B
|
eberapa waktu lalu, saya diminta
menjadi telangkai untuk merisik hingga ijab kabul pernikahan famili di Medan.
Tiap kita senantiasa menaruh perhatian yang besar sekali terhadap hal-hal
perkawinan. Terutama, tentu saja menarik perhatian pemuda dan gadis yang
terkait di dalamnya.
Bukan itu
saja, hampir tidak kurang dari orang tua dan kerabat mereka yang jauh, yang
kadang-kadang juga telah lama sibuk sebelum anak dara dan mempelai menjelang
dewasa. Kerabat mereka telah saling membuat suatu perjanjian dan anak-anak yang
meningkat besar mengenal calon-calon istri atau suami mereka di antara
anggota-anggota masyarakat yang muda.
Perjanjian
dalam sebuah perkawinan dapat dianggap oleh calon suami-istri yang bersangkutan
sebagai sudah semestinya, sehingga mereka tidak merasakan perkawinan yang
terjadi sebagai paksaan. Lebih dari itu, perhubungan perkerabatan menyebabkan
seorang pemuda tertentu mempunyai hak dan kewajiban mengawini seorang wanita
muda tertentu. Seperti adat itu melarang perkawinan tertentu, demikianlah ia
akan menganggap perkawinan yang lain sebagai yang paling baik, dan mematuhi
adat ialah urusan yang paling fitri di dunia ini.
Dalam studi
etnografi, lebih banyak hal-hal yang membuktikan adanya kebebasan yang luas
dalam pilihan-kawin. Banyak lagu-lagu cinta, yang dinyanyikan pemuda yang
kasmaran pada kekasihnya. Juga kita dengar tentang jalinan cinta dan pertemuan
rahasia antara pemuda dan gadis. Hubungan itu selanjutnya berlangsung setahu
orang tua mereka dan bahkan akan mendorongnya, apabila karena itu dilihatnya
mereka kemudian melanjutkan perwujudan rencana-rencana mereka sendiri.
Begitulah.
Inisiatif kaum muda seringkali menggagalkan rencana-rencana yang diidam-idamkan
para orang tua. Para kaum muda yang dilanda
kasmaran itu bahkan cenderung mengabaikan kemungkinan adanya perbedaan budaya
dan adat istiadat keluarganya.
Ada yang terpaksa kawin
semarga di dalam klannya. Ada
pula yang harus kawin meski berbeda suku dan agama. Hal ini sangat menarik
untuk ditelaah dalam studi-studi lebih lanjut, terutama perkawinan campur
antarkelompok etnis yang ada di dalam masyarakat. Bagaimana latar belakang
perkawinan campuran antaretnis itu dan bagaimana pula mereka menghadapi
berbagai aturan adat yang terjadi di dalam klan keluarganya, baik matrilokal
maupun patrilokal. Penelaahan ini tentunya akan dimulai dari studi etnografi
sebelum mengarah pada studi antropologi hukum yang terjadi dalam perkawinan
campuran itu.
Perkawinan
campuran bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Apalagi, pada masyarakat
perkotaan yang cukup heterogen. Kasus perkawinan campuran tersebut bahkan cukup
banyak dipersoalkan, terutama sejak dikeluarkannya Undang-undang Perkawinan
Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam
rumusan UU Perkawinan nasional itu dinyatakan, perkawinan adalah sah bila
dilakukan menurut hukum masing-masing agama/kepercayaannya dan dicatat menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 2).
Meskipun
tak diingkari, hak menikah dengan pasangan pilihannya adalah hak asasi setiap
orang, namun dalam kenyataan kasus perkawinan campuran tetap memunculkan
pendapat-pendapat pro maupun kontra dalam masyarakat (2000 : 99). Sebagian
besar dari pendapat yang muncul justru melihat bahwa perkawinan antara dua
orang yang berbeda agama atau suku adalah keadaan yang dapat menimbulkan
persoalan-persoalan dalam kehidupan status keluarga.
Pendapat/tanggapan
mengenai kasus perkawinan campuran tersebut kembali hangat dibahas pada tahun
1991 (ibid), yaitu setelah
dikeluarkannya surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tanggal 17 April
1989 yang menegaskan kembali mengenai pelaksanaan UU Perkawinan Tahun
1974.
Para ahli ataupun pengamat pun menyampaikan sejumlah
pendapatnya terhadap surat
edaran Mendagri itu. Di antaranya dari Bismar Siregar, Sjechul Hadi Permono,
Zakiah Daradjat, Ali Said, V. Kartosiswoyo, dan Rudini. Umumnya, mereka mencoba
menanggapi kasus perkawinan campuran tersebut atas dasar pemikiran hukum
tertentu yang masing-masing paling benar. Hukum-hukum yang diungkapkan mereka
adalah hukum-hukum yang umumnya termuat/tertulis dalam aturan negara dan agama.
Hasil
dari semua diskusi dan pendapat itu ternyata tetap saja tidak mampu membendung
terjadinya perkawinan campuran. Kenyataan ini pernah dipotret oleh Liria
Tjahaja, dosen Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, yang melakukan penelitian
perkawinan campuran antaragama.
Dalam
penelitiannya itu, Liria Tjahaja menemukan banyaknya perkawinan campuran antara
umat Katolik deangan umat Budha (188 pasangan dari 227 pasangan yang ada),
terutama di kalangan etnis Cina di kawasan Mangga Besar, Jakarta.
Perkawinan antara pasangan yang sama
dari segi etnis (Cina) tetapi berbeda dari segi agama tersebut, menurut Liria,
dalam kenyataannya tetap saja dilaksanakan lewat bermacam-macam cara atau jalur
walaupun dari segi hukum banyak dipersoalkan.
Bagaimana
pula mengenai perkawinan campuran antaretnik yang ada di Propinsi Sumatera
Utara? ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar