Oleh : Radjoki Nainggolan
S
|
etelah penulis
menonton film “Mursala” versi Bupati Tapanuli Tengah di Palladium pada hari
Senin tanggal 6 Mei 2013 pukul 18.45 dengan harga tiket/karcis Rp. 30.000.-/perorang
bersama 15 orang penonton lainnya yang durasinya lebih-kurang 1 jam, dapat
penulis simpulkan bahwa film tersebut hanya menceritakan keakuan dan kehebatan
serta kegigihan seorang pengacara membela seorang anak remaja yang dituduh
mencuri sebuah sandal jepit.
Sejak awal film diputar sampai
akhirnya anak remaja yang dituduh mencuri sandal jepit dibebaskan dari tuduhan dan
Anggiat sebagai pengacara tidak mau disogok walau berapapun karena
melibatkan orang-orang hebat melawan anak remaja yang tidak bersalah. Dan,
penyogok mengatakan kepada Anggiat, “Mahuaho dangolo manjalo hepeng, Ai
Hepengdo Namangatur Negaraon.”
(Apakah film “Mursala” khayalan Raja Bonaran Situmeang, S.H., M.Hum, Bupati
Tapanuli Tengah menyatakan Hepengdo
Namangatur Negaraon tidak menghina dan melecehkan NKRI) sehingga penulis
dapat menyimpulkan film tersebut sepertinya hanya pencitraan khayalan Raja
Bonaran Situmeang, sebagai pengacara.
Film tersebut sebuah film
dokumenter yang suka-suka sendiri tanpa menghiraukan etika dan moral
menyebutkan Hepengdo namangatur negaraon,
apakah memang sudah separah itu NKRI tercinta ini sehingga diungkapkan di dalam
film “Mursala” versi Raja Bonaran Situmeang sebagai pejabat negara?
Film “Mursala” versi Bupati Tapanuli Tengah diselang-selingi dengan
penampilan obyek wisata serta cuplikan Raja Bonaran Situmeang dan percintaan
antara Anggiat Simbolon dengan Clarissa yang akhirnya diketahui bahwa Clarissa bermarga
Saragi yang termasuk ke dalam 70 marga termasuk Simbolon yang disebut Parna bagi
masyarakat Batak.
Percintaan mereka terganggu oleh larangan adat leluhur karena mereka
berdua antara Anggiat Simbolon dengan Clarissa Saragi disebut orangtua (Inang)
si Anggiat Simbolon bersaudara kandung dan tidak akan diperbolehkan kawin. Padahal
tidak satu Ayah dan tidak satu Ibu kandung Anggiat Simbolon dengan Clarissa dan
hanya semarga (kecuali se-Ayah dan se- Ibu menurut adat Etnis Pesisir bersendikan
kepada Hukum Islam. Pasti tidak boleh kawin, tetapi kalau hanya semarga tidak
ada ikatan sedarah atau abang adik kandung boleh kawin).
Tetapi, dalam adat Batak hanya dengan semarga saja dalam 70 marga (Parna) padahal tidak sedarah tidak
boleh kawin (menurut Raja Bonaran Situmeang,SH.M.Hum mengatakan adat Batak
lebih tinggi dari agama Kristen) sehingga orangtua dan famili Anggiat Simbolon
menganjurkan supaya Anggiat Simbolon kawin dengan Paribannya bernama Yuli.
Ternyata Anggiat Simbolon sangat cinta kepada Clarissa Saragi
seolah-olah tidak ada pilihan lain selain Clarissa Saragi walaupun akan menentang
adat kebiasaan leluhur Orang Batak sehingga Clarissa putus asa dan pergi ke
luar negeri.
Adat tidak boleh kawin dengan satu marga tidak ada di Tapanuli Tengah dan
adanya di Tapanuli Utara, mengapa diperankan atas nama Tapanuli Tengah. Ini
sangat merusak pemahaman masyarakat Etnis Pesisir bahwa dipaksakan Raja Bonaran
Situmeang adat Batak menjadi produk Tapanuli Tengah. Baru periode Raja Bonaran
Situmeang menjadi Bupati kesekian kalinya dan yang pertama di Tapanuli Tengah
Sumatera Utara Indonesia “meresahkan” masyarakat di Tapanuli Tengah, khususnya
masyarakat Etnis Pesisir dengan film Mursala.
Film “Mursala” versi Bupati Tapanuli Tengah tidak menggambarkan Budaya Etnis Pesisir Tapanuli Tengah tetapi, hanya
menggambarkan Budaya Batak yang dibawa oleh perantau Orang Batak dari Tapanuli
Utara ke Tapanuli Tengah dengan memakai nama Mursala versi dan khayal Raja
Bonaran Situmeang, sehingga menghilangkan Budaya Etnis Pesisir.
Seolah-olah, Tapanuli Tengah adalah kampung halaman leluhur orang batak
yang merantau dari Tapanuli Utara ke Tapanuli Tengah dan menonjolkan Budaya Batak
100% dalam film tersebut dan menghilangkan Budaya Etnis Pesisir sebagai budaya
asli budaya tuan rumah sejak abad ke-6M takalo pulau Poncan Ketek dan masuknya
agama Islam pertama (I) ke Barus abad ke-7M
di Indonesia melalui pintu gerbang Pulau Nias dan singgah di sebuah Pulau yang
mereka namakan Pulau Musolla untuk Sholat (kata orang Arab dari Gujarat dan
Musala kata Orang Etnis Pesisir dari Sibolga Tapanuli Tengah.
Karena waktu Sholat sudah tiba mereka Orang Arab Gujarat mencari air
wudhuk dan mereka menemukan air terjun yang dinamakan mereka air terjun Pulau
Musolla untuk berwudhuk karena Musolla tempat beribadah bagi Umat Islam pertama
oleh bangsa Arab Gujarat yang membawa agama Islam pertama (I) pada abad ke-7M ke-Barus Indonesia atau tahun
48H masuknya Agama Islam pertama (I) abad ke-7M di Indonesia. Musala kata orang
pesisir sehingga Budaya Etnis Pesisir telah menyatu dan bersendikan kepada Hukum
Islam.
Yuli menceritakan kepada Clarissa
Saragi sewaktu menikmati air terjun Pulau
Mursala versi Bupati Tapanuli Tengah dan Musala kata Orang Etnis Pesisir bahwa
zaman dahulu di pulau ini, kata Yuli, berdiamlah
seorang putri yang cantik bernama Putri Runduk sehingga beberapa orang Raja di antaranya
adalah Raja Janggi dari Sudan ingin mempersunting Putri Runduk tetapi Putri
Runduk tidak mau dan Raja Janggi ingin memaksakan kehendaknya untuk menangkap
Putri Runduk tetapi Putri Runduk melakukan perlawanan yang akhirnya Putri
Runduk melompat ke laut dan Clarissa bertanya kepada Yuli, air terjun ini dari
mana datangnya dan Yuli menjawab air terjun ini adalah air mata Putri Runduk (
cerita ini memplesetkan sejarah Putri Runduk).
Perlu penulis informasikan kepada semua pihak bahwa Raja Janggi berasal
dari India bukan dari Sudan dan Putri Runduk dan Raja Janggi tidak melompat dari
atas air terjun ke laut Pulo Musala tetapi Putri Runduk berdo’a kepada Tuhan
“Ya Allah Ya Tuhan hanya kepada Engkaulah aku meminta pertolongan agar Janggi
yang ganas yang ingin menangkap aku untuk menjadi istrinya, jadikanlah dia (Raja
Janggi) menjadi batu.”
Seketika itu juga, Raja Janggi menjadi batu yang sekarang dinamakan
Patung Janggi/Pulo Janggi dekat Pulau Musala. Kemudian Putri Runduk berdo’a
kembali, “Ya Allah Ya Tuhan kembalikanlah aku kepada asalku agar jangan ada
lagi malapetaka karena diriku,” dan seketika itu pula Putri Runduk menghilang
dari muka bumi.
Lalu, air apa yang dikatakan Yuli air terjun berasal dari air mata Putri
Runduk sangat jauh dari sejarah tetapi memang air terjun Pulau Musala adalah
Kekuasaan Allah Subhanahuwata’Ala yang berbuat sekehndaknya, penguasa bumi dan
langit. Air terjun Pulau Musala ini tetap mengalir biarpun musim kemarau maupun
musim hujan tidak pernah kering.
Jelas dalam film “Mursala” versi Raja Bonaran Situmeang, Anna Sinaga dan
Raja Bonaran Situmeang menonjolkan Budaya Batak 100% sesuai keterangan Anna
Leiden Sinaga di media cetak. Jelas pula dalam film tersebut menunjukkan adat Batak
dari Gereja ke Gereja dalam acara-acara maupun pesta perkawinan dengan gondang
Batak dan bahasa Batak tanpa sedikitpun menghargai masyarakat Etnis Pesisir
Sibolga Tapanuli Tengah sebagai tuan rumah Nagari Badusanak Saiyo Sakato.
Bahkan, seolah-olah semua masyarakat Tapanuli Tengah tempat masuknya Islam
pertama (I) di Barus Abad ke-7M dianggap sebagai penganut Kristen 100% dan memelesetkan
sejarah Putri Runduk. Isi cerita dalam film tersebut tidak mengerti kita
darimana mau ke mana dan di mana ending-nya.
Sangat sayang dengan biaya 5 Miliar rupiah uang pribadinya kata Anna Leiden Sinaga Produser film “Mursala”
hanya begitu saja.
Tampaknya, Anna Leiden Sinaga sebagai Produser perlu belajar ke Taman
Budaya Sumatera Utara Jalan Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. Karena, kalau
kita menonton film “Mursala” versi Raja Bonaran Situmeang,SH.M.Hum Bupati
Tapanuli Tengah adalah film Dokumentar dan cuplikan-cuplikan pulau Musala, dan
obyek wisata Tapanuli Tengah serta penonjolan pengacara, percintaan dan
perkawinan terlarang.
Kalau disimak film tersebut hanya penonjolan khayal Raja Bonaran
Situmeang,SH.M.Hum sebagai pengacara dan dalam film “Mursala” versi Raja
Bonaran Situmeang,SH.M.Hum Bupati Tapanuli Tengah yang dilakonkan oleh Rio
Dewanto sebagai Anggiat Simbolon yang gigih dan berhasil membela kebenaran dan Hakim
membebaskan remaja yang dituduh mencuri sandal.
Dalam hal ini perlu juga kita bertanya apakah selama ini mengundang
artis-artis selibritis dan Silimbat serta memerintahkan para Kepala Dinas
menonton ke Jakarta serta Camat dan Lurah/Kepala Desa menonton ke Medan
pemutaran film Mursala versi Raja Bonaran Situmeang,SH.M.Hum Bupati Tapanuli
Tengah apakah biayanya hanya dari Anna Sinaga saja atau ada aliran dari dana
dari APBD Tapanuli Tengah.
Kesimpulan akhir penulis bahwa cerita film “Mursala” menggambarkan kehebatan
dan pencitraan Raja Bonaran,SH.M.Hum sebagai pengacara hebat terkenal pembela
yang benar, namun kenyataan yang sesungguhnya Raja Bonaran Situmeang,SH.M.Hum
pembela yang salah yaitu Anggodo Wijoyo yang mengkorupsikan uang rakyat
Indonesia dan perlu dipertanyakan apa maksutnya mengatakan kepada seorang
pengacara Hepengdo Na Mangatur Negaraon
karena pengacara tidak mau disogok. ***
Penulis, Ketua Umum Majelis Budaya Pesisir dan Pariwisata Sibolga
Tapanuli Tengah Pantai Barat Sumatera Utara serta Dosen Fisipol UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar