Cerpen : Tanita Liasna
“B
|
uk, ayolah, Buk. Kasih izin ya, Buk. Ibuk. Jawablah, Buk. Jangan diam saja,” rengek Bayu yang
berdiri di samping ibunya.
Rahmi tak sama sekali
bergeming. Katup mulutnya kian rapat. Tatapnya hanya pada gulai terong yang
sedang dimasaknya.
“Buk, boleh kenapa, Buk. Ya Buk, ya. Buk, boleh ya, Buk,” pinta Bayu memelas.
“Enggak,” jawab Rahmi
pendek.
“Semua teman-teman Bayu
dikasih izin, Buk. Kenapa Bayu nggak? Ibuk nggak sayang
Bayu,” ujar Bayu sambil berlari masuk ke dalam kamar.
Rahmi menghela nafas
sedalam yang ia bisa. Sedu Bayu mulai terdengar menyentuh gendang telinga
Rahmi.
“Anak itu. Selalu seperti
itu jika inginnya tak dipenuhi,” ujar Rahmi pada dirinya sendiri.
“Bayu,” panggil Rahmi
sembari membuka pintu kamar.
Terlihat Bayu sedang
menelungkupkan badannya di atas tempat tidur. Dengan wajah disimpan rapat di
atas guling bermotif kain berbunga biru.
“Sudah. Jangan nangis
lagi. Ibuk kasih kamu izin pergi. Sudah ya, Nak,” bujuk Rahmi.
Mendengar ujar yang
dilantunkan Rahmi dari mulutnya, Bayu terperanjat. “Bener, Buk, Ibuk kasih izin Bayu pergi malam ini?” tanya Bayu
mengusap-usap pipinya yang penuh dengan air mata.
Rahmi mengangguk sambil
mengelus kepala Bayu.
“Hore! Makasih, Buk. Ibuk memang baik,” ujar Bayu sambil menghambur keluar kamar. Ia
berlari ke lapangan yang terletak tak jauh dari rumahnya. Di sana semua
teman-temannya telah menunggu jawaban Bayu.
“Woi, aku dikasih nonton malam ini!” jerit Bayu yang suaranya sampai ke telinga Rahmi.
Biasanya melihat Bayu
bahagia, Rahmi lebih merasakan kebahagiaan. Tapi kali ini lain. Hatinya terasa
tertusuk sembilu. Menggelindingkan ingatannya pada kejadian beberapa tahun
lalu.
“Mas, malam ini mau tampil
di mana lagi?” tanya Rahmi sembari duduk di samping
suaminya. Parmin sedang asyik membersihkan kuda-kuda tanpa kaki yang terbuat
dari anyaman bambu miliknya.
“Di desa sebelah, Buk,” sahut suaminya.
“Bukannya baru beberapa
minggu yang lalu Mas tampil di sana?” tanya Rahmi lagi.
“Memang dapat panggilan ke
sana. Jadi mau cemana?” ujar suaminya.
“Pulangnya cepat ya, Mas. Jangan seperti kemarin. Sampai jam tiga pagi baru pulang,” pinta
Rahmi sedikit memelas. Suaminya hanya mengangguk pelan.
“Bayi ini suka menendang
kalau rindu pada Bapaknya,” ucap Rahmi lagi.
“Ya, Mas upayakan ya,”
sahutnya dengan seulas senyum tipis.
Malam pun tiba. Awan hitam
melukiskan kelamnya di langit. Sepotong bulan sabit menggantung. Ada beberapa
bintang gemerlap menghiasi malam yang semakin matang.
Rahmi duduk di depan
pintu. Mengelus perutnya yang kian membuncit. Ada sepotong air mata jatuh di
tangannya. Entah mengapa hampir sebulan ini, setiap suaminya pergi bekerja,
Rahmi selalu meleburkan air mata. Pikirannya selalu tak karuan.
Sebenarnya ada muasal yang
membuat Rahmi seperti ini. Ketika itu, yang ia tahu suaminya beberapa hari lalu
membawakan Jaran Kepang di kampung sebelah. Namun, ketika ia memertanyakan hal
itu kepada seorang bidan di kampung tersebut, Sang Bidan malah berkata bahwa
sudah lama sekali tidak ada pertunjukan Jaran Kepang di kampungnya.
Sejak kejadian itu,
beragam tanya menggelantung di tiang pikirnya. Kemanakah suaminya pergi? Dengan
siapakah ia hingga malam? Mengapa beralasan akan tampil bermain Jaran Kepang di
desa sebelah? Dan banyak lagi pertanyaan yang mencumbu habis ketenangan Rahmi.
Tapi, begitulah Rahmi. Sekuat apa pun keinginannya
untuk bertanya, ia hanya bisa bungkam.
Hingga ketika bayinya genap berumur delapan bulan, Parmin meninggalkan
Rahmi begitu saja.
Setelah enam bulan kepergiannya yang tak bersebab
itu, Rahmi mendengar dari para tetangga, bahwa suaminya telah menikah dengan
seorang gadis dari desa sebelah. Konon katanya, gadis itu selalu menonton
pertunjukan Jaran Kepang yang dipawangi oleh Parmin, suaminya.
Sejak itulah, Rahmi membenci kesenian rakyat yang
satu ini. Dan berupaya agar Bayu tak perlu menonton apalagi menyukai Jaran
Kepang. Dan menutup kejadian ini rapat-rapat dari Bayu. Jika Bayu bertanya
perihal Bapaknya, Rahmi hanya mengatakan bahwa Bapaknya telah meninggal dunia.
“Buk, Ibuk!” jerit Bayu yang
tiba-tiba membuyarkan segala kenang Rahmi tentang kejadian pilu itu.
“Apa? Kenapa teriak-teriak
begitu, Nak?” tanya Rahmi.
“Bapak tukang main Jaran
Kepang ya, Buk? Pantesan Bayu senang nonton Jaran Kepang,”
kata Bayu bersemangat.
Rahmi menatap tajam Bayu.
Perkataan Anaknya tadi benar-benar mengusung sebongkah kebencian dalam dadanya.
“Kamu dengar cerita itu dari siapa?” tanya Rahmi dingin.
Seketika Bayu gemetar. Ia tak pernah melihat
Ibunya dengan wajah seseram itu.
“Dari Deni, Buk. Dia bilang yang
bilang Ibunya, Buk,” sahut Bayu gelagapan.
“Masuklah ke dalam kamar. Jangan lagi keluar,”
ujar Rahmi.
“Tapi Bayu mau nonton
Jaran Kepang, Buk,” sahut Bayu tertunduk.
“Bisa berhenti
membicarakan itu Bayu? Ibuk muak. Setiap waktu yang kau
bicarakan hanya itu saja. Yang kau minta hanya itu saja. Bisakah kau sukai hal
lain selain Jaran Kepang itu?” ujar Rahmi sedikit berteriak.
“Ibuk,” sahut Bayu
ketakutan.
“Sekarang kau masuk kamar.
Jangan lagi keluar. Dan jangan bicara soal itu lagi!” teriak Rahmi dengan nada
kemarahan.
Bayu berlari masuk ke
dalam kamarnya. Tangis menggerogoti luka-luka kering di hati Rahmi.
“Ya Allah, betapa tak
sanggup hamba mengingat itu semua,” ujar Rahmi terduduk lemas di lantai
dapurnya. Kuntum-kuntum air mata merekah dari dua bola mata sayunya.
Andai, ketika itu Rahmi
bertanya perihal kabar yang ia dengar dari bidan tempatnya memeriksa kandungan.
Andai, kala itu dia bicara, mungkin suaminya tidak akan meninggalkannya. Andai,
ketika itu dia bicara, Bayu tidak akan kehilangan seorang Bapak. Andai ketika
itu ia bicara, Bayu tidak akan menangis seperti ini. Andai dia bicara kala itu,
tak kan ia marah-marah hanya karena Bayu ingin menonton pertunjukan Jaran
Kepang. Andai ketika itu dia bicara, mungkin semua takkan jadi begini. ***
Rumah Cerita, 17-18 Februari 2013
Tanita Liasna lahir di
Binjai 27 Juli 1991. Mahasiswi Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah (PBSID)
STKIP Budidaya Binjai ini pernah aktif dalam teater dan paduan suara di STKIP
Budidaya Binjai. Kini aktif di Sanggar Menulis Rumah Cerita. Email tanita_liasna@rocketmail.com. Blog :
vende-tha.co.cc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar