Oleh : Luri Dlt
I
|
ndonesia dikenal dengan budayanya yang kaya,
memiliki keanekaragaman dan keunikan dalam karya yang diciptakannya. Hal itu
dapat dilihat dari adanya berbagai kreasi anak bangsa, seperti nyanyian,
tarian, juga termasuk drama yang kemudian dipopulerkan dengan perfilman yang
diangkat dari berbagai karya sastra, seperti cerpen dan novel yang semakin hari
semakin berkembang.
Perkembangan tersebut dibuktikan
dengan beredarnya berbagai jenis buku sastra (puisi, cerpen, dan novel) di
toko-toko buku. Jika dilihat dari aktivitas perjalanan, perfilman hanya meruang
pada kota-kota besar atau yang disebut dengan metropolitan, seperti Jakarta
yang menjadi pusatnya, Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung.
Sebenarnya, Medan juga termasuk
kota metropolitan, hanya saja tidak seperti Jakarta. Semakin maraknya dunia
perfilman, rupanya Medan juga turut memeriahkan dengan mulai memroduksi
film-film yang dilakoni oleh anak Medan sendiri.
The
Deepest
salah satu film yang baru saja dipertontonkan pada 11-12 Mei di Taman Budaya,
telah menarik perhatian pecinta seni. Bayangkan saja! Dalam satu hari itu The Deepest ditayangkan tiga kali, dari pukul 11.00 dan berlanjut
sampai pukul 20.30 malam. The Deepest yang
dilakoni oleh Budi Jhora sebagai pemeran utama, Rika dengan nama samaran Kenia sebagai
kekasihnya, dan dr. Daniel Irawan sebagai dokter yang menangani penyakit Budi
Jhora yanng disebut dengan nama Pandu.
Saat itu dihadiri oleh pelajar,
mahasiswa, seniman Medan, dan ada juga beberapa orang tua yang membawa anaknya
untuk menyaksikan film tersebut. Sayang sekali jika Anda
tidak termasuk di dalamnya. Barangkali muncul pertanyaan, mengapa saya
mengatakan demikian, dan sejauh mana keistimewaan film tersebut? Karena,
saya termasuk salah satu dari sekian banyak penonton yang memilih posisi duduk
di depan agar dapat lebih menikmati film tersebut. Menurut
saya, The Deepest film by Onet
Adithia Rizlan telah berhasil membuat penonton merasa takut sebagai film horor.
Pandu yang menjadi pemeran utama
memiliki kepiawaian dalam berekspresi sebagai manusia yang terkadang berubah
seperti hantu pencakar manusia. Hal itu dapat dubuktikan ketika Pandu mulai
berubah dan ingin mencari mangsa pada saat malam hari di sekitar kampusnya yang
banyak ditumbuhi pohon-pohon yang menyeramkan.
Tubuhnya yang telah berbalut
darah, mata mulai lebam dengan ekspresinya yang menyerupai hantu yang sangat
menakutkan, ditambah lagi Afindi yang memberikan penataan komposisi musik yang
memberikan kesan horor, seakan kita diajak untuk merasakan keterlibatan dalam
irama yang menakutkan.
Itulah sebabnya mengapa saya
mengatakan rugi kepada Anda yang tidak ikut melihatnya. Belum
lagi ciri khas bahasa Medannya yang menunjukkan bahwa film tersebut berasal
dari karya anak Medan. Terkadang memang terdengar lucu dan aneh dengan dialek bahasanya,
tapi itulah salah satu keunikannya.
Namun, keistimewaan yang saya
sebutkan di atas bukan berati menunjukkan film The Deepest tersebut sudah bagus. Banyak juga yang saya sesalkan
dalam film The Deepest ini, seperti
pemilihan pemain yang belum mengenai sasaran, penghayatan, latar,
dan adegan-adegan hayalan yang menurut saya terlalu lama disorot.
Yang kita ketahui sosok polisi
sangat tegas, bertubuh tegap, dan bijaksana betolak belakang dengan pemainnya.
Dapat dilihat saat pak polisi melihat Pandu yang mengejar Kenia untuk menjadi
korban pembunuhan selanjutnya. Seharusnya, apabila pak polisi tersebut ingin
mendatangi tempat kejadian, ia membawa anggotanya dan bertindak cepat, bukan
sendirian. Bengong seketika melihat kejadian yang
menyeramkan tersebut. Demikian dengan sosok dokter yang merokok, berbadan kurus
dan kurang memiliki wibawa. Papa Kenia yang menurut saya grogi atau canggung
dan salah dalam menggunakan bahasanya.
Saat Papa Kenia pertama kali
disorot dan tiba-tiba saja berkata, “Papa
pergi dulu, Kenia” dengan nada yang datar tanpa ekspresi apa-apa. Menurut saya,
akan lebih baik ia berkata, “Kenia, papa pergi dulu ya,”
terdengar lebih enak dan lebih menunjukkan sedikit kasih sayang dan bahasa yang
lebih tepat.
Pun, Kenia
yang belum sepenuhnya menghayati kesedihan karena sikap Pandu kekasihnya yang
berubah menjadi aneh dan tidak peduli lagi padanya. Saat Kenia mendapati Pandu
di rumahnya dengan tubuh yang penuh darah, Kenia hanya berkata, “Pandu kau kenapa?”
tanpa tindakan dan ekspresi yang mengkhawatirkan. Kenia mendekati dan
mengeluarkan amarahnya, padahal ia belum mengetahui penyebab keadaan Pandu
sebenarnya. Harusnya, Kenia menunjukkan kepeduliannya dan
terkejut saat melihat kekasihnya seperti itu.
Kemudian, latar yang menurut saya
kekurangan tokoh pembantu, seperti Kafe yang pengunjungnya hanya Pandu dan
Kenia, RS yang selalu hening tanpa terlihat kesibukan seperti RS biasanya.
RS yang hanya ada seorang dokter dan sekretarisnya saja. Tidak terlihat adanya
pasien, suster atau perawat, dan pengunjungnya. Lalu,
perpustakaan yang di dalamnya hanya Pandu, Kenia, dan pengurusnya. Ditambah
lagi Kenia dan Pandu sebagai mahasiswa, mereka sama sekali tidak memiliki teman
dekat maupun teman jauh.
The
Deepest yang
merupakan film horor dan yang saya tangkap dari film tersebut adalah
kesengajaan penulis naskah dengan memberikan suatu ilmu atau pengajaran bahwa
dari makanan yang kita konsumsi secara sembarangan juga dapat menimbulkan suatu
penyakit yang dapat membahayakan keselamatan orang lain.
Seperti halnya Pandu sebagai
pemeran utama dalam film The Deepest yang
awalnya sehat dan bertindak seperti layaknya manusia lambat laun ia bisa
berubah seketika menjadi manusia yang menginginkan darah manusia. Hal itu terjadi
akibat makanan yang ia makan selama ini tidak sesuai dengan kesehatan. ***
Luri Dlt alias Suriati Dalimunte lahir di Kampungsipirok, Pasaman Barat,
Sumatera Barat, 8 Februari 1990. Mahasiswa Bahasa
dan Sastra Indonesia FKIP UMSU ini tinggal di Jalan
Bersama Gang Seroja Nomor
2 Medan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar