Kamis, 18 Juli 2013

Masjid (Sabtu, 6 Juli 2013)


Cerpen : Nurdiani Latifah


“P
ak, masjid di mana?”   Kamu bertanya pada seorang yang berada di hadapanku. Ia berpakaian rapi, sangat rapi. Bahkan ia terlihat seperti kiai. Tangannya membawa tasbih yang entah berapa banyak tahmid yang ia ucapkan di mulutnya.
            “Itu di sana.Ia menunjuk jempol kirinya ke arah Utara.
            Kamu memerhatikan tangannya yang mengarahkan tempat yang kamu tuju. Matamu melihat langit. Memerhatikan salatlambang yang menandakan masjid.
            Kepalamu membalik. Sepertinya kamu telah menemukan apa yang kamu mau hari ini. Aku mulai menebak apa yang akan kamu lakukan hari ini. Sepertinya kaki kamu akan melangkah sesegera mungkin ke tempat yang kamu tuju. Sangat cepat.
            Ternyata benar apa yang aku duga. Kamu melangkah secepat mungkin menuju apa yang kamu tuju. Jam di tanganku telah menunjukkan pukul 2 siang. Aku ingat kamu, kamu belum menunaikan salat.
            Aku mengikuti kamu di belakangmu. Langkahmu tak sama denganku. Langkahku terasa digusur. Kamu, kenapa sangat cepat? Ah, aku tak bisa mengikutimu.
            “Di mana WC-nya?” Kamu bertanya kepadaku.
            Aku menggelengkan kepala, kuangkat tanganku dua-duanya.
            Matamu menoleh ke segala arah. Sepertinya mencari tempat yang bernama WC. Aku tak mau bertanya apa yang kamu cari.
            “Itu dia!” Kamu menunjuk tempat yang kamu tuju.
            Aku menuju tempat yang sama denganmu. Sayangnya, aku berbeda ruangan denganmu. Aku mengambil air dan aku rasakan hal yang sama denganmu. Kamu mengambil air juga.
            Aku keluar dari tempat itu dan di pertigaan  tempat itu aku menemukanmu dengan wajah yang basah dengan basuhan air. Kamu terlihat sangat tampan dan sangat percaya. Aku mengikutimu dengan membuka tasku. Aku mengambil sebuah tas untuk peralatanku.
            “Bisakah kamu menjadi imamku?” Aku menatap pada wajahmu.
            Tak kusangka kamu mengiyakan permintaanku. Aku mengikuti langkahmu memasuki masjid.
            Kamu menenangkan diriku dengan menjadi imamku tadi. Wajahmu semakin bercahaya saja. Aku menatapmu lama, kamu tak menyadarinya. Kamu sibuk melangkahkan keluar masjid ini.
            Langkahmu dipercepat. Tanganku sibuk memasukkan barang-barangku dengan langkah yang dipercepat.
            “Sepatuku di mana?” Matamu mencari di segala arah.
            Sepatumu hilang sebelah dan itu adalah sepatu favoritmu.
            “Ah, sial!” Kamu menggerutu.
            Aku menepuk pundakmu. Menekan sedikit. Aku berusaha menenangkan dirimu dan kamu berhenti menggerutu. Aku teringat, kamu itu masih mempunyai sepatu di mobil.
            “Sudahlah kita balik saja!” Kakimu melangkah menuju mobil yang kamu parkirkan di lapangan.
            Aku mengikutimu dari belakang. Memercepat langkah kakiku karena aku tak mau ketinggalan kamu.
           
***

            Ini hari kedua perjalananku denganmu di subuh. Semalaman kamu mengemudi dan tidak berhenti. Sementara, aku duduk di bagian belakang. Itupun karena kamu menyuruhku untuk itu agar aku bisa tidur dengan nyenyak di belakang.
            “Sudah bangun?” Kamu menatapku melalui kaca depan yang berada di depan mobil.
            “Sudah!” jawabku mengingkirkan selimut yang menutupi tubuhku.
            “Pukul berapa sekarang?” Aku menatap kamu.
            “Pukul 3 pagi.”
            Mobil yang kamu tumpangi berhenti di pinggir jalan. Aku tahu kamu lelah dengan perjalanan yang kamu lakukan semalan ini. Kamu merebahkan tubuhmu di jok dengan menindih kedua tangan kamu.
            “Ya sudah kamu tidur dulu!”
            Kamu memejam matamu. Aku keluar dari mobil, menghirup dinginnya udara yang ada di luaran mobil. Aku berjalan menyelusuri jalanan, sambil mencari masjid untuk salat subuh.
            Setengah jam aku berkeliling, aku menemukan masjid dan kini aku kembali ke modil. Aku melihat kamu masih tertidur dengan pulas di mobil. Aku melihat jam, setengah 5 adalah waktunya adzan.
            “Bangun!” Aku menepuk-nepuk pundakmu.
            “Ada apa?”
            “Sebentar lagi Adzan. Kamu harus salat!”
            “Sudah mencari masjid?” Kamu menatapku.
            “Sudah.”
            Kamu meregangkan tubuhmu. Urat-uratmu dan tulang belulangmu. Kamu menggeliat seperti cacing.
            “Sudah jam berapa?”
            “Pukul 4.”
            Kamu mengucek matamu, menatap jauh ke depan. entah menerawang apa, yang aku lihat kamu itu masih sangat mengantuk dan matamu masih menginginkan untuk tidur. Kamu membukakan pintu mobil dan keluar dari mobil itu.
            Aku menuju jok belakang dan mengambil mukena dan sajadah yang aku dan kamu butuhkan untuk salat.
            “Di sebelah mana masjidnya?” Kamu menggandeng tanganku.
            Kita berjalan sangat pelan. Pelan. Hingga aku bisa menikmati subuh bersamamu di tengah hembusan angin dan langit yang bertabur bintang.
            “Kamu lihat bintang yang paling bersinar itu?” Kamu menunjuk satu bintang.
            “Iya,” aku mengangguk
            “Di subuh aku persembahkan itu untukmu.
Aku tersipu dengan ucapanmu subuh ini.
            Kamu yang terkenal dengan pria yang kamu dan sangat dingin bisa menggombaliku dengan benda yang aku senangi. Kamu menggenggam tanganku. menatap lurus ke depan seolah kamu tengah tidak sedang menggombaliku.
            Allahu Akbar... Allahu Akbar...
            Adzan subuh terdengar. Kaki kita berdua, dipercepat langkahnya. Aku tengah menjadi kompasmu untuk menunjukkan masjid. Kami berpisah di halaman. Kamu langsung menuju WC pria dan aku menuju WC wanita. Salat subuh telah selesai, kamu menungguiku di halaman dengan berdiri gagahnya.
            “Sepatunya tidak hilang lagi?” Kakiku memakai sandal kesayangan.
            “Tidak!” aku menggelengkan kepalaku.
            “Tapi .... “ Kamu menghentikan pernyataanmu.
            “Tapi apa?” tanyaku balik menatap matamu.
            “Ada yang hilang dalam gerakan salatku.”
            “Apa yang hilang?”
            “Entahlah. apa itu hanya perasaanku saja?”
            Aku mengelus pundakmu.
            “Apa ya?” Kamu menatapku sambil terus memikirkan hal yang hilang.
            “Sudahlah! Kita teruskan saja perjalanan ini.” Aku menuntunmu kembali ke mobil.

***

            Ini hari ketika kami menuju tempat yang kami tuju, yaitu rumahku. Sekarang, jika itu terjadi. dia akan menemui orangtuaku. Katanya, dia akan melamarku. Meminta persetujuan dari orangtuaku.
            Betapa bahagianya aku, dalam beberapa waktu lagi aku akan dipinang oleh pria yang aku puja.
            “Rumahmu masih jauh?” tanyanya menatapku.
            “Sebentar lagi. Sebelum dzuhur kita akan sampai di rumahku.
            Dia mengangguk. Aku menatapnya. Dia begitu gagah dengan peci yang ada di kepalanya. Aku tak pernah membayangkan dia akan menjadi pendampingku nanti. Karena aku tahu, dia hanya manusia dalam khayalanku selama 5 tahun.
            “Kita dhuha dulu,” memberhentikan mobil tepat di pinggir masjid.
            “Kau menjadi imamku?”
            Dia mengangguk.
            Ah, itu hadiah darinya.
            Aku tak melihat nama masjid yang aku pijak ini. Aku langsung masuk ke dalamnya. Kita berpisah di depan. Dia, menuju WC pria dan aku menuju WC wanita.
            Setelah berlama-lama aku di jamban, aku melihatnya sudah berada di hadapanku. dengan sedikit air di wajahnya.
            Itu yang membuat aku terpesona dengannya. air wudlu yang tersisa di wajahnya, menjadi tampak seksi bagiku.
            “Sudah siap?” dia melihatku.
            “Sudah,” aku sudah memakai mukena.
            “Alllahu Akbar,” tangannya mengangkat.
            Aku mengikutinya sebagai imam salatku,”Allahu Akbar.
           
***
            “Wassalamu’alaikum,” ucapnya.
            Aku mengikutinya pula. Tangannya mengangkat. Dia berdoa. Entah apa yang menjadi doanya. Aku tak tahu. Semoga ini tentang kami. Aku mengamini doanya. Sebelumnya, aku pun memanjatkan doa tentang kita. Dia membalikkan tubuhnya. Dia menatapku. Sayangnya, dia belum menjadi suamiku. Aku belum boleh mencium tangannya.
            “Bersiaplah kita akan melanjutkan perjalanan.”
            “Baiklah.
            Satu jam perjalanan. Setelah melihat berbagai sawah.
            “Kita sudah sampai.
            Dia menghentikan mobilnya dan aku keluar dari mobil.
            Di hadapan rumah, ibu sudah menunggu beserta ayah dan kedua adikku.
            “Kau sudah sampai, Nak?” dia mencium tangan ibu. Ibu mengelus kepalanya.
            “Iya, Bu.”
            “Mari masuk!”
            Aku dan dia memasuki rumahku.
            Lama berbincang hingga dia menginap dan mengutarakan keinginannya kepadaku. kedua orangtuaku menyetujui apa yang dia inginkan. Tinggal mencari tanggal baik, itu kata ibuku.
            “Ibu, kita pulang dulu. Esok akan ada pekerjaan yang menanti kita,” dia mencium tangan ibuku.
            Ibu tersenyum dan kembali mengelus kepalanya.
            “Iya, Nak! Hati-hati.
            Ibu memberikan buah tangan kepadaku, untuknya dan untukku.
            Dia menghidupkan mesin dan aku sudah berada di mobilnya.
            “Kita akan pulang.
            “Iya.
            “Aku masih merindukan ibumu.
            “Nanti kita kemari lagi.
            “Iya.
            Lambat laun kita meninggalkan rumahku. saat ini ketika aku berbalik, rumahku telah nampak seperti titik.
            “Pukul berapa sekarang?”
            “Pukul 4.
            “Ah, aku lupa untuk salat,”
            Aku mencari masjid yang kemarin kita salat di sana.
            “Loh? Ke mana masjid itu?” tanyanya.
            Kepalanya celingukan mencari masjid yang saat itu terakhir kita pakai.
            “Bukankah ini daerahnya? Warung itu masih tetap sama di sana!” kamu menunjuknya.
            “Tak usah mencari yang tak ada. Kita cari lagi yang lain, waktu terlalu mahal untuk mencari masjid itu lagi.
            Kamu menuruti apa yang aku ucapkan dan mobil kembali dihidupkan. ***



Nita Nurdiani Putri alias  Nurdiani Latifah tinggal Perum Griya Sukarame Asri Blok C Nomor 6 Rt 05 Rw 16 Desa Ciptaharja Kecamatan Cipatat Kabupaten Bandung Barat. Lahir di Bandung 2 Juni 1992 saat ini sedang melakukan studi di UIN SGD Bandung S1 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan jurusan Fisika. Karyanya terbit dalam sejumlah buku antologi bersama dan pada sejumlag media massa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar