Minggu, 02 Juni 2013

J A R A N A N


Cerpen : Tanita Liasna



B
uk, ayolah, Buk. Kasih izin ya, Buk. Ibuk. Jawablah, Buk. Jangan diam saja,” rengek Bayu yang berdiri di samping ibunya.
            Rahmi tak sama sekali bergeming. Katup mulutnya kian rapat. Tatapnya hanya pada gulai terong yang sedang dimasaknya.
            “Buk, boleh kenapa, Buk. Ya Buk, ya. Buk, boleh ya, Buk,” pinta Bayu memelas.
            “Enggak,” jawab Rahmi pendek.
            “Semua teman-teman Bayu dikasih izin, Buk. Kenapa Bayu nggak? Ibuk nggak sayang Bayu,” ujar Bayu sambil berlari masuk ke dalam kamar.
            Rahmi menghela nafas sedalam yang ia bisa. Sedu Bayu mulai terdengar menyentuh gendang telinga Rahmi.
            “Anak itu. Selalu seperti itu jika inginnya tak dipenuhi,” ujar Rahmi pada dirinya sendiri.
            “Bayu,” panggil Rahmi sembari membuka pintu kamar.
            Terlihat Bayu sedang menelungkupkan badannya di atas tempat tidur. Dengan wajah disimpan rapat di atas guling bermotif kain berbunga biru.
            “Sudah. Jangan nangis lagi. Ibuk kasih kamu izin pergi. Sudah ya, Nak,” bujuk Rahmi.
            Mendengar ujar yang dilantunkan Rahmi dari mulutnya, Bayu terperanjat. “Bener, Buk, Ibuk kasih izin Bayu pergi malam ini?” tanya Bayu mengusap-usap pipinya yang penuh dengan air mata.
            Rahmi mengangguk sambil mengelus kepala Bayu.
           “Hore! Makasih, Buk. Ibuk memang baik,” ujar Bayu sambil menghambur keluar kamar. Ia berlari ke lapangan yang terletak tak jauh dari rumahnya. Di sana semua teman-temannya telah menunggu jawaban Bayu.
            “Woi, aku dikasih nonton malam ini!” jerit Bayu yang suaranya sampai ke telinga Rahmi.
            Biasanya melihat Bayu bahagia, Rahmi lebih merasakan kebahagiaan. Tapi kali ini lain. Hatinya terasa tertusuk sembilu. Menggelindingkan ingatannya pada kejadian beberapa tahun lalu.
            “Mas, malam ini mau tampil di mana lagi?” tanya Rahmi sembari duduk di samping suaminya. Parmin sedang asyik membersihkan kuda-kuda tanpa kaki yang terbuat dari anyaman bambu miliknya.
            “Di desa sebelah, Buk,” sahut suaminya.
            “Bukannya baru beberapa minggu yang lalu Mas tampil di sana?” tanya Rahmi lagi.
            “Memang dapat panggilan ke sana. Jadi mau cemana? ujar suaminya.
            “Pulangnya cepat ya, Mas. Jangan seperti kemarin. Sampai jam tiga pagi baru pulang,” pinta Rahmi sedikit memelas. Suaminya hanya mengangguk pelan.
            “Bayi ini suka menendang kalau rindu pada Bapaknya,” ucap Rahmi lagi.
            “Ya, Mas upayakan ya,” sahutnya dengan seulas senyum tipis.
            Malam pun tiba. Awan hitam melukiskan kelamnya di langit. Sepotong bulan sabit menggantung. Ada beberapa bintang gemerlap menghiasi malam yang semakin matang.
            Rahmi duduk di depan pintu. Mengelus perutnya yang kian membuncit. Ada sepotong air mata jatuh di tangannya. Entah mengapa hampir sebulan ini, setiap suaminya pergi bekerja, Rahmi selalu meleburkan air mata. Pikirannya selalu tak karuan.
            Sebenarnya ada muasal yang membuat Rahmi seperti ini. Ketika itu, yang ia tahu suaminya beberapa hari lalu membawakan Jaran Kepang di kampung sebelah. Namun, ketika ia memertanyakan hal itu kepada seorang bidan di kampung tersebut, Sang Bidan malah berkata bahwa sudah lama sekali tidak ada pertunjukan Jaran Kepang di kampungnya.
            Sejak kejadian itu, beragam tanya menggelantung di tiang pikirnya. Kemanakah suaminya pergi? Dengan siapakah ia hingga malam? Mengapa beralasan akan tampil bermain Jaran Kepang di desa sebelah? Dan banyak lagi pertanyaan yang mencumbu habis ketenangan Rahmi.
Tapi, begitulah Rahmi. Sekuat apa pun keinginannya untuk bertanya, ia hanya bisa bungkam.  Hingga ketika bayinya genap berumur delapan bulan, Parmin meninggalkan Rahmi begitu saja.
Setelah enam bulan kepergiannya yang tak bersebab itu, Rahmi mendengar dari para tetangga, bahwa suaminya telah menikah dengan seorang gadis dari desa sebelah. Konon katanya, gadis itu selalu menonton pertunjukan Jaran Kepang yang dipawangi oleh Parmin, suaminya.
Sejak itulah, Rahmi membenci kesenian rakyat yang satu ini. Dan berupaya agar Bayu tak perlu menonton apalagi menyukai Jaran Kepang. Dan menutup kejadian ini rapat-rapat dari Bayu. Jika Bayu bertanya perihal Bapaknya, Rahmi hanya mengatakan bahwa Bapaknya telah meninggal dunia.
            “Buk, Ibuk!” jerit Bayu yang tiba-tiba membuyarkan segala kenang Rahmi tentang kejadian pilu itu.
            “Apa? Kenapa teriak-teriak begitu, Nak?” tanya Rahmi.
            “Bapak tukang main Jaran Kepang ya, Buk? Pantesan Bayu senang nonton Jaran Kepang,” kata Bayu bersemangat.
            Rahmi menatap tajam Bayu. Perkataan Anaknya tadi benar-benar mengusung sebongkah kebencian dalam dadanya. “Kamu dengar cerita itu dari siapa?” tanya Rahmi dingin.
Seketika Bayu gemetar. Ia tak pernah melihat Ibunya dengan wajah seseram itu.
“Dari Deni, Buk. Dia bilang yang bilang Ibunya, Buk,” sahut Bayu gelagapan.
“Masuklah ke dalam kamar. Jangan lagi keluar,” ujar Rahmi.
            “Tapi Bayu mau nonton Jaran Kepang, Buk,” sahut Bayu tertunduk.
            “Bisa berhenti membicarakan itu Bayu? Ibuk muak. Setiap waktu yang kau bicarakan hanya itu saja. Yang kau minta hanya itu saja. Bisakah kau sukai hal lain selain Jaran Kepang itu?” ujar Rahmi sedikit berteriak.
            “Ibuk,” sahut Bayu ketakutan.
            “Sekarang kau masuk kamar. Jangan lagi keluar. Dan jangan bicara soal itu lagi!” teriak Rahmi dengan nada kemarahan.
            Bayu berlari masuk ke dalam kamarnya. Tangis menggerogoti luka-luka kering di hati Rahmi.
            “Ya Allah, betapa tak sanggup hamba mengingat itu semua,” ujar Rahmi terduduk lemas di lantai dapurnya. Kuntum-kuntum air mata merekah dari dua bola mata sayunya.
            Andai, ketika itu Rahmi bertanya perihal kabar yang ia dengar dari bidan tempatnya memeriksa kandungan. Andai, kala itu dia bicara, mungkin suaminya tidak akan meninggalkannya. Andai, ketika itu dia bicara, Bayu tidak akan kehilangan seorang Bapak. Andai ketika itu ia bicara, Bayu tidak akan menangis seperti ini. Andai dia bicara kala itu, tak kan ia marah-marah hanya karena Bayu ingin menonton pertunjukan Jaran Kepang. Andai ketika itu dia bicara, mungkin semua takkan jadi begini. ***




Rumah Cerita, 17-18  Februari 2013

 
Tanita Liasna lahir di Binjai 27 Juli 1991. Mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID) STKIP Budidaya Binjai ini pernah aktif dalam teater dan paduan suara di STKIP Budidaya Binjai. Kini aktif di Sanggar Menulis Rumah Cerita. Email tanita_liasna@rocketmail.com. Blog : vende-tha.co.cc.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar