Sabtu, 15 Juni 2013

Perkawinan Campuran sebagai Realitas Masyarakat




B
eberapa waktu lalu, saya diminta menjadi telangkai untuk merisik hingga ijab kabul pernikahan famili di Medan. Tiap kita senantiasa menaruh perhatian yang besar sekali terhadap hal-hal perkawinan. Terutama, tentu saja menarik perhatian pemuda dan gadis yang terkait di dalamnya.
Bukan itu saja, hampir tidak kurang dari orang tua dan kerabat mereka yang jauh, yang kadang-kadang juga telah lama sibuk sebelum anak dara dan mempelai menjelang dewasa. Kerabat mereka telah saling membuat suatu perjanjian dan anak-anak yang meningkat besar mengenal calon-calon istri atau suami mereka di antara anggota-anggota masyarakat yang muda.
Perjanjian dalam sebuah perkawinan dapat dianggap oleh calon suami-istri yang bersangkutan sebagai sudah semestinya, sehingga mereka tidak merasakan perkawinan yang terjadi sebagai paksaan. Lebih dari itu, perhubungan perkerabatan menyebabkan seorang pemuda tertentu mempunyai hak dan kewajiban mengawini seorang wanita muda tertentu. Seperti adat itu melarang perkawinan tertentu, demikianlah ia akan menganggap perkawinan yang lain sebagai yang paling baik, dan mematuhi adat ialah urusan yang paling fitri di dunia ini.
Dalam studi etnografi, lebih banyak hal-hal yang membuktikan adanya kebebasan yang luas dalam pilihan-kawin. Banyak lagu-lagu cinta, yang dinyanyikan pemuda yang kasmaran pada kekasihnya. Juga kita dengar tentang jalinan cinta dan pertemuan rahasia antara pemuda dan gadis. Hubungan itu selanjutnya berlangsung setahu orang tua mereka dan bahkan akan mendorongnya, apabila karena itu dilihatnya mereka kemudian melanjutkan perwujudan rencana-rencana mereka sendiri.
Begitulah. Inisiatif kaum muda seringkali menggagalkan rencana-rencana yang diidam-idamkan para orang tua. Para kaum muda yang dilanda kasmaran itu bahkan cenderung mengabaikan kemungkinan adanya perbedaan budaya dan adat istiadat keluarganya.
Ada yang terpaksa kawin semarga di dalam klannya. Ada pula yang harus kawin meski berbeda suku dan agama. Hal ini sangat menarik untuk ditelaah dalam studi-studi lebih lanjut, terutama perkawinan campur antarkelompok etnis yang ada di dalam masyarakat. Bagaimana latar belakang perkawinan campuran antaretnis itu dan bagaimana pula mereka menghadapi berbagai aturan adat yang terjadi di dalam klan keluarganya, baik matrilokal maupun patrilokal. Penelaahan ini tentunya akan dimulai dari studi etnografi sebelum mengarah pada studi antropologi hukum yang terjadi dalam perkawinan campuran itu.
Perkawinan campuran bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi. Apalagi, pada masyarakat perkotaan yang cukup heterogen. Kasus perkawinan campuran tersebut bahkan cukup banyak dipersoalkan, terutama sejak dikeluarkannya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
            Dalam rumusan UU Perkawinan nasional itu dinyatakan, perkawinan adalah sah bila dilakukan menurut hukum masing-masing agama/kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Ayat 1 dan Ayat 2).
            Meskipun tak diingkari, hak menikah dengan pasangan pilihannya adalah hak asasi setiap orang, namun dalam kenyataan kasus perkawinan campuran tetap memunculkan pendapat-pendapat pro maupun kontra dalam masyarakat (2000 : 99). Sebagian besar dari pendapat yang muncul justru melihat bahwa perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau suku adalah keadaan yang dapat menimbulkan persoalan-persoalan dalam kehidupan status keluarga.
            Pendapat/tanggapan mengenai kasus perkawinan campuran tersebut kembali hangat dibahas pada tahun 1991 (ibid), yaitu setelah dikeluarkannya surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tanggal 17 April 1989 yang menegaskan kembali mengenai pelaksanaan UU Perkawinan Tahun 1974. 
Para ahli ataupun pengamat pun menyampaikan sejumlah pendapatnya terhadap surat edaran Mendagri itu. Di antaranya dari Bismar Siregar, Sjechul Hadi Permono, Zakiah Daradjat, Ali Said, V. Kartosiswoyo, dan Rudini. Umumnya, mereka mencoba menanggapi kasus perkawinan campuran tersebut atas dasar pemikiran hukum tertentu yang masing-masing paling benar. Hukum-hukum yang diungkapkan mereka adalah hukum-hukum yang umumnya termuat/tertulis dalam aturan negara dan agama.
            Hasil dari semua diskusi dan pendapat itu ternyata tetap saja tidak mampu membendung terjadinya perkawinan campuran. Kenyataan ini pernah dipotret oleh Liria Tjahaja, dosen Universitas Katolik Atmajaya Jakarta, yang melakukan penelitian perkawinan campuran antaragama.
Dalam penelitiannya itu, Liria Tjahaja menemukan banyaknya perkawinan campuran antara umat Katolik deangan umat Budha (188 pasangan dari 227 pasangan yang ada), terutama di kalangan etnis Cina di kawasan Mangga Besar, Jakarta. Perkawinan  antara pasangan yang sama dari segi etnis (Cina) tetapi berbeda dari segi agama tersebut, menurut Liria, dalam kenyataannya tetap saja dilaksanakan lewat bermacam-macam cara atau jalur walaupun dari segi hukum banyak dipersoalkan.
            Bagaimana pula mengenai perkawinan campuran antaretnik yang ada di Propinsi Sumatera Utara? ***





Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar