Sabtu, 15 Juni 2013

FILM “MURSALA” : CERITA ORANG BATAK MERANTAU KE TANAH TAPANULI TENGAH


Oleh : Radjoki Nainggolan


S
etelah penulis menonton film “Mursala” versi Bupati Tapanuli Tengah di Palladium pada hari Senin tanggal 6 Mei 2013 pukul 18.45 dengan harga tiket/karcis Rp. 30.000.-/perorang bersama 15 orang penonton lainnya yang durasinya lebih-kurang 1 jam, dapat penulis simpulkan bahwa film tersebut hanya menceritakan keakuan dan kehebatan serta kegigihan seorang pengacara membela seorang anak remaja yang dituduh mencuri sebuah sandal jepit.
Sejak  awal film diputar sampai akhirnya anak remaja yang dituduh mencuri sandal jepit dibebaskan dari tuduhan  dan  Anggiat sebagai pengacara tidak mau disogok walau berapapun karena melibatkan orang-orang hebat melawan anak remaja yang tidak bersalah. Dan, penyogok mengatakan kepada Anggiat, “Mahuaho dangolo manjalo hepeng, Ai Hepengdo Namangatur Negaraon.”
(Apakah film “Mursala” khayalan Raja Bonaran Situmeang, S.H., M.Hum, Bupati Tapanuli Tengah menyatakan Hepengdo Namangatur Negaraon tidak menghina dan melecehkan NKRI) sehingga penulis dapat menyimpulkan film tersebut sepertinya hanya pencitraan khayalan Raja Bonaran Situmeang, sebagai pengacara.
Film tersebut sebuah  film dokumenter yang suka-suka sendiri tanpa menghiraukan etika dan moral menyebutkan Hepengdo namangatur negaraon, apakah memang sudah separah itu NKRI tercinta ini sehingga diungkapkan di dalam film “Mursala” versi Raja Bonaran Situmeang sebagai pejabat negara?
Film “Mursala” versi Bupati Tapanuli Tengah diselang-selingi dengan penampilan obyek wisata serta cuplikan Raja Bonaran Situmeang dan percintaan antara Anggiat Simbolon dengan Clarissa yang  akhirnya diketahui bahwa Clarissa bermarga Saragi yang termasuk ke dalam 70 marga termasuk Simbolon yang disebut Parna bagi masyarakat Batak.
Percintaan mereka terganggu oleh larangan adat leluhur karena mereka berdua antara Anggiat Simbolon dengan Clarissa Saragi disebut orangtua (Inang) si Anggiat Simbolon bersaudara kandung dan tidak akan diperbolehkan kawin. Padahal tidak satu Ayah dan tidak satu Ibu kandung Anggiat Simbolon dengan Clarissa dan hanya semarga (kecuali se-Ayah dan se- Ibu menurut adat Etnis Pesisir bersendikan kepada Hukum Islam. Pasti tidak boleh kawin, tetapi kalau hanya semarga tidak ada ikatan sedarah atau abang adik kandung boleh kawin).
Tetapi, dalam adat Batak hanya dengan semarga saja dalam  70 marga (Parna) padahal tidak sedarah tidak boleh kawin (menurut Raja Bonaran Situmeang,SH.M.Hum mengatakan adat Batak lebih tinggi dari agama Kristen) sehingga  orangtua dan famili Anggiat Simbolon menganjurkan supaya Anggiat Simbolon kawin dengan Paribannya bernama Yuli.
Ternyata Anggiat Simbolon sangat cinta kepada Clarissa Saragi seolah-olah tidak ada pilihan lain selain Clarissa Saragi walaupun akan menentang adat kebiasaan leluhur Orang Batak sehingga Clarissa putus asa dan pergi ke luar negeri.
Adat tidak boleh kawin dengan satu marga tidak ada di Tapanuli Tengah dan adanya di Tapanuli Utara, mengapa diperankan atas nama Tapanuli Tengah. Ini sangat merusak pemahaman masyarakat Etnis Pesisir bahwa dipaksakan Raja Bonaran Situmeang adat Batak menjadi produk Tapanuli Tengah. Baru periode Raja Bonaran Situmeang menjadi Bupati kesekian kalinya dan yang pertama di Tapanuli Tengah Sumatera Utara Indonesia “meresahkan” masyarakat di Tapanuli Tengah, khususnya masyarakat Etnis Pesisir dengan film Mursala.
Film “Mursala” versi Bupati Tapanuli Tengah tidak menggambarkan  Budaya Etnis Pesisir Tapanuli Tengah tetapi, hanya menggambarkan Budaya Batak yang dibawa oleh perantau Orang Batak dari Tapanuli Utara ke Tapanuli Tengah dengan memakai nama Mursala versi dan khayal Raja Bonaran Situmeang, sehingga menghilangkan Budaya Etnis Pesisir.
Seolah-olah, Tapanuli Tengah adalah kampung halaman leluhur orang batak yang merantau dari Tapanuli Utara ke Tapanuli Tengah dan menonjolkan Budaya Batak 100% dalam film tersebut dan menghilangkan Budaya Etnis Pesisir sebagai budaya asli budaya tuan rumah sejak abad ke-6M takalo pulau Poncan Ketek dan masuknya agama Islam pertama (I)  ke Barus abad ke-7M di Indonesia melalui pintu gerbang Pulau Nias dan singgah di sebuah Pulau yang mereka namakan Pulau Musolla untuk Sholat (kata orang Arab dari Gujarat dan Musala kata Orang Etnis Pesisir dari Sibolga Tapanuli Tengah.
Karena waktu Sholat sudah tiba mereka Orang Arab Gujarat mencari air wudhuk dan mereka menemukan air terjun yang dinamakan mereka air terjun Pulau Musolla untuk berwudhuk karena Musolla tempat beribadah bagi Umat Islam pertama oleh bangsa Arab Gujarat yang membawa agama Islam pertama (I)  pada abad ke-7M ke-Barus Indonesia atau tahun 48H masuknya Agama Islam pertama (I) abad ke-7M di Indonesia. Musala kata orang pesisir sehingga Budaya Etnis Pesisir telah menyatu dan bersendikan kepada Hukum Islam.
Yuli  menceritakan kepada Clarissa Saragi  sewaktu menikmati air terjun Pulau Mursala versi Bupati Tapanuli Tengah dan Musala kata Orang Etnis Pesisir bahwa zaman dahulu di pulau ini, kata Yuli,  berdiamlah seorang putri yang cantik bernama Putri Runduk sehingga beberapa orang Raja di antaranya adalah Raja Janggi dari Sudan ingin mempersunting Putri Runduk tetapi Putri Runduk tidak mau dan Raja Janggi ingin memaksakan kehendaknya untuk menangkap Putri Runduk tetapi Putri Runduk melakukan perlawanan yang akhirnya Putri Runduk melompat ke laut dan Clarissa bertanya kepada Yuli, air terjun ini dari mana datangnya dan Yuli menjawab air terjun ini adalah air mata Putri Runduk ( cerita ini memplesetkan sejarah Putri Runduk).
Perlu penulis informasikan kepada semua pihak bahwa Raja Janggi berasal dari India bukan dari Sudan dan Putri Runduk dan Raja Janggi tidak melompat dari atas air terjun ke laut Pulo Musala tetapi Putri Runduk berdo’a kepada Tuhan “Ya Allah Ya Tuhan hanya kepada Engkaulah aku meminta pertolongan agar Janggi yang ganas yang ingin menangkap aku untuk menjadi istrinya, jadikanlah dia (Raja Janggi) menjadi batu.” 
Seketika itu juga, Raja Janggi menjadi batu yang sekarang dinamakan Patung Janggi/Pulo Janggi dekat Pulau Musala. Kemudian Putri Runduk berdo’a kembali, “Ya Allah Ya Tuhan kembalikanlah aku kepada asalku agar jangan ada lagi malapetaka karena diriku,” dan seketika itu pula Putri Runduk menghilang dari muka bumi.
Lalu, air apa yang dikatakan Yuli air terjun berasal dari air mata Putri Runduk sangat jauh dari sejarah tetapi memang air terjun Pulau Musala adalah Kekuasaan Allah Subhanahuwata’Ala yang berbuat sekehndaknya, penguasa bumi dan langit. Air terjun Pulau Musala ini tetap mengalir biarpun musim kemarau maupun musim hujan tidak pernah kering.
Jelas dalam film “Mursala” versi Raja Bonaran Situmeang, Anna Sinaga dan Raja Bonaran Situmeang menonjolkan Budaya Batak 100% sesuai keterangan Anna Leiden Sinaga di media cetak. Jelas pula dalam film tersebut menunjukkan adat Batak dari Gereja ke Gereja dalam acara-acara maupun pesta perkawinan dengan gondang Batak dan bahasa Batak tanpa sedikitpun menghargai masyarakat Etnis Pesisir Sibolga Tapanuli Tengah sebagai tuan rumah  Nagari Badusanak Saiyo Sakato.
Bahkan, seolah-olah semua masyarakat Tapanuli Tengah tempat masuknya Islam pertama (I) di Barus Abad ke-7M dianggap sebagai penganut Kristen 100% dan memelesetkan sejarah Putri Runduk. Isi cerita dalam film tersebut tidak mengerti kita darimana mau ke mana dan di mana ending-nya. Sangat sayang dengan biaya 5 Miliar rupiah uang pribadinya  kata Anna Leiden Sinaga Produser film “Mursala” hanya begitu saja.
Tampaknya, Anna Leiden Sinaga sebagai Produser perlu belajar ke Taman Budaya Sumatera Utara Jalan Perintis Kemerdekaan No. 33 Medan. Karena, kalau kita menonton film “Mursala” versi Raja Bonaran Situmeang,SH.M.Hum Bupati Tapanuli Tengah adalah film Dokumentar dan cuplikan-cuplikan pulau Musala, dan obyek wisata Tapanuli Tengah serta penonjolan pengacara, percintaan dan perkawinan terlarang.
Kalau disimak film tersebut hanya penonjolan khayal Raja Bonaran Situmeang,SH.M.Hum sebagai pengacara dan dalam film “Mursala” versi Raja Bonaran Situmeang,SH.M.Hum Bupati Tapanuli Tengah yang dilakonkan oleh Rio Dewanto sebagai Anggiat Simbolon yang  gigih dan berhasil membela kebenaran dan Hakim membebaskan remaja yang dituduh mencuri sandal.
Dalam hal ini perlu juga kita bertanya apakah selama ini mengundang artis-artis selibritis dan Silimbat serta memerintahkan para Kepala Dinas menonton ke Jakarta serta Camat dan Lurah/Kepala Desa menonton ke Medan pemutaran film Mursala versi Raja Bonaran Situmeang,SH.M.Hum Bupati Tapanuli Tengah apakah biayanya hanya dari Anna Sinaga saja atau ada aliran dari dana dari APBD Tapanuli Tengah.
Kesimpulan akhir penulis bahwa cerita film “Mursala” menggambarkan kehebatan dan pencitraan Raja Bonaran,SH.M.Hum sebagai pengacara hebat terkenal pembela yang benar, namun kenyataan yang sesungguhnya Raja Bonaran Situmeang,SH.M.Hum pembela yang salah yaitu Anggodo Wijoyo yang mengkorupsikan uang rakyat Indonesia dan perlu dipertanyakan apa maksutnya mengatakan kepada seorang pengacara Hepengdo Na Mangatur Negaraon karena pengacara tidak mau disogok. ***



Penulis, Ketua Umum Majelis Budaya Pesisir dan Pariwisata Sibolga Tapanuli Tengah Pantai Barat Sumatera Utara serta Dosen Fisipol UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar