Oleh : Budi Hatees
K
|
ritikus adalah kaum yang pantas
dicurigai. Mereka suka diberi label luar
biasa, kalau tidak memberi label pada
dirinya sendiri maupun orang lain.
“Siapa yang mengatakan kamu kritikus?”
Seseorang di gedung pengadilan bertanya kepada Adinan, tokoh dalam cerpen
berjudul “Kritikus Adinan” karya Budi Darma. Pertanyaan itu tidak bisa
dijawabnya. Ia sendiri tak tahu persis, tiba-tiba saja semua orang memanggilnya
dengan tambahan kritikus di depan namanya. Tapi, karena panggilan itu, ia pun dicurigai.
Pengadilan memanggilnya sebagai tersangka, tapi ia tak tahu kesalahan apa yang
disangkakan kepadanya. Ia hanya tahu bahwa sepotong surat panggilan datang dari
pengadilan, dan ia harus memenuhi panggilang tersebut.
Cerpen “Kritikus
Adinan” bisa ditemukan dalam antologi cerpen berjudul Kritikus Adinan (Bentang Budaya, 2001). Sebuah kisah yang mengkritik para kritikus,
ditulis dengan nada muram khas Budi Darma yang mengingatkan pembaca pada nasib
muram manusia yang tak tahu dirinya dijadikan pesakitan.
Pada zaman saat orang
memanggil Adinan sebagai
“kritikus”, adalah zaman
ketika penguasa negara menganggap segala
bentuk kritik sebagai barang haram. Maka, seseorang yang disebut kritikus dan
karenanya pastilah seorang yang hidup dari mengkritisi segala sesuatu, sama
berbahayanya dengan segerombolan orang yang membentuk kelompok klandestin.
Sebab itu, menjadikan Adinan sebagai tersangka dan dipanggil pengadilan untuk
mempertanggungjawabkan sebutan kritikus, itu adalah sesuatu yang seharusnya
dilakukan oleh penguasa yang paranoid.
Konon, Budi Darma
menulis cerpen itu sambil membayangkan HB Jassin. Pada zaman itu, satu-satunya orang yang dipanggil kritikus
cuma HB Jassin dengan nama julukan yang
sangar, Paus Sastra. Cerpen itu sendiri diterbitkan di majalah Horison, di media dimana HB Jassin
menjadi penentu layak tidaknya sebuah karya sastra diterbitkan. Tapi, HB Jassin
tak menganggap cerpen itu ditujukan kepada dirinya.
Ada banyak karya sastra yang ditulis
dengan niat untuk mengkritik. Niat yang diarah secara samar maupun
terang-terangan terhadap suatu kemapanan, misalnya, terhadap penguasa Negara
yang hagemonik. Ada pengarang yang mengkritik secara terang-terangan,
disampaikan secara berani dan berhadap-hadapan secara langsung dengan entitas
yang dikritik. Tapi, tidak sedikit yang mengemas kritiknya lewat symbol yang
halus, yang membutuhkan penafsiran ketat untuk sampai pada simpul siapa yang
menjadi sasaran tembaknya.
Cerpen “Kematian Paman
Gober” karya Seno Gumira Ajidarma termasuk kritik yang tajam, ditujukan kepada
pemegang kekuasaan Negara yang hagemonik, Presiden Soeharto. Cerpen yang mengambil karakter tokoh animasi,
Paman Gober, itu merupakan personifikasi Presiden Soeharto. Pada zaman ketika
cerpen itu terbit pertama kali di Republika,
dampaknya sangat serius karena manajemen perusahaan penerbitan koran itu
mendapat teguran keras dari penguasa Negara. Republika pun mengumumkan bahwa cerpen “Kematian Paman Gober” tidak pernah diterbitkan di koran yang dibangun
Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) itu.
Cerpen itu dibuka
dengan paragaraf yang langsung menusuk jantung pemegang kekuasaan negara: “Kematian paman gober ditunggu-tunggu semua bebek. Tidak ada
lagi yang bisa dilakukan selain menunggu-nunggu saat itu. Setiap kali penduduk
Kota Bebek membuka koran, yang mereka ingin ketahui hanya satu hal : apakah
hari ini Paman Gober sudah mati. Paman Gober memang terlalu kuat, terlalu
licin, dan bertambah kaya setiap hari. Gudang-gudang uangnya berderet dan semuanya
penuh. Setiap hari Paman Gober mandi uang disana, segera setelah menghitung
jumlah terakhir kekayaannya, yang tak pernah berhenti bertambah.”
Ketika cerpen itu
muncul, rakyat di negeri ini juga sedang menunggu kabar apakah Presiden
Soeharto, pemegang kekuasaan Negara Orde Baru yang hagemonik dan militeristik,
itu sudah mati apa belum. Tiap pagi, setiap warga Negara selalu berharap
menemukan berita kematian Presiden Soeharto, sebagaimana situasi yang dialami
oleh masyarakat Kota Bebek. Meskipun,
ternyata, kematian yang diharapkan itu tak kunjung muncul. Tapi, yang jelas,
kematian kreativitas segera tiba dengan adanya pengekangan kebebasan
berekspresi di kalangan sastrawan.
Tapi, kekangan itu tak
membuat Seno Gumira Ajidarma berhenti menjadikan cerpen sebagai medium
mengkritik terhadap pemegang kekuasaan Negara. Lewat cerpen-cerpennya yang
berkisah tentang implikasi gerakan militerisme Negara di wilayah Timor Timur,
yang kemudian dikumpulkan dalam buku Saksi
Mata (1994), Seno Gumira Ajidarma mengukuhkan diri sebagai sastrawan
sekaligus kritikus yang paling wahid di negeri ini. Kemampuannya mengkritik
lebih tajam dibandingkan kemampuan para intelektual, bahkan ia sampai pada
kesimpulan “ketika jurnalisme dibungkam, maka sastra yang harus bicara”.
Pada akhirnya cerpen
memang mengandung kritik. Tapi, sasaran
kritik dari para penulis cerpen di negeri ini tidak selalu pemegang kekuasaan
Negara, sering juga diarahkan terhadap individu-individu tertentu. Tak jarang
kritik yang ditampilkan para sastrawan bersifat personal, menyangkut
perkara-perkara yang tak pantas disajikan di hadapan publik sastra. Bahkan, tak
jarang cerpen yang muncul di negeri ini mengkritik hal-hal yang terkesan remeh,
yang tak ada kaitannya dengan
kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Lemahnya kritik yang disampaikan
pengarang lewat cerpen dipengaruhi banyak faktor, terutama karena kerja mengkritik adalah kerja
yang sangat kuat dipengaruhi subyektivitas manusia. Fakta yang dibeberkan
pengarang dalam cerpen acap tak bisa ditangkap pembaca, sehingga pesan yang
ingin disampaikan terkesan mengada-ada.
Maka,
wajar bila ekpresi publik terhadap segala bentuk kritik menjadi sangat beragam.
Pasalnya, kritik mengandung konotasi buruk sebagaimana makna semantik dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Ketika kata kritik dipakai,
orang segera berpikir tentang hal-hal yang buruk. Maka, wajar bila orang
kemudian marah, karena merasa kritik membuatnya terlihat buruk. Elite negara
pun marah karena merasa kritik membuatnya terlihat tidak mampu, meskipun
sesungguhnya para elite di negara ini memang bukan individu-individu yang cakap
dengan tugas dan tanggung jawabnya.
Hampir semua warga
bangsa gemar memanjakan kemarahan ketika meneri kritik. Bahkan, di dalam karya seni, kemarahan
seperti itu selalu terjadi. Sebab, ketika kata kritik dipakai untuk sebuah karya seni, asumsi orang lain langsung pada hal-hal negatif yang ditemukan
pada karya bersangkutan.
Kita tidak bisa menyalahkan persepsi umum tentang kritik, tapi kita bisa menyayangkan betapa kualitas pengetahuan dan pemahaman
tentang kritik masih berkelas rendahan. Sama seperti pengetahuan dan pemahaman
yang umumnya berlaku di kalangan elite pemerintah, yang langsung menunjukkan
kekuasaannya atas dinamika kehidupan sosial-masyarakat, ketika kebijakan-kebijakan
yang dibuatnya mendapat kritik.
Itu sebabnya, kualitas kritik dalam karya cerpen tidak terlalu menggembirakan,
apalagi cerpen yang muncul di era reformasi saat ini.
Artinya, pembaca sastra
jarang menemukan cerpen dengan kualitas kritik yang sejajar dengan
cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi
Mata. Kritik yang disampaikan para sastrawan terlalu personal, sangat
individual, sehingga tak layak menjadi konsumsi publik. ***
Penulis adalah esais, penikmat karya
sastra, tinggal di Kota Sipirok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar