Ketika
Menuju Mataram
Kutampung
wangi tubuhmu dalam genggaman, saat busanamu berjatuhan dalam radius kota. Kau
telanjang kepagian. Tubuhmu digerakkan keadaan, saat kita tak mampu berkenalan
dengan perasaan yang sama
Pada
sketsa jarak kita, suhu tubuhmu terasa sempurna. Sepertinya kau akan selalu
bertandang di setiap luasan sunyiku, berkabar tentang jarak yang tak mungkin
aku tempuh. Kau tak begitu berbagi, selain sedikit saja dari tubuhmu yang
berantakan
Aku
ingin menjauh hingga ke tepi puisi, tapi simfoni mutakhirmu makin menggeliat di
pasir pantaiku. Betapa manusiaku mendilema. Setiap perjamuanmu, hanya menumbuk
luka-lukaku. Seperti podium-podium di republik ini, kau hanya mengulang-ulang
trauma yang sama, sedang aku tak selamanya bisa menunggu
Kau
tak pernah memahami, aku yang selalu ingin menampung kenangan kita,
menyelamatkannya dari sebuah akhir yang hampa, meski ia layaknya jejak burung
terbang: ada tapi tak membekas
Kilasan
Jejak
Mengingatmu
lebih dalam dan berulang-ulang, hanya menjadikan aku penimba airmata dari
jurang-jurang waktu. Kesendirian yang agung, mematahkan sayap-sayap yang pernah
aku kepakkan dari tubuhmu.
Sunyi
termaktub di dalam diri. Ada yang berguguran dari dalam manusiaku, seperti
reruntuhan waktu yang membaiat luka. Sandaran lekang. Pijakan melayang.
Kabar-kabar yang kau kirim dalam hening dan gaduh, hanya beraroma luka yang
makin menua
Di
sepanjang jalan yang menggerakkan sekumpulan gelisah, aku tak mampu lagi
menggenggam ledakan hari-hariku, aku tak lagi bisa menampung setiap kehadiran
yang penuh debar. Aku rebah ke dalam diri, seperti lelehan lilin yang lebih
setia menemani malam-malammu
27
Mei 2012
Sekotong
Manusiaku
menggaduh dalam sujud-sujud panjang
Segaduh
diksiku mengemban luka-luka
Manusiaku
menggaduh dalam sujud-sujud panjang
Menerima
sungsang tubuhmu di perhentian doa-doa
Sekotong,
betapa engkau mata air airmataku
Ketika
pangkuanmu begitu jauh dari padang-padang sunyi
Ketika
romansa agungmu terpaksa disetubuhi luka-luka pribumi
Ada
darah berkecipak menggetarkan usia
Sekotong,
kita tak pernah menggubah rindu, bahkan sesayat perih kita tak pernah sama,
karena di reruntuhan tahun-tahun ini, kita mengusung keranda yang berbeda
Dan
ketika orang-orang menyatukan gelisah, dengan segala usus membelit peradaban,
gedoran demi gedoran menggerakkan manusianya hingga ke batas nisan, sedang
tangismu membadai siang malam
Tak
ada percakapan di atas meja makan, orang-orang memeras hati diam-diam
Betapa
lubang-lubang amukmu kehilangan arah, sisa tubuhmu tinggal membarah, dan di
bongkaran jantungmu, orang-orang kehilangan doa
Sekotong,
untukmu ada yang mengganda
Sekotong,
betapa engkau mata air airmataku
Orgasme
Perjalanan
Ketika
keinginanku berserakan di padang-padang terbuka, langkahku makin mendiami
diamnya sendiri yang kehabisan dendam. Dan aku hanya menggamang perlahan,
manusiaku membanjiri gelisah dunia, sedang berbilah-bilah kemarau berkabar ke
dalam sunyi usia
Betapa
setiap keadaan mesti prematur, dan jalanan habis mengganda di reruntuhan waktu
Memang,
terlalu angkuh beban dunia di mata sendiri, terlebih besukannya begitu
jangkung, hingga luka di dalam diri menjadi palung dari segala muara
Aku
berdarah di peradaban ini, dan aku hanya mampu mengabadikan cecapan yang batal,
sedang doa-doaku sendiri mengendap dalam didihan airmata dunia
Aku
menanggung penghabisan di jalan sendiri, ketika keretakan-keretakan
menggetarkan perihnya pencarian, ketika kehilangan-kehilanganku makin tak
tertahan, sedang aku hanya sendiri merapikan diri
Dan
di genggamanku yang banyak membunuh, betapa ngilunya puncak dari tampungan
segala nyeri ini
Lombok
Barat, 22 Mei 2011
Lauh Sutan
Kusnandar,
lahir di Lombok Barat, NTB, 9 Januari 1988. Karya-karyanya telah terbit dalam
15 antologi bersama, dan 13 judul lagi yang akan terbit. Juga pernah dimuat di
beberapa media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar