Minggu, 23 Juni 2013

Malam Bertambah Malam, Replika Kehidupan TKW

Oleh  : Eva Juliyanti


S
eminar Kritik Sastra dan Parade Teater Bahtra  UMSU di adakan di Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU) bekerja sama dengan Teater Generasi. Seminar ini diadakan untuk memenuhi mata kuliah kritik sastra yang digawangi oleh dosen sekaligus sastrawan ternama di Medan bahkan di Indonesia, Suyadi San. Selain itu, seminar dan parade teater ini juga bertujuan untuk membangkitkan kembali teater Bahtera UMSU.
            Acara yang diselenggarakan pada hari Selasa, 11 Juni 2013 bertempat di Gedung Utama Taman Budaya Sumatera berjalan dengan meriah. Hal ini ditandai dengan banyaknya antusias penonton yang berbondong-bondong untuk menghadiri acara tersebut khususnya para mahasiswa UMSU Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia yang mengambil mata kuliah kritik sastra .
 Acara itu lebih meriah karena mendatangkan sastrawan-sastrawan hebat yang dimiliki kota Medan. Salah satunya sebagai pemateri dalam acara seminar tersebut yaitu Damiri Mahmud. Damiri Mahmud merupakan sastrawan juga kritikus yang sangat hebat, beliau sangat menjunjung tinggi kebudayaan Indonesia.
Hal ini dikatakan  pada seminar tersebut, bahwa dalam mengkritik atau membuat karya sastra hendaknya kita menggunakan pendekatan yang sesuai dengan kebudayaan Indonesia dan tidak menganut pandangan dunia barat. Dan dalam seminar tersbut ia menyatakan tidak sependapat dengan Sutardji Colzum Bahri yang tidak percaya dengan kata-kata.
Selain Damiri Mahmud, ada lima pemakalah untuk mengisi seminar tersebut. Kelima pemakalah tersebut merupakan mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia UMSU yang mengikuti mata kuliah Kritik Sastra, sudah melewati seleksi tentunya. Kalau Damiri Mahmud mengangkat tentang keadaan sastra, beda halnya dengan kelima makalah ini.
Masing-masing pemakalah memiliki tema yang berkaitan dengan sastra. Novita Sari Dewi membedah novel Jus Alpukat karya Win RG dengan pendekatan mimetis, Alfian Azhari membahas tentang drama,  Rizalul Ghoibi membedah kumpulan cerpen karya Wahyu Wiji Astuti dengan pendekatan feminisme, Eva Juliyanti membedah kumpulan puisi Ria Ristiana Dewi dengan pendekatan feminism dan Latifah Harahap membahas Satrawan Sebagai “Tuhan” .
Selain pemakalah tersebut, para pemain drama pada acara tersebut juga mahasiswa UMSU yang tegabung dalam BAHTRA. Dalam acara itu menamilkan empat drama, diantaranya Malam Bertambah Malam, Perbedaan itu Indah, Mak Erot dan Siti Rabiah.
Penampilan drama sangat menambah kemeriahan dalam acara tersebut. Pada penampilan pembuka penonton disuguhi dengan penampilan drama Malam Bertambah Malam  dengan sutradara Juliana Zulfikar. Drama tersebut sangat bagus dan menarik karena dapat membius penonton untuk menyaksikan dan ikut merasakan drama tersebut. Dan saya sangat tertarik dengan penampilan drama ini.
Drama dengan sutradara Juliana Zulfikar yang mengasuh naskah dari Putu Wijaya berceritakan tentang kehidupan di Bali. Namun di sisi lain drama tersebut menggambarkan tentang kehidupan yang terjadi oleh para TKW atau pembantu  rumah tangga yang sering mendapatkan siksaan.
Dalam satra ada paham feminisme (perempuan) di antaranya terdapat citra pilar (profesi). Jika dilihar dilihar dari citra ini  perempuan sangat lemah kedudukannya  yang berprofesikan sebagai TKW khususnya pembantu rumah tangga.
Siksaan Sebagai Santapan

            Pada saat ini citra penyiksaan melekat erat dengan para TKW yang merantau ke negeri orang untuk mencari uang khususnya bekerja sebagai pembantu Rumah Tangga. Ini seolah-olah perempuan tidak ada harganya dan perempuan sebagai tempat pelampiasan hawa nafsu semata.
            Cita pilar mengungkapkan tentang pekerjaan perempuan. Sebagaimana dimahfumi, ada berbagai latar belakang perempuan memasuki dunia kerja. Pertama, untuk memnuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarga, terutama bagi peremuan yang belum bekerja.
            Kedua, untuk membantu suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, dan Ketiga,  sebagai tulang punggung atau penopang hidup bagi keluarga dan anak-anaknya jika sudah tidak mempunyai suami (Singgle Perents). Dengan itulah perempuan ingin bekerja, namun perempuan mendapatkan tindakan yang tidak menyenangkan saat bekerja.
            Dalam adegan drama Malam Bertambah Malam si Gusti Biang  ini sebagai majikan yang kejam, suka menuduh (fitnah), tidak mengharagai orang lain, dan perhitungan terhadap pekerjanya yaitu si Nyoman. Nyoman selama bekerja mendapat siksaan, hinaan dan lain sebagainya.
            Hal itu terlihat saat ia akan diusir Gusti Biang. Ironisnya, sebelum diusir ia harus mendengarkan caci maki yang terlontar dari Gusti Biang yang begitu mengiris-iris hatinya. Bukan saja cacian yang ia terima, tapi perhitungan segala sesuatu pemberian Gusti Biang yang harus dibayar oleh Nyoman.
            Nyoman mendapatkan pembelaan dari si Wayan namun tidak juga dapat meluluhkan hati Gusti Biang, si Wayan mengatakan bahwa si Nyoman adalah wanita yang dicintai putranya si Mula. Mendengar cerita itu semakin menambah kekesalan Gusti Biang dan tak mengurungkan niatnya untuk tetap mengusir Nyoman.
            Jelas sudah drama tersebut mencerminkan kehidupan TKW yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Badan disetrika, tubuh disiram dengan alcohol, tubuh dipukul dengan benda tajam, tidak diupah, dihukum mati bahkan diperkosa.  Miris melihat semua ini perempuan dianggap sampah dan barang lemah yang bisa saja diperlakukan dengan seenaknya.
            Jika dilihat perempuan dapat memajukan perekonomian Negara khusunya para TKW dapat menambah devisa Negara secara otomatis akan menambah pendapatan Negara. Walau sudah begitu pemerintah tak dapat berbuat banyak. Pemerintah seakan-akan melihat dengan wajah dungu melihat warganya diperlakukan demikian.
            Pada bulan April 2013, seorang TKW asal Surabaya yang bekerja di Oman pulang ke tanah air dengan membawa oleh-oleh sekantong air mata. Air mata itu mengalir deras saat ia ditanyak oleh orang yang menemukannya di sudut tempat parker terminal 2 Bandara Soekarno Hatta. Perempuan itu berinisila F, ia tidak berani pulang kampong karena ia sedang mengandung anak majikannya.
            Kasus di atas salah satu peristiwa yang dialami oleh para TKW, kehidupan yang terancam, kebahagiaan pun jauh digapai. Semoga saja pemerintah memperhatikan para TKW kita baik yang bekerja di tanah air maupun di negeri orang. ***



Penulis adalah Mahasiswa UMSU Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar