Minggu, 30 Juni 2013

Seketi

 Cerpen : W.N. Rahman


B
ergeming sejenak Sayan di muka keramaian rumah Dirman. Tafakur laki-laki hampir baya itu pada pikuk orang-orang di halaman. Sehingga istri pemilik rumah perlu meneriakkan kembali namanya untuk membawa orang tua itu mendekat.
Dari dalam keranjang yang simpul-simpul anyamannya mencuat mengancam, diraupnya beberapa bungkusan. Sedikit tergesa laki-laki itu saat meletakkan sepuluh tempe pete cina berbungkus daun pisang itu pada meja di beranda, dan tampak tak acuh saat menerima selembar lima ribu yang diangsurkan___tentu saja tempe berbahan pete cina itu tak mungkin dipatoknya lebih mahal dari harga tempe dari kedelai.
Suara melenguh seketika mengembalikan perhatian Sayan ke halaman depan. Lima lelaki di sana rupanya telah berhasil menaikkan seekor sapi gemuk ke bak mobil pick up, yang hampir tak sanggup memuatnya.
Warna bulu sapi yang merah keemasan membuat mata laki-laki itu membulat. Tidak pernah habis pikir dirinya jika di dunia ini ada sapi yang tidak memiliki tanduk dan berbulu, keriting pula, serta tumbuh menjulang melebihi tinggi badannya.
“Mau dibawa ke mana sapi itu?” tanya Sayan pada perempuan di hadapannya.
“Ke tempat Pak Kades. Untuk hajatan besok itu lo, Pak.”
“Oo,” mulutnya membulat, teringat kepada Pak Kades yang menyuruh membantu mengampak kayu, beberapa hari silam. “Gemuk ya sapinya. Sampai hampir tak muat begitu. Pasti dari turunan bagus.”
Mata Sayan masih terpaku pada makhluk merah di atas mobil pick up itu.
“Ya, memang sudah lazimnya begitu kan, Pak? Namanya juga sapi Limosin.” Dahi Sayan berkerut mendengar ada sapi berjenis Limosin, satu-satunya jenis sapi yang pernah dikenalinya, selain sapi Madura, hanyalah sapi Brahman. “Beratnya bisa lebih dari setengah ton.”
“Setengah ton?” Sayan terkejut tak dibuat-buat.
“Yang satu ini malah hampir 900 kilo. Pejantan yang bagus sebenarnya, tapi sudah agak tua. Jadi, ya dilepas saja waktu ditawar sama Pak Kades.”
Berdebar hati Sayan saat hampir menyuarakan sebuah tanya yang melintas dalam benak. Tentang harga sapi Limosin itu, sebelum kemudian sadar dan menjadi takut. Sayan pun mengurungkan niat yang dirasanya konyol.
Bagaimana tidak ketar-ketir laki-laki itu, jika kenyataannya dia hanya seorang penjual tempe pete cina dengan penghasilan tidak seberapa, tetapi sok menanyakan harga sapi? Namun beruntung perempuan di hadapannya itu menyampaikan jawaban atas rasa penasarannya, tanpa perlu ditanya.
“Lagi pula harga sapi sedang bagus. 20.000 rupiah per kilogram hidup.”
Beruntung Sayan tidak menderita penyakit jantung. Tubuh kurus tak berlemak itu memang belum pernah menyulitkannya seumur-umur, kecuali untuk sakit pinggang yang mulai sering dirasakan. Tetapi, tetap saja dia terkejut mendengar keterangan itu.

***

Sayan sudah beberapa belas meter meninggalkan rumah Dirman ketika mesin mobil dinyalakan. Tak berapa lama langkahnya sudah bersalut kepulan debu dan asap yang disisakan mobil pick up, yang menyalipnya di jalanan Seketi yang tak beraspal. Sayan pun batuk-batuk kecil.
Sengat matahari mempertegas jalan orang tua itu. Gontai. Bukan tersebab lelah, tetapi karena dalam benaknya sekarang terngiang kata-kata istri Dirman, “20.000 rupiah per kilogram hidup.”
Dua puluh ribu, nyaris sebesar itulah pendapatan Sayan. Sekalipun jumlah itu tidak didapatnya setiap hari, dan hampir selalu tak bersisa untuk membeli beras, gula, dan bumbu dapur. Belum lagi dia harus rutin memeriksakan penyakit asam urat istrinya, yang sering membuat perempuan itu menitikkan air mata setiap kali kehabisan obat.
Mereka hanya tinggal berdua. Ketiadaan anak membuat keduanya saling bergantung. Kepapaan yang merawat sepanjang hidup tak memungkinkan keduanya untuk sekadar berandai-andai mengangkat anak. Bahkan, membayangkan memiliki ingon-ingon seekor sapi pun menjelma menjadi sesuatu yang membutuhkan nyali.
Lagi pula dari mana Sayan mencari uang untuk membeli anakan sapi, yang katanya mencapai tiga jutaan? Rupiah bukan daun, camnya dalam hati.
Pendapatan dari menjual tempe pete cina, yang selalu disisihkan, pun tidak pernah berhasil memenuhi stoples plastik di atas lemari, yang akhir-akhir ini sering dikosongkan guna keperluan lain. Apalagi ketika tiba masa di mana panen pete cina sedang tidak bagus.
Pohon pete cina tak seberapa jumlahnya di sekitar dusun. Pun jarang berbuah lebat, kecuali pas musim hujan. Padahal dari pohon inilah sumber pendapatan Sayan berasal.
Belum lagi ketidaksinkronan dengan ketersediaan kayu kering pembakaran. Seringnya ada kayu, tetapi tak ada pete cina. Ada pete cina, namun tanpa kayu kering. Jadinya percuma ….
Ah, Oktober sudah hampir berpamitan. Namun mendung belum kunjung menggantung di langit Seketi yang kerontang. Padahal sudah waktunya Sayan memeriksakan istrinya, yang makin sering meringis menahan sakit, dan membayar hutang beras di warung.
Setidaknya di waktu hujan turun, dia bisa ikut memburuh di sawah yang mau tandur. Menambah penghasilannya untuk beberapa bulan hingga kemarau kembali menjerang pohon-pohon pete cina, dan ingatannya tentang sapi jenis Limosin.
Sayan memeriksa keranjang anyamnya. Masih tersisa delapan bungkus tempe pete cina di situ. Tidak jauh di depan beberapa ibu-ibu tengah berkumpul di beranda sebuah rumah. Dengan harapan membuncah laki-laki itu mendekat, sambil membayangkan dagangannya mendatangkan keuntungan berlipat. Cukup untuk membeli sapi …. ***


Blitar, 20 Februari 2013-16 April 2013 4:35 AM

Catatan:
Ingon-ingon     : binatang peliharaan berupa ternak.


W. N. Rahman aktif di kelompok sastra Writing Revolution Indonesia. Cerpen-cerpennya dimuat di beberapa media.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar