K
|
EMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia baru saja menggelar
Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) di Medan. Kegiatan ini merupakan
agenda tahunan kementerian tersebut di bidang seni siswa. Di antara banyak
kegiatan, teater merupakan favorit saya,
yang berlangsung 18-19 Juni 2013 di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU). Di
tempat sama, sepekan sebelumnya, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara mengadakan Parade Teater Bahtera.
Pertumbuhan teater di sekolah dan perguruan tinggi berdampak terhadap
kuantitas dan kualitas penonton. Ternyata bukan hanya anak sekolah yang
mengunjungi pertunjukan teater,
keluarganya pun turut serta. Selain itu, terdapat pula anggota sanggar yang
setelah menamatkan studi, melanjutkan sekolahnya pada perguruan
tinggi-perguruan tinggi seni di Padangpanjang maupun di pulau Jawa.
Perkembangan positif sebagaimana digambarkan di atas, semoga tidak membuat
pelaku-pelaku teater
larut dalam utopia. Sebab, pembinaan teater tidak pernah mengenal kata “selesai”. Pencapaian yang ada
sekarang, jelas merupakan akumulasi banyak faktor.
Sebut saja peran pemerintah, peran kepala sekolah dan guru, peran keluarga,
masyarakat, media massa dan lain sebagainya, serta yang tak boleh dilupakan
adalah peran dari insan-insan pelaku teater itu sendiri, yang ditunjukkan lewat performa, perilaku, dan
unjuk karya.
Dengan pemahaman seperti ini, komunikasi dan silaturahmi kepada semua
pihak, terutama antarpelaku seni teater, mutlak terus dilakukan. Muara dari upaya tersebut adalah
percepatan serasi antara pertumbuhan komunitas-komunitas teater dan kemampuan
khalayak luas selaku kumpulan individu masyarakat penonton dalam mencerap, baik
keberadaan organisasi maupun hasil karya pementasan.
Keseimbangan antara dua aspek tersebut adalah tumbuh berkembangnya
kesadaran dalam masyarakat tentang arti penting teater dalam dinamika sosial, yang bukan
hanya sebagai sarana penghibur semata, melainkan sekaligus sebagai media
pendidikan. Di sisi lain, teater
juga tumbuh dengan kepekaan membaca kondisi sosial masyarakat, membaca
tanda-tanda zaman, untuk kemudian diendapkan dalam permenungan jujur dan
mendalam yang selanjutnya diwujudkan dalam pementasan karya teater.
Dengan demikian, tidak hanya keterwakilan dan rasa memiliki yang ada dalam
benak dan hati masyarakat penonton ketika menikmati pertunjukan, tetapi juga
bahwa teater dalam
arti keberadaan dan perbuatan, berperan vital dalam proses sosial. Reposisi
terhadap kedudukan dan fungsi teater dalam masyarakat, sesegera mungkin harus dilakukan secara
bijak.
Betapa tidak, stigma buruk yang melekat pada teater, ternyata masih terlacak pada benak
orang banyak. Ambil contoh ungkapan: “Ah, itu kan cuma sandiwara!” Lantas, ketika seseorang yang sukses dikerjai
rekannya akan mengatakan: “Busyet,
akting Ente bagus!”
Ketika tidak terima dengan keputusan pengadilan, pihak-pihak yang merasa
dirugikan berteriak lantang: “Jangan jadikan sidang pengadilan yang terhormat
ini sebagai panggung sandiwara!”
Ketika terjadi kasus nyata penculikan, orang akan mengatakan peristiwa
tersebut sebagai : “Drama Penculikan”. Bahkan, terhadap fenomena aneh tapi
nyata yang terjadi di Indonesia, yaitu tetap pede-nya figur-figur pemimpin masa
lalu membuat rumah politik alias partai politik, padahal yang bersangkutan
nyata-nyata pernah tersangkut hukum, orang yang mengaku dirinya tidak gemar
politik praktis pun bisa dengan enteng mengatakan : “Ah, itu kan cuma sandiwara politik...”
Stigma buruk tersebut tampaknya harus dibuang jauh-jauh. Caranya, tidak
lain dengan mengusung teater ke bangku sekolah. Wah, teater bisa sekolah? Tentu
saja. Seni teater ini bisa dimasukkan ke dalam kurikulum.
Ada berupa paket pembelajaran yang bisa dilakukan. Di antaranya melalui
kegiatan ekstrakurikuler ataupun pengembangan diri. Ada pula langsung menjadi
mata pelajaran sendiri, yakni Seni Budaya (Seni Teater). Bahkan, ada pula yang
kedua-duanya, mata pelajaran dan ekstrakurikuler, seperti pernah ada di SMK
Negeri 1 Percut Sei Tuan Deliserdang ataupun SMA Harapan 1 Medan, SMA Harapan 2
Medan, SMA Negeri 3 Medan, dan SMK Negeri 8 Medan.
Keberadaan studi teater di sekolah ini bisa saja dijadikan embrio untuk
pembentukan sanggar teater
sekolah. Selain hal itu bertujuan untuk mengembangkan dunia teater di daerah setempat,
studi teater ini dapat sebagai tempat menyalurkan bakat dan minat siswa-siswa
di sekolah.
Teater sekolah,
selain sebagai media penyaluran minat bakat siswa, serta sebagai kawah Chandradimuka
pembentukan kepribadian (Character
Buildings), proses latihan
teater yang
kompleks, nyata-nyata selaras dengan Taksonomi
Blooms.
Simak saja contoh-contoh dalam latihan-latihan
dasar yang berkenaan
dengan pengembangan kemampuan Kognitif,
mulai dari reading, menghafal naskah,
dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan bedah naskah dan analisis
pemeranan.
Berkenaan dengan kemampuan Afektif,
mulai dari prev, olah rasa, kontemplasi,
observasi dan lain sebagainya sampai kepada kemampuan menghayati tokoh cerita
dalam naskah.
Demikian pula halnya kemampuan Psikomotorik,
mulai dari pemanasan, olah
tubuh, olah vokal,
mimik, pose, gesture, pantomim, moving,
grouping dan lain sebagainya sampai
kepada blocking pementasan.
Sementara itu, dari sisi produksi, kemampuan menejerial, kerjasama tim,
beserta lika-liku penyelenggaraan pementasan, adalah laboratorium lengkap bagi
pengembangan nilai-nilai moral, mental, spiritual dan intelektual siswa.***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar