Oleh : Muzammil Frasdia
R
|
umah itu berada di sela-sela bangunan tinggi di pinggir
kali. Rumah yang bila dipandang dari kejauhan terlihat mirip seperti rumah
pengungsi. Dan, kali itulah
yang menyediakannya tempat untuk mandi, nyuci, masak, serta buang air besar. Selama
10 tahun Sarimin hidup seorang diri. Tak ada lagi seorang
istri atau buah hati yang merawatnya bila ia sedang sakit atau yang menghibur
saat jiwanya seperti terkubur.
Kejadian tahun 2000 silam itu sungguh
masih menyisakan luka yang amat mendalam bagi hati Sarimin. Sampai
saat ini belum bisa menerima keadaan saat kereta api yang melintas kencang dari
arah Surabaya menuju Malang merenggut nyawa istri dan anaknya yang hendak
menyeberangi rel kereta. Pagi itu sekitar pukul 08.00 wib, warga yang berada di
sepanjang jalur rel beramai-ramai menyaksikan dua mayat perempuan tergeletak di
atas tanah.
Kini Sarimin hanya mengunggulkan
dirinya sendiri di mata Tuhan yang memberinya nafas untuk terus berjuang
mengarungi kehidupan. Baginya, menjadi tukang cukur keliling adalah kemampuan
satunya-satunya yang ia miliki untuk dapat bertahan hidup meski hasil yang ia
peroleh tidak seberapa. Namun dari sana ia berharap selalu ingin tersenyum untuk
dirinya sendiri juga pekerjaannya sebagai tukang cukur keliling.
***
Pagi ini ia kembali melangkahkan kedua
kakinya menemui pelanggan-pelanggan yang ada. Dari rumah ke rumah ia datangi
satu persatu menawarkan jasa sebagai tukang cukur keliling. Style rambut plontos, standar, mohawk, cepak,
sampai gaya jabrik semua Sarimin kuasai dari keahliannya sebagai pemotong
rambut.
“Pak?”. Seseorang memanggil.
Ia menoleh ke arah suara tersebut. Lalu menghampirinya.
“Pak, saya mau cukur rambut,” ucap
seorang lelaki memertegas keinginannya.
“Iya, Mas”, jawab
Sarimin terburu-buru dan langsung menyiapkan alat-alat cukurnya. Sebuah kursi lipat
dari kayu ia persiapkan untuk laki-laki itu.
“Mari, Mas, silakan
duduk”. Sembari ia menyelimuti sebuah kain ke bagian tubuh laki-laki itu agar
nantinya rambut-rambut yang ia potong tidak menempel di baju dan celana yang ia
pakai. Segala sesuatunya seperti sudah matang untuk digunakan.
“Mau dipotong seperti apa,
Mas?” tanya Sarimin.
“Potong biasa saja, yang penting
kelihatan rapi dan bersih.”
“Baik, Mas.”
Gunting dan sisir mulai menjamah
rambut laki-laki itu secara perlahan-lahan. Bunyi mengiris terdengar dari gigitan
mata gunting memotong gumpalan rambut yang tebal. Rambut hitam itu terlihat
mulai berguguran satu persatu dari kepalanya. Seperti jatuhnya daun-daun kering
di musim gugur, mungkin juga di hati Sarimin yang saat ini merasa bahagia
karena ada satu warga ingin bercukur.
Sekitar kurang lebih 15 menit tangan Sarimin
bergerak-gerak di atas kepala laki-laki itu. Diperiksanya lagi dan lagi hasil
guntingannya dari arah samping, depan, hingga belakang. Takut ada yang terasa
masih perlu untuk dirapikan.
“Sudah, Mas. Silakan
dilihat hasilnya. Barangkali masih ada yang perlu ditambah atau dikurangi.”
Laki-laki itu tersenyum dalam cermin.
Mengoreksi hasil pekerjaan Sarimin dengan teliti.
“Cukup, Pak.
Makasih. Sekarang rambutku terlihat rapi dan bersih. Bahkan serasa enteng untuk
dibawa ke mana-mana. Berapa semuanya?”
“Tiga ribu rupiah,
Mas,” ucap Sarimin
malu.
**
Sehari berlalu. Senja memancar dari
dua bangunan tinggi yang berdiri gagah di samping gubuk Sarimin. Sinarnya menembus
air kali yang keruh yang mengalir di sepanjang aliran sungai. Di samping
gubuk, Sarimin merebahkan tubuh di atas rumput kering yang ujungnya terasa
menusuk punggungnya. Tatapannya terarah lurus ke atas, seperti menjunjung
langit kelam yang menjadi bagian hidupnya saat ini. Tiba-tiba suara adzan
berkumandang. Sarimin buru-buru pergi ke kali. Membasuh tubuhnya dengan sabun
mandi. Kemudian menghadap Ilahi.
Malam hari yang dingin menyelimuti
gubuk Sarimin. Bulan remang memancar di antara ruas-ruas
ranting kering yang berdiri di pinggir kali. Bau sampah kota yang pengap beterbangan
ke mana-mana. Tikus, anjing, kucing berkeliaran
di antara tumpukan-tumpukan sampah yang
menggunung itu. Ada juga ribuan lalat yang
tak kelihatan wujudnya ramai mengerubungi benda-benda seperti kaleng susu, pembalut perempuan, sisa makanan restoran, ban bekas, bangkai
ikan, ayam, itik, ular dan lain-lain. Sedang di dalam gubuk itu Sarimin
mengaji, suaranya sendu melafadkan ayat-ayat suci. Mengirim doa untuk arwah
istri dan anaknya yang sudah tiada.
***
Matahari terbit. Ini hari yang entah
keberapanya Sarimin harus kembali bekerja sebagai tukang cukur keliling. Dibawanya
tas yang memuat perlengkapan untuk mencukur, sedang tangan kanannya menjinjing
kursi kayu lipatan tempat pelanggannya duduk saat rambutnya digunting. Tepat
jam tujuh, Sarimin pergi berkeliling menemui pelanggan-pelanggannya. Didatanginya
rumah warga satu persatu sambil meneriakkan suara “Cukur-cukur” di sepanjang
jalan. Namun hari ini sepertinya sepi. Tak ada satupun dari warga yang mau bercukur
rambut. Dari sekian bentuk rambut yang ada semua masih terlihat baru dipotong.
Di matanya ia berharap rambut-rambut itu lekas tumbuh dan memanggilnya
kembali untuk bercukur.
Sarimin pulang sebelum waktunya ia harus
kembali menemui rumah gubuknya. Sepi pelanggan membuat dirinya enggan
berkeliling dan lebih memilih istirahat di rumah gubuk daripada mencari
pelanggannya yang hari ini tak ada satupun yang ingin bercukur. Kepalanya yang
juga terasa pusing sebelah, ia rebahkan pelan-pelan di atas tempat tidur. Wajahnya
kosong. Ditatapnya jam dinding kamarnya yang tiba-tiba mati.
***
Sebulan berlalu. Sarimin masih pulas
tertidur di atas kasurnya yang sepi. Hingga pagi demi pagi ia biarkan pergi
begitu saja. Di luar, para pelanggannya sudah kesal menunggu dirinya untuk
bercukur rambut. Namun Sarimin tak jua datang menemui. Saat itu pula, ada salah
seorang warga bertanya: “Kemana Sarimin
pergi?” ***
Muzammil Frasdia lahir di Bangkalan 6
Februari 1988, adalah alumni STKIP PGRI Bangkalan. Jurusan Sastra
dan Bahasa Inggris. Sekarang mengajar di sekolah Dasar Negeri Ra’as Kec.
Klampis Bangkalan. Aktif sebagai anggota
Komunitas Masyarakat Lumpur Bangkalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar