “Aku akan membunuhnya,” matanya terbuka dengan tangan mengepal, kalimat itu meluncur seketika dari bibir Lisa.
“Baik! Akan kuajari kau jadi manusia yang berhasil membalaskan dendam pada siapapun!” ujarnya sambil menepuk-nepuk pundak Lisa.
Dia mulai memberikan arahan kepada Lisa. Sesekali mereka tertawa kecil dan Lisa seperti terhipnotis dengan ucapannya. Lisa semakin semangat melakukan hal paling sadis yang akan segera terjadi antara ayah dan anak kandungnya.
“Jadilah pembunuh yang paling biadab, agar kita puas. Jangan tanggung-tanggung,” pesan lelaki itu berdengung di telinga Lisa.
***
Langit cerah, sesekali awan berkejar-kejaran menutupi matahari karena hembusan angin. Gadis itu telah merampungkan rencana.
“Tidak bisa tidak. Kematian itu musti terjadi di tangan ini” gelitik batinnya, seulas senyum tersimpul di sudut bibir.
Mungkin inilah saat yang tepat, sebab liburan sekolah telah menemu rupa. Ayah dan ibu tirinya mengajak pergi ke puncak. Sepanjang perjalanan ia selalu menatap gambar ibunya.
“Sebentar lagi, Bu,” bisiknya pelan, bibirnya singgah di gambar itu.
***
Malam itu gerimis turun satu-satu, dingin dan pekat menyergap. Niat telah tanak, Lisa melirik jam yang terpajang di atas lemari masih sekira pukul sebelas. Ia beranjak dari pembaringan dan mengendap menuju ruang tengah. Di sana ia mendapati sang ayah masih bercengkrama dengan si istri muda.
Dia menguping pembicaraan mereka. Jelas saja dua orang itu membicarakannya.
“Bang, Lisa nanti kuliahnya gimana ya?” tanya wanita itu.
Ayahnya terdiam sambil memencet-mencet tombol handphone.
“Sebentar lagi mau Ujian Negara,” sambungnya dan tampak kesedihan mengerubungi wajahnya.
“Tenanglah, masih ada perhiasan peninggalan almarhumah” jawabnya datar.
“Manalah cukup itu, Bang. Lagi pula jangan sampai dijual benda-benda peninggalan kakak itu,” ujar wanita itu terdiam sesaat.
“Nanti tak ada lagi kenang-kenangan Lisa, Bang,” imbuhnya beriring perih.
Tenggorokan Lisa serasa tercekat mendengar pembicaraan itu. Air matanya hendak menetes, sebab ia tahu usaha kuliner ayahnya mengalami kemunduran sejak tiga bulan terakhir. Entah apa penyebab pastinya, Lisa tidak tahu. Menghabisi ayahnya, masihkah rencana itu ada di dalam dada?
Subuh hampir merapat ke tepi hari. Jam sudah menunjukkan pukul dua lewat seperempat. Lisa bimbang antara melanjutkan niat atau mundur.
***
Mata wanita itu sembab, bahkan anak balitanya menangis tiada henti. Wanita itu meraung seperti orang kesurupan, sudah tiga kali ia pingsan. Ia mendapati penggalan kepala suaminya di dalam goni tak bertali persis di depan pintu rumah tempat penginapan. Beberapa bagian tubuhnya belum ditemukan.
Lisa turut pula memaksa air mata untuk menggenang di pipinya, agar semua percaya kalau dia juga ikut terluka atas musibah yang menimpa. Ayahnya telah menamatkan riwayat di tangan Lisa, anak kandungnya. Ia meminum beberapa tetes darah serta memakan secuil hati ayahnya. Meski semula ia tak sanggup, tapi apa mau dikata ia telah berjanji dengan lelaki yang mengajarinya kemarin.
“Kalau membunuh jangan tanggung-tanggung,” kalimat itu kembali terngiang.
Kini hatinya telah puas. Tak adakah terselip sekerat gelisah di dalam hatinya yang hanya sebongkah?
“Ibu, telah tunai janjiku,” ucapnya lirih, sembari ujung jemarinya menepikan air mata yang menghujani pipi.
“Selamat menikmati malam pertamamu, ayah, di neraka,” pekiknya dalam hati.
***
Libur telah usai, jalanan di depan sekolah kembali ramai. Si ibu tiri begitu setia mengantar Lisa dengan sepeda motor. Setelah menginjakkan kaki di pekarangan sekolah, ucapan selamatpun berhamburan dari teman-temannya, guru-guru dan bahkan dari kepala sekolah. Mereka menyalami Lisa dengan senyum sumringah.
“Terimakasih, Anakku. Kau telah mengharumkan nama sekolah,” ucap kepala sekolah terharu.
“Cerpenmu bagus, Nak. Semoga itu bukan kisah nyata,” papar seorang guru.
“Iya, ajari kami ya,” pinta temannya.
Lisa berhasil merengkuh juara satu dalam ajang bergengsi, lomba menulis cerpen remaja tingkat provinsi. Lisa akan mewakili daerahnya menuju nasional. Dia terdiam, ia melihat ibunya tersenyum bangga bersebab pembunuhan itu melahirkan prestasi dari ujung pena Lisa Adinda, anak kandungnya. ***

Dunia KOMA, 08 Nopember 2011




Tiflatul Husna lahir di Tanjung Balai 12 Agustus 1992, saat ini bergiat di Komunitas Pecinta Membaca dan Berkarya (KOMA), Medan. Beberapa karyanya pernah dipublikasikan di media seperti Medan Bisnis, dan karya puisi serta cerpennya termaktub dalam antologi puisi “Cahaya” dan antologi puisi “Tarian Angin” serta antologi cerpen “Tualang”. Saat ini tercatat sebagai Mahasiswi  Universitas Muslim Nusantara (UMN) Al-Washliyah jurusan Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar