Minggu, 23 Juni 2013

Teater dan Pencerdasan Bangsa





K
EMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia baru saja menggelar Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) di Medan. Kegiatan ini merupakan agenda tahunan kementerian tersebut di bidang seni siswa. Di antara banyak kegiatan, teater  merupakan favorit saya, yang berlangsung 18-19 Juni 2013 di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU). Di tempat sama, sepekan sebelumnya, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara mengadakan Parade Teater Bahtera.
Pertumbuhan teater di sekolah dan perguruan tinggi berdampak terhadap kuantitas dan kualitas penonton. Ternyata bukan hanya anak sekolah yang mengunjungi pertunjukan teater, keluarganya pun turut serta. Selain itu, terdapat pula anggota sanggar yang setelah menamatkan studi, melanjutkan sekolahnya pada perguruan tinggi-perguruan tinggi seni di Padangpanjang maupun di pulau Jawa.
Perkembangan positif sebagaimana digambarkan di atas, semoga tidak membuat pelaku-pelaku teater larut dalam utopia. Sebab, pembinaan teater tidak pernah mengenal kata “selesai”. Pencapaian yang ada sekarang, jelas merupakan akumulasi banyak faktor.
Sebut saja peran pemerintah, peran kepala sekolah dan guru, peran keluarga, masyarakat, media massa dan lain sebagainya, serta yang tak boleh dilupakan adalah peran dari insan-insan pelaku teater itu sendiri, yang ditunjukkan lewat performa, perilaku, dan unjuk karya.
Dengan pemahaman seperti ini, komunikasi dan silaturahmi kepada semua pihak, terutama antarpelaku seni teater, mutlak terus dilakukan. Muara dari upaya tersebut adalah percepatan serasi antara pertumbuhan komunitas-komunitas teater dan kemampuan khalayak luas selaku kumpulan individu masyarakat penonton dalam mencerap, baik keberadaan organisasi maupun hasil karya pementasan.
Keseimbangan antara dua aspek tersebut adalah tumbuh berkembangnya kesadaran dalam masyarakat tentang arti penting teater dalam dinamika sosial, yang bukan hanya sebagai sarana penghibur semata, melainkan sekaligus sebagai media pendidikan. Di sisi lain, teater juga tumbuh dengan kepekaan membaca kondisi sosial masyarakat, membaca tanda-tanda zaman, untuk kemudian diendapkan dalam permenungan jujur dan mendalam yang selanjutnya diwujudkan dalam pementasan karya teater.
Dengan demikian, tidak hanya keterwakilan dan rasa memiliki yang ada dalam benak dan hati masyarakat penonton ketika menikmati pertunjukan, tetapi juga bahwa teater dalam arti keberadaan dan perbuatan, berperan vital dalam proses sosial. Reposisi terhadap kedudukan dan fungsi teater dalam masyarakat, sesegera mungkin harus dilakukan secara bijak.
Betapa tidak, stigma buruk yang melekat pada teater, ternyata masih terlacak pada benak orang banyak. Ambil contoh ungkapan: “Ah, itu kan cuma sandiwara!” Lantas, ketika seseorang yang sukses dikerjai rekannya akan mengatakan: “Busyet, akting Ente bagus!”
Ketika tidak terima dengan keputusan pengadilan, pihak-pihak yang merasa dirugikan berteriak lantang: “Jangan jadikan sidang pengadilan yang terhormat ini sebagai panggung sandiwara!”
Ketika terjadi kasus nyata penculikan, orang akan mengatakan peristiwa tersebut sebagai : “Drama Penculikan”. Bahkan, terhadap fenomena aneh tapi nyata yang terjadi di Indonesia, yaitu tetap pede-nya figur-figur pemimpin masa lalu membuat rumah politik alias partai politik, padahal yang bersangkutan nyata-nyata pernah tersangkut hukum, orang yang mengaku dirinya tidak gemar politik praktis pun bisa dengan enteng mengatakan : “Ah, itu kan cuma sandiwara politik...”
Stigma buruk tersebut tampaknya harus dibuang jauh-jauh. Caranya, tidak lain dengan mengusung teater ke bangku sekolah. Wah, teater bisa sekolah? Tentu saja. Seni teater ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum.
Ada berupa paket pembelajaran yang bisa dilakukan. Di antaranya melalui kegiatan ekstrakurikuler ataupun pengembangan diri. Ada pula langsung menjadi mata pelajaran sendiri, yakni Seni Budaya (Seni Teater). Bahkan, ada pula yang kedua-duanya, mata pelajaran dan ekstrakurikuler, seperti pernah ada di SMK Negeri 1 Percut Sei Tuan Deliserdang ataupun SMA Harapan 1 Medan, SMA Harapan 2 Medan, SMA Negeri 3 Medan, dan SMK Negeri 8 Medan.
Keberadaan studi teater di sekolah ini bisa saja dijadikan embrio untuk pembentukan sanggar teater sekolah. Selain hal itu bertujuan untuk mengembangkan dunia teater di daerah setempat, studi teater ini dapat sebagai tempat menyalurkan bakat dan minat siswa-siswa di sekolah.
Teater sekolah, selain sebagai media penyaluran minat bakat siswa, serta sebagai kawah Chandradimuka pembentukan kepribadian (Character Buildings), proses latihan teater yang kompleks, nyata-nyata selaras dengan Taksonomi Blooms.
Simak saja contoh-contoh dalam latihan-latihan dasar yang berkenaan dengan pengembangan kemampuan Kognitif, mulai dari reading, menghafal naskah, dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan bedah naskah dan analisis pemeranan.
Berkenaan dengan kemampuan Afektif, mulai dari prev, olah rasa, kontemplasi, observasi dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan menghayati tokoh cerita dalam naskah.
Demikian pula halnya kemampuan Psikomotorik, mulai dari pemanasan, olah tubuh, olah vokal, mimik, pose, gesture, pantomim, moving, grouping dan lain sebagainya sampai kepada blocking pementasan.
Sementara itu, dari sisi produksi, kemampuan menejerial, kerjasama tim, beserta lika-liku penyelenggaraan pementasan, adalah laboratorium lengkap bagi pengembangan nilai-nilai moral, mental, spiritual dan intelektual siswa.***







Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar