Minggu, 23 Juni 2013

Pelukan Tangis


Cerpen : Ria Ristiana Dewi


B
eberapa kali dalam satu malam suaramu tak habis mengucapkan kalimat-kalimat tangisan dan aku hanya bisa mencoba untuk memahamimu. Namun malam itu, aku tak bisa. Entahlah, dengan deru-deru yang panjang, tangismu meleleh seperti tertahan selama bertahun-tahun. Aku ingin mencoba memahamimu. Percayalah...
“Aku tak ingin menangis, tapi bisakah kau menghentikan tangisku?” katamu sambil terus mengusap air mata di pipi. Dan, masih terus kucoba untuk memahamimu kembali.
“Aku tidak tahu!” kataku mencoba memahamimu kembali lagi, meskipun kau tahu aku terlalu panik untuk menyikapi ini. Hingga aku mungkin takkan pernah paham. Dalam mimpi-mimpi yang terpasung diingatanmu, kau selalu mencurahkannya padaku. Setiap kali kau curahkan, aku tak mengerti mengapa kau menangis. Padahal, menurutku, beberapa hal yang kau katakan, tidak untuk mengakibatkan tangis-tangis panjang seperti ini.
“Mungkin akhir-akhir ini mimpimu ada yang aneh?”
“Tidak ada yang aneh, Pram!”
Sementara tangismu menderu dengan perlahan, namun perlahan-lahan menjadi begitu kencang. Aku tak bisa benar-benar memahamimu. Semestinya kau selalu bisa mengatasi apapun yang membara di dadamu.
Setiap malam, ada angin di pintu masuk kamar sewa ini akan begitu riuh mesra di bulu kuduk kita. Dan kau selalu bercerita banyak hal padaku. Suatu waktu pula, kau pernah pergi ke suatu tempat yang paling kau cintai. Katamu, di sana seorang lelaki selalu menunggumu. Ia adalah sosok yang kau kenal—pertama kali tentang cinta dan sajak-sajak. Kau berkata bahwa kau sendiri tidak pernah mengenal lelaki dengan sajak-sajak sebelumnya. Saat kau mengenalnya, ada cerita pendek yang timbul dan tenggelam. Di bagian yang paling baik dan cerahnya, ia, yang kau sebut lelaki sajak selalu memujamu dan menjadi bagian paling gelisah di dadamu adalah ketika ia mengucapkan kata cinta di saat cinta bukan untuk dikatakan waktu-waktu tersebut. Kau, dengan gelimu sendiri mengucapkan penuh kebanggaan bahwa “Aku berhasil dicintai”. Entahlah, kebanggaan seperti apa? Namun, saat aku melihat matamu yang berkaca-kaca dan lagi-lagi melelehkan air mata itu, seolah-olah ada rasa amuk yang dahsyat tengah kau simpan dan kau lipat baik dalam kenanganmu. Mungkin, sebuah tawa yang paling kau nikmati.
Malam itu, menjadi malam  yang begitu panjang. Di kota Medan, hal ini menjadi yang paling wajar. Pasalnya, cinta akan timbul di waktu-waktu yang tak pernah kau sangka-sangka. Kita selalu menatap ke depan, di pintu masuk kamar sewamu. Agar tak ada yang mengira bahwa kau wanita malam, katamu berkali-kali.
“Aku ini wanita baik-baik,” katamu lagi untuk lebih menyakinkanku selama lebih kurang dalam lima tahun kita saling mengenal. Namun, saat mengatakan hal itu pun kau selalu saja menangis. Berada di sisimu semalaman ini membuatku seperti berada di dalam tumpuk percikan sungai yang alirannya deras dan menemukanku tenggelam dalam arusnya. Jika kau adalah sungai, maka aku sangat ini menyampanimu dengan cinta. Ah, terlalu!
“Kau itu temanku. Dan jangan katakan hal lain selain itu.” Begitulah selalu dan selalu.
Pintu masuk kamar sewamu  telah kau tutup. Kini tangismu menderu seperti guncangan yang dahsyat di dalam sebuah tong air, ingin keluar. Ketika aku mengendari sepeda motorku dan memikirkan tangis-tangis panjangmu, aku selalu tampak menjadi pengkhayal yang paling misteri. Hidupku telah kau kuasai, dan jalanku terpasung dalam mimpi-mimpimu. Dan, begitulah.
            Selagi aku memikirkanmu, aku tak tahu kemana perginya kesadaranku. Aku seperti ingin menabrak siapapun, ingin mengamuk, ingin mencederai, dan aku seperti seorang pecandu tangismu yang paling tidak waras. Bahkan, aku tak menyadari bahwa di depanku telah tergeletak seorang anak yang darahnya tak mau berhenti. Anak itu terpental. Persisnya, aku tengah melamun saat itu, aku menyalahkanmu sebagai tokoh dalam khayalanku, hingga kini aku menbrak seorang anak tak bersalah. Entahlah, persetan dengan tangis-tangismu itu!
           Dan begitulah. Tangismu selalu mempersulit kesadaranku. Di dalam sel, aku masih sempat mendengar tangismu itu. Entahlah...
           Dahulu, tangis itu adalah tangis yang paling kau cintai. Pasalnya, dengan tangis-tangis yang kau punya, kau mampu menyewa rumah hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Di saat usiamu mencapai 15 tahun, kau masih begitu manis dan segar untuk menjadi seorang pekerja yang handal sehingga kau tak mampu menunjukkan cantiknya paras wajah atau hatimu.
          Kau selalu menikmati hasil-hasil dari tangismu. Saat kau akan dipecat karena perlakuanmu yang menodongkan pisau ke perut salah seorang pelanggan, bahkan tangismu kembali menolongmu. Kau terduduk tunduk dan merengek hebat, menarik-narik ujung pakaian bosmu, kau katakan bahwa kau akan membayar kerugiannya dua kali lipat asalkan kau tak akan dipecat. Sebab dari pekerjaan itulah, kau bisa menyewa rumah itu. Dan dari situlah kau bisa makan minum, ke salon, berjalan-jalan, menikmati dunia yang bagimu, itu perlu kau nikmati. Kau pernah menannyakan padaku, bagaimana caranya menikmati hidup meskipun begitu kau tak pernah menuruti nasihatku. Kau selalu kembali pada keyakinanmu bahwa tangis-tangis yang kau punya adalah kebahagiaan terbesarmu.
          Kini, setelah aku melangkah keluar dari sel dan kembali mendengar gema hebat dari tangismu di antara tiang-tiang sel yang akan aku lalui, bahkan kau tidak pula datang mengunjungiku. Bagiku, jika kau tetap ingin menjadikan aku sebagai temanmu, yang selalu mencintaimu dan menemani malam-malam sepimu, seharusnya atau setidaknya kau membawakan satu rantang makanan ke sel ini. Bahkan aku mendekam selama sebulan di sini, itu, karena tangis-tangismu yang menyesakkan dadaku. Sungguh menjengkelkan!
            “Sebagai teman, aku akan selalu berada di sampingmu. Percayalah!”
            Tentu saja aku masih ingat kata-katamu itu. Tentu. Dan saat ini, aku seperti mendapat pukulan hebat. Seolah-olah ada benda keras yang jatuh di atas kepalaku dan menyadarkan bahwa itu hanya sepotong kalimatmu.
            Ketika itu, aku melihatmu tengah menangis di balik salah satu tiang rumah sakit. Dengan sangat rapi, kau simpan sebelah wajahmu yang basah itu agar tidak ada satupun yang melihat. Malam tidak diam, tangismu memberisik di telinga, menyusup dan membuatku ingin mengukirnya lalu menjadi prasasti di dadaku. Itulah, pertama kalinya aku melihat dan mendengar tangis-tangismu. Membakar di mataku yang melihat parasmu, syahdu, penuh kekhusyukan. Lantas, bukankah bagi seorang wanita sepertimu adalah wajar jika menangis. Namun, yang paling tidak kumengerti, kau mencintai tangisanmu. Ah, gila!
          Saat itu hingga kini, aku tak pernah mengetahui siapa persisnya namamu. Aku hanya memanggilmu dengan asal saat kita seolah berpura-pura akrab, dan aku datang untuk menjadi bagian paling nyaman di hatimu. Santana! Begitulah aku memanggilmu. Meskipun kau tetap saja menangis, dan teruslah menangis. Ayah dan ibumu telah dipeluk maut, begitu katamu. Dan kini yang kau cintai hanyalah tangisan. Kau tau, dengan tangisanmu itu, kau nyaris saja terbunuh. Lagi-lagi kau berlari menghindari pelangganmu kala itu. Dengan sangat tergesa kau berlari dan tak tahu kalau kau sedang dikejar berpuluh preman yang siap menjadikanmu sebagai wanita paling kasihan, sangat. Kalau bukan karena aku datang dan menarik tanganmu naik ke atas sepeda motorku, mungkin aku takkan bisa lagi menikmati tangis-tangismu itu.
         Tapi enyahlah kau dengan tangis-tangismu itu, aku masih terus mendengarnya meskipun aku telah keluar dari sel dan tengah berjalan menunggu angkutan umum. Aku juga mendengar tangismu saat aku tengah menikmati sebuah lagu di dalam angkutan tersebut. Dengan cepat, kau merobek-robek waktu tenangku. Entah kapan kau akan pergi dan berlalu. Saat itu, kau mengatakan padaku dengan rengekan hebat bahwa kau tak memiliki rumah, maka aku mengusulkan padamu agar menyewa saja di rumah saudaraku. Tentu saja saat itu kau tak memiliki uang sepeserpun. Aku meminjamkan uangku dan kau menuruti janji-janjimu akan mengembalikannya meskipun aku takkan tega. Namun, saat aku menasihatimu agar keluar dari pekerjaan itu, kau tetap saja bekerja. Bahkan ketika nyawamu tengah kalut di tangan kematian dan aku akan selalu berada di sampingmu.
            Persetan! Persetan dengan tangis-tangismu!
       Tangisan itu telah memelukmu bertahun-tahun lamanya. Hingga pada suatu masa kau jatuh dalam pelukan cinta seorang lelaki yang kau sebut pahlawanmu. Saat itu aku ingin menjadi pemarah yang maniak, namun aku hentikan sebab aku sadar bahwa aku hanya ingin kau selalu tampak bahagia. Kau berjanji akan bahagia bersamanya. Di saat usiamu tengah memasuki usia 20 tahun, kau tampak matang akan melepas masa mudamu. Di rumah yang kemudian di sewa oleh suamimu itu, kau tampak bahagia, namun  itu tak lama. Dan kau menangis dengan tersedu-sedu di bahuku, memelukku erat, dan telah menyesal telah menjadi istri kedua. Bersamaku, kau selalu tampak lebih tenang, walau aku tau tidak ada kesungguhan masa tenang di dalam dadamu sendiri.
          Aku mengatakan padamu bahwa sebaiknya kau bekerja dengan halal, maka ketika tak ada satupun pilihan, kau menurutiku dengan baikmu. Kau selalu mengadu padaku bahwa kau bahagia, bahagia telah menemukanku dalam hidupmu.
           Sehingga, pada waktu-waktu tertentu, kita akan menghabiskan waktu bersama-sama. Dan aku selalu mencintaimu semenjak kau menangis di balik tiang rumah sakit itu. Dengan bercerita ringan dan tawa-tawa paksa, kau mengatakan bahwa hidupmu telah dipeluk tangis. Tangis menjadi teman baikmu, kemanapun selalu mengikutimu. Orang tuamu adalah seorang pekerja keras, meninggalkanmu dengan penuh peluh perjuangan. Sementara itu, kau hanya tahu bahwa kau harus makan untuk esok hari dan aku tak tahu setelah itu. Mengapa kau selalu saja menyesak di dalam dadaku.
       Aku telah sampai di rumah sewamu dan aku telah bersiap-siap untuk tidak tertidur dalam tangis-tangismu. Aku telah menyiapkan kata-kataku untuk meminta penjelasan kepadamu, mengapa kau tak pula menjengukku di sel saat itu. Ketika aku selalu saja memikirkanmu dan ingin kau menjadi istriku. Kau menangis dan selalu saja menangis dan mengatakan, kau masih mencintai lelakimu. Kau wanita tangis yang paling bodoh yang pernah aku kenal. Aku telah bersiap-siap dan aku akan menggedor-gedor pintumu lalu melabrakmu yang tengah berpelukan mesra dengan tangis-tangismu.
            Namun, aku melihatmu dengan terpaksa: terpaksa aku memeluk tangismu selama-lamanya. Abadi, di dalam dadaku. Tersimpan.
           Aku buka pintu rumah sewamu dan kau telah pergi tampa pamit sedikitpun. Aku menangis, menangis, dan menangis.
            Aku mencintaimu, Pram! Aku mencintaimu! Putusilah pacarmu! Aku tak bisa hidup tanpamu! Aku mohon Pram! Jangan permainkan aku lagi! ***





 Ria Ristiana Dewi, lLahir di Aceh Utara, 7 Maret 1989. Alamat di Jln. Garu 2 Gg. Melati No. 85 A, Medan. Tamatan Unimed, saat ini mengajar di SMP Al-Azhar, Medan. Telah menulis di media massa lokal maupun nasional. Telah memiliki buku kumpulan puisi Angin Kerinduan dan menyusul kumpulan cerpen “Bulan Biru” sebagai pemenang lomba naskah buku. Pernah mengikuti TSI-4 dan Jilfest ke-2. email: eze_rictianaleite@windowslive.com. Blog: www.perempuan-bermata-elang.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar