Minggu, 30 Juni 2013

Teater Transisi



S
uatu ketika penulis 10 hari berada di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) (lihat foto), bertepatan  membawa grup Teater GENERASI tampil pada Festival Teater Alternatif GKJ Award pada tahun 2003. Gedung itulah yang pada 7 September 1821 adalah sebuah gedung supermegah yang berdiri di Jalan Noordwijk dekat perempatan Jalan Pasar Baru, Batavia. Sekarang bernama Jalan Pasar Baru, Jakarta. 
Konon, hari pembaptisan gedung yang dahulu bernama Schouwburg atau Comediegebouw itu sedianya akan dimeriahkan dengan pementasan Othello karya William Shakespeare dan lakon gembira Penabuh Genderang. Penonton sudah berjajar di depan pintu masuk dengan tertib, setertib kendaraan mereka (kereta kuda) yang telah diparkir di halaman depan gedung.
Sayang, jumlah perempuan yang hadir begitu sedikit, mungkin setara dengan jumlah pribumi yang berhasil menggondol karcis dengan harga selangit, 3 Gulden. Mereka tenggelam oleh para pria besar dari Eropa, khususnya Belanda, Indo-Belanda, dan beberapa saudagar peranakan Cina.           
Di situlah kiranya sebuah puzzle ditemukan dan mungkin menjadi titik pijak terbentuknya kesadaran akan berteater di kalangan pribumi. Pada sebuah gedung yang didirikan kelompok teater amatir Ut Desint. Serpihan sejarah yang pada suatu hari nanti melengkapi sebuah bangunan bernama teater Indonesia. Gedung kebanggaan yang banyak memamerkan naskah-pengarang-pemain-penonton dari Barat. Tempat pribumi terpelajar memahami teater Barat.            
Kemeriahan Schouwburg menggelitik kaum terpelajar pribumi belajar berteater. Mereka mencoba mementaskan karya panggungnya dalam ruang kecil. Pada hari-hari tertentu semisal ulang tahun organisasi yang mereka geluti. Penontonnya pun sebatas teman satu organisasi. Tujuan yang hendak dicapai tidak lain untuk menambah pengetahuan tentang teater, terutama teater yang datang dari Barat.
Mereka hanya belajar dari buku-buku teater yang beredar di Batavia, tanpa tahu bagaimana cara memanggungkannya. Pengetahuan pemanggungannya pun sebatas tontonan atas karya-karya orang Belanda waktu itu. Jelas saja apabila karya-karya panggungnya belum menyamai Teater Barat. Mereka sekadar mengikuti perkembangan teater di Barat yang sedang gandrung pada gaya realisme. Dari bentuk realisme-lah para penggarap teater di Indonesia, khususnya dari kalangan kaum terpelajar, mulai merangkak.           
Sementara itu, di kalangan masyarakat kota kebanyakan, muncul sebuah bentuk teater lain yang orientasinya meraup banyak penonton atau lebih tepatnya meraih banyak keuntungan. Teater jenis ini berkembang semenjak kedatangan kelompok Teater Bangsawan yang berasal dari Penang, Malaysia.
Kelompok teater ini mementaskan lakon yang berasal dari cerita hikayat Melayu, beberapa cerita dari Arab, Hindu, dan Cina. Lakon dimainkan dengan sangat longgar, dialog dikembangkan sendiri oleh para aktornya. Cerita pun hanya berkisah pada tokoh-tokoh yang sudah baku dan stereotip.
Penggunaan idiom-idiom itu membuat Teater Bangsawan diterima di beberapa daerah serumpun Melayu seperti Sumatera, Singapura, dan Malaysia. Mereka juga berhasil menggabungkan bentuk pemanggungan prosenium yang berasal dari Barat dengan cerita yang asli Melayu.            
Kesuksesan Teater Bangsawan tidak berlanjut sampai ke pulau Jawa. Idiom Melayu yang menjadi andalan mereka tidak berterima di Jawa. Kegiatan teater masyarakat kota di Jawa seketika diambil alih oleh Teater Stamboel. Dinamakan stambul karena kelompok ini mengangkat cerita-cerita yang berasal dari kerajaan Arab (Timur Tengah), juga karena pendirinya berkebangsaan Turki.
Mereka mengangkat cerita-cerita Seribu Satu Malam seperti Aladin bersama Lampu Wasiat, Ali Baba dengan Empat Puluh Penyamun, Siti Sanibar, dan Nur Cahaya. Untuk bentuk pemanggungannya, mereka masih meneruskan tradisi Teater Bangsawan. Mereka mengganti bahasa Melayu Tinggi dengan bahasa Melayu Rendah (Lingua Franca) yang lebih bisa diterima oleh rakyat kota di Jawa.           
 Hadirnya dua kelompok itu menunjukkan bahwa teater rakyat kota merupakan gabungan berbagai asal budaya dan ras. Bisa disimpulkan bahwa kota hasil bentukan Belanda itu sejatinya adalah ibu kandung teater Indonesia.
Tanpa ada definisi kota, mustahil teater atau seni pertunjukan semarak. Terbentuknya kota juga ditandai dengan berbondongnya masyarakat desa memutar haluan dari seorang petani menjadi pencari ekonomi. Dari sekadar mengejar kebutuhan sendiri menjadi keinginan memegang sejumlah uang. Di tengah masyarakat kota seperti inilah tumbuh sebentuk teater gado-gado yang justru mampu meraup begitu banyak penonton. Kiranya dapat dipastikan, di sinilah tempat terciptanya penonton teater Indonesia.            
Teater rakyat kota mengalami perkembangan pesat ketika hadirnya Dardanella. Sebuah kelompok teater profesional yang mampu menghidupi seluruh awaknya dengan kekayaan melimpah, terutama para aktris dan aktornya. Dardanella berani menampilkan lakon-lakon dengan masalah sosial yang sedang terjadi saat itu.
Tapi dari segi penceritaan, kelompok Dardanella masih menampilkan sebuah pertunjukan verbal. Tokoh-tokohnya sekitaran hitam-putih. Tidak ada nuansa di dalamnya. Dengan modal pementasan verbal inilah mereka dengan mudah meraup banyak penonton. ***







Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar