Minggu, 23 Juni 2013

GELANGGANG SAJAK : Lauh Sutan Kusnandar


Ketika Menuju Mataram

Kutampung wangi tubuhmu dalam genggaman, saat busanamu berjatuhan dalam radius kota. Kau telanjang kepagian. Tubuhmu digerakkan keadaan, saat kita tak mampu berkenalan dengan perasaan yang sama
Pada sketsa jarak kita, suhu tubuhmu terasa sempurna. Sepertinya kau akan selalu bertandang di setiap luasan sunyiku, berkabar tentang jarak yang tak mungkin aku tempuh. Kau tak begitu berbagi, selain sedikit saja dari tubuhmu yang berantakan
Aku ingin menjauh hingga ke tepi puisi, tapi simfoni mutakhirmu makin menggeliat di pasir pantaiku. Betapa manusiaku mendilema. Setiap perjamuanmu, hanya menumbuk luka-lukaku. Seperti podium-podium di republik ini, kau hanya mengulang-ulang trauma yang sama, sedang aku tak selamanya bisa menunggu
Kau tak pernah memahami, aku yang selalu ingin menampung kenangan kita, menyelamatkannya dari sebuah akhir yang hampa, meski ia layaknya jejak burung terbang: ada tapi tak membekas


Kilasan Jejak

Mengingatmu lebih dalam dan berulang-ulang, hanya menjadikan aku penimba airmata dari jurang-jurang waktu. Kesendirian yang agung, mematahkan sayap-sayap yang pernah aku kepakkan dari tubuhmu.

Sunyi termaktub di dalam diri. Ada yang berguguran dari dalam manusiaku, seperti reruntuhan waktu yang membaiat luka. Sandaran lekang. Pijakan melayang. Kabar-kabar yang kau kirim dalam hening dan gaduh, hanya beraroma luka yang makin menua

Di sepanjang jalan yang menggerakkan sekumpulan gelisah, aku tak mampu lagi menggenggam ledakan hari-hariku, aku tak lagi bisa menampung setiap kehadiran yang penuh debar. Aku rebah ke dalam diri, seperti lelehan lilin yang lebih setia menemani malam-malammu

27 Mei 2012


Sekotong

Manusiaku menggaduh dalam sujud-sujud panjang
Segaduh diksiku mengemban luka-luka

Manusiaku menggaduh dalam sujud-sujud panjang
Menerima sungsang tubuhmu di perhentian doa-doa

Sekotong, betapa engkau mata air airmataku

Ketika pangkuanmu begitu jauh dari padang-padang sunyi
Ketika romansa agungmu terpaksa disetubuhi luka-luka pribumi

Ada darah berkecipak menggetarkan usia

Sekotong, kita tak pernah menggubah rindu, bahkan sesayat perih kita tak pernah sama, karena di reruntuhan tahun-tahun ini, kita mengusung keranda yang berbeda

Dan ketika orang-orang menyatukan gelisah, dengan segala usus membelit peradaban, gedoran demi gedoran menggerakkan manusianya hingga ke batas nisan, sedang tangismu membadai siang malam

Tak ada percakapan di atas meja makan, orang-orang memeras hati diam-diam

Betapa lubang-lubang amukmu kehilangan arah, sisa tubuhmu tinggal membarah, dan di bongkaran jantungmu, orang-orang kehilangan doa

Sekotong, untukmu ada yang mengganda

Sekotong, betapa engkau mata air airmataku


Orgasme Perjalanan

Ketika keinginanku berserakan di padang-padang terbuka, langkahku makin mendiami diamnya sendiri yang kehabisan dendam. Dan aku hanya menggamang perlahan, manusiaku membanjiri gelisah dunia, sedang berbilah-bilah kemarau berkabar ke dalam sunyi usia
Betapa setiap keadaan mesti prematur, dan jalanan habis mengganda di reruntuhan waktu
Memang, terlalu angkuh beban dunia di mata sendiri, terlebih besukannya begitu jangkung, hingga luka di dalam diri menjadi palung dari segala muara
Aku berdarah di peradaban ini, dan aku hanya mampu mengabadikan cecapan yang batal, sedang doa-doaku sendiri mengendap dalam didihan airmata dunia
Aku menanggung penghabisan di jalan sendiri, ketika keretakan-keretakan menggetarkan perihnya pencarian, ketika kehilangan-kehilanganku makin tak tertahan, sedang aku hanya sendiri merapikan diri
Dan di genggamanku yang banyak membunuh, betapa ngilunya puncak dari tampungan segala nyeri ini

Lombok Barat, 22 Mei 2011




Lauh Sutan Kusnandar, lahir di Lombok Barat, NTB, 9 Januari 1988. Karya-karyanya telah terbit dalam 15 antologi bersama, dan 13 judul lagi yang akan terbit. Juga pernah dimuat di beberapa media.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar