Cerpen : W.N. Rahman
B
|
ergeming sejenak Sayan di muka keramaian rumah Dirman. Tafakur laki-laki hampir
baya itu pada pikuk orang-orang di halaman. Sehingga istri pemilik rumah perlu meneriakkan
kembali namanya untuk membawa orang tua itu mendekat.
Dari dalam keranjang yang
simpul-simpul anyamannya mencuat mengancam, diraupnya beberapa bungkusan.
Sedikit tergesa laki-laki itu saat meletakkan sepuluh tempe pete cina
berbungkus daun pisang itu pada meja di beranda, dan tampak tak acuh saat
menerima selembar lima ribu yang diangsurkan___tentu saja tempe berbahan
pete cina itu tak mungkin dipatoknya lebih mahal dari harga tempe dari kedelai.
Suara melenguh seketika
mengembalikan perhatian Sayan ke halaman depan. Lima lelaki di sana rupanya
telah berhasil menaikkan seekor sapi gemuk ke bak mobil pick up, yang hampir tak sanggup memuatnya.
Warna bulu sapi yang
merah keemasan membuat mata laki-laki itu membulat. Tidak pernah habis pikir
dirinya jika di dunia ini ada sapi yang tidak memiliki tanduk dan berbulu,
keriting pula, serta tumbuh menjulang melebihi tinggi badannya.
“Mau dibawa ke mana sapi
itu?” tanya Sayan pada perempuan di hadapannya.
“Ke tempat Pak Kades.
Untuk hajatan besok itu lo, Pak.”
“Oo,” mulutnya membulat,
teringat kepada Pak Kades yang menyuruh membantu mengampak kayu, beberapa hari
silam. “Gemuk ya sapinya. Sampai hampir tak muat begitu. Pasti dari turunan
bagus.”
Mata Sayan masih terpaku
pada makhluk merah di atas mobil pick up
itu.
“Ya, memang sudah
lazimnya begitu kan, Pak? Namanya juga sapi Limosin.” Dahi Sayan berkerut
mendengar ada sapi berjenis Limosin, satu-satunya jenis sapi yang pernah
dikenalinya, selain sapi Madura, hanyalah sapi Brahman. “Beratnya bisa lebih
dari setengah ton.”
“Setengah ton?” Sayan
terkejut tak dibuat-buat.
“Yang satu ini malah
hampir 900 kilo. Pejantan yang bagus sebenarnya, tapi sudah agak tua. Jadi, ya
dilepas saja waktu ditawar sama Pak Kades.”
Berdebar hati Sayan saat
hampir menyuarakan sebuah tanya yang melintas dalam benak. Tentang harga sapi
Limosin itu, sebelum kemudian sadar dan menjadi takut. Sayan pun mengurungkan
niat yang dirasanya konyol.
Bagaimana tidak
ketar-ketir laki-laki itu, jika kenyataannya dia hanya seorang penjual tempe
pete cina dengan penghasilan tidak seberapa, tetapi sok menanyakan harga sapi?
Namun beruntung perempuan di hadapannya itu menyampaikan jawaban atas rasa
penasarannya, tanpa perlu ditanya.
“Lagi pula harga sapi
sedang bagus. 20.000 rupiah per kilogram hidup.”
Beruntung Sayan tidak
menderita penyakit jantung. Tubuh kurus tak berlemak itu memang belum pernah
menyulitkannya seumur-umur, kecuali untuk sakit pinggang yang mulai sering
dirasakan. Tetapi, tetap saja dia terkejut mendengar keterangan itu.
***
Sayan sudah beberapa
belas meter meninggalkan rumah Dirman ketika mesin mobil dinyalakan. Tak berapa
lama langkahnya sudah bersalut kepulan debu dan asap yang disisakan mobil pick up, yang menyalipnya di jalanan
Seketi yang tak beraspal. Sayan pun batuk-batuk kecil.
Sengat matahari
mempertegas jalan orang tua itu. Gontai. Bukan tersebab lelah, tetapi karena
dalam benaknya sekarang terngiang kata-kata istri Dirman, “20.000 rupiah per
kilogram hidup.”
Dua puluh ribu, nyaris
sebesar itulah pendapatan Sayan. Sekalipun jumlah itu tidak didapatnya setiap
hari, dan hampir selalu tak bersisa untuk membeli beras, gula, dan bumbu dapur.
Belum lagi dia harus rutin memeriksakan penyakit asam urat istrinya, yang
sering membuat perempuan itu menitikkan air mata setiap kali kehabisan obat.
Mereka hanya tinggal
berdua. Ketiadaan anak membuat keduanya saling bergantung. Kepapaan yang
merawat sepanjang hidup tak memungkinkan keduanya untuk sekadar berandai-andai
mengangkat anak. Bahkan, membayangkan memiliki ingon-ingon seekor sapi pun menjelma menjadi sesuatu yang
membutuhkan nyali.
Lagi pula dari mana
Sayan mencari uang untuk membeli anakan sapi, yang katanya mencapai tiga
jutaan? Rupiah bukan daun, camnya dalam hati.
Pendapatan dari menjual
tempe pete cina, yang selalu disisihkan, pun tidak pernah berhasil memenuhi
stoples plastik di atas lemari, yang akhir-akhir ini sering dikosongkan guna
keperluan lain. Apalagi ketika tiba masa di mana panen pete cina sedang tidak
bagus.
Pohon pete cina tak
seberapa jumlahnya di sekitar dusun. Pun jarang berbuah lebat, kecuali pas
musim hujan. Padahal dari pohon inilah sumber pendapatan Sayan berasal.
Belum lagi ketidaksinkronan
dengan ketersediaan kayu kering pembakaran. Seringnya ada kayu, tetapi tak ada pete cina. Ada
pete cina, namun tanpa kayu kering. Jadinya percuma ….
Ah, Oktober sudah hampir
berpamitan. Namun mendung belum kunjung menggantung di langit Seketi yang
kerontang. Padahal sudah waktunya Sayan memeriksakan istrinya, yang makin
sering meringis menahan sakit, dan membayar hutang beras di warung.
Setidaknya di waktu
hujan turun, dia bisa ikut memburuh di sawah yang mau tandur. Menambah
penghasilannya untuk beberapa bulan hingga kemarau kembali menjerang
pohon-pohon pete cina, dan ingatannya tentang sapi jenis Limosin.
Sayan memeriksa
keranjang anyamnya. Masih tersisa delapan bungkus tempe pete cina di situ.
Tidak jauh di depan beberapa ibu-ibu tengah berkumpul di beranda sebuah rumah.
Dengan harapan membuncah laki-laki itu mendekat, sambil membayangkan
dagangannya mendatangkan keuntungan berlipat. Cukup untuk membeli sapi …. ***
Blitar, 20
Februari 2013-16 April 2013 4:35 AM
Catatan:
Ingon-ingon : binatang peliharaan berupa ternak.
W. N. Rahman aktif di kelompok
sastra Writing Revolution Indonesia. Cerpen-cerpennya dimuat di beberapa media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar