Cerpen : Ria
Ristiana Dewi
B
|
eberapa kali dalam satu malam suaramu tak habis
mengucapkan kalimat-kalimat tangisan dan aku hanya bisa mencoba untuk memahamimu.
Namun malam itu, aku tak bisa. Entahlah, dengan deru-deru yang panjang,
tangismu meleleh seperti tertahan selama bertahun-tahun. Aku ingin mencoba
memahamimu. Percayalah...
“Aku tak ingin menangis, tapi
bisakah kau menghentikan tangisku?” katamu sambil terus mengusap air mata di
pipi. Dan, masih terus kucoba untuk memahamimu kembali.
“Aku tidak tahu!” kataku mencoba
memahamimu kembali lagi, meskipun kau tahu aku terlalu panik untuk menyikapi
ini. Hingga aku mungkin takkan pernah paham. Dalam mimpi-mimpi yang terpasung
diingatanmu, kau selalu mencurahkannya padaku. Setiap kali kau curahkan, aku
tak mengerti mengapa kau menangis. Padahal, menurutku, beberapa hal yang kau
katakan, tidak untuk mengakibatkan tangis-tangis panjang seperti ini.
“Mungkin akhir-akhir ini mimpimu
ada yang aneh?”
“Tidak ada yang aneh, Pram!”
Sementara tangismu menderu dengan
perlahan, namun perlahan-lahan menjadi begitu kencang. Aku tak bisa benar-benar
memahamimu. Semestinya kau selalu bisa mengatasi apapun yang membara di dadamu.
Setiap malam, ada angin di pintu
masuk kamar sewa ini akan begitu riuh mesra di bulu kuduk kita. Dan kau selalu
bercerita banyak hal padaku. Suatu waktu pula, kau pernah pergi ke suatu tempat
yang paling kau cintai. Katamu, di sana seorang lelaki selalu menunggumu. Ia
adalah sosok yang kau kenal—pertama kali tentang cinta dan sajak-sajak. Kau
berkata bahwa kau sendiri tidak pernah mengenal lelaki dengan sajak-sajak
sebelumnya. Saat kau mengenalnya, ada cerita pendek yang timbul dan tenggelam.
Di bagian yang paling baik dan cerahnya, ia, yang kau sebut lelaki sajak selalu
memujamu dan menjadi bagian paling gelisah di dadamu adalah ketika ia
mengucapkan kata cinta di saat cinta bukan untuk dikatakan waktu-waktu
tersebut. Kau, dengan gelimu sendiri mengucapkan penuh kebanggaan bahwa “Aku
berhasil dicintai”. Entahlah, kebanggaan seperti apa? Namun, saat aku melihat
matamu yang berkaca-kaca dan lagi-lagi melelehkan air mata itu, seolah-olah ada
rasa amuk yang dahsyat tengah kau simpan dan kau lipat baik dalam kenanganmu. Mungkin,
sebuah tawa yang paling kau nikmati.
Malam itu, menjadi malam yang begitu panjang. Di kota Medan, hal ini
menjadi yang paling wajar. Pasalnya, cinta akan timbul di waktu-waktu yang tak
pernah kau sangka-sangka. Kita selalu menatap ke depan, di pintu masuk kamar
sewamu. Agar tak ada yang mengira bahwa kau wanita malam, katamu berkali-kali.
“Aku ini wanita baik-baik,”
katamu lagi untuk lebih menyakinkanku selama lebih kurang dalam lima tahun kita
saling mengenal. Namun, saat mengatakan hal itu pun kau selalu saja menangis. Berada
di sisimu semalaman ini membuatku seperti berada di dalam tumpuk percikan
sungai yang alirannya deras dan menemukanku tenggelam dalam arusnya. Jika kau
adalah sungai, maka aku sangat ini menyampanimu dengan cinta. Ah, terlalu!
“Kau itu temanku. Dan jangan
katakan hal lain selain itu.” Begitulah selalu dan selalu.
Pintu masuk kamar sewamu telah kau tutup. Kini tangismu menderu seperti
guncangan yang dahsyat di dalam sebuah tong air, ingin keluar. Ketika aku
mengendari sepeda motorku dan memikirkan tangis-tangis panjangmu, aku selalu
tampak menjadi pengkhayal yang paling misteri. Hidupku telah kau kuasai, dan
jalanku terpasung dalam mimpi-mimpimu. Dan, begitulah.
Selagi
aku memikirkanmu, aku tak tahu kemana perginya kesadaranku. Aku seperti ingin
menabrak siapapun, ingin mengamuk, ingin mencederai, dan aku seperti seorang
pecandu tangismu yang paling tidak waras. Bahkan, aku tak menyadari bahwa di
depanku telah tergeletak seorang anak yang darahnya tak mau berhenti. Anak itu
terpental. Persisnya, aku tengah melamun saat itu, aku menyalahkanmu sebagai
tokoh dalam khayalanku, hingga kini aku menbrak seorang anak tak bersalah. Entahlah,
persetan dengan tangis-tangismu itu!
Dan
begitulah. Tangismu selalu mempersulit kesadaranku. Di dalam sel, aku masih
sempat mendengar tangismu itu. Entahlah...
Dahulu,
tangis itu adalah tangis yang paling kau cintai. Pasalnya, dengan tangis-tangis
yang kau punya, kau mampu menyewa rumah hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Di
saat usiamu mencapai 15 tahun, kau masih begitu manis dan segar untuk menjadi
seorang pekerja yang handal sehingga kau tak mampu menunjukkan cantiknya paras
wajah atau hatimu.
Kau
selalu menikmati hasil-hasil dari tangismu. Saat kau akan dipecat karena
perlakuanmu yang menodongkan pisau ke perut salah seorang pelanggan, bahkan
tangismu kembali menolongmu. Kau terduduk tunduk dan merengek hebat,
menarik-narik ujung pakaian bosmu, kau katakan bahwa kau akan membayar
kerugiannya dua kali lipat asalkan kau tak akan dipecat. Sebab dari pekerjaan
itulah, kau bisa menyewa rumah itu. Dan dari situlah kau bisa makan minum, ke
salon, berjalan-jalan, menikmati dunia yang bagimu, itu perlu kau nikmati. Kau
pernah menannyakan padaku, bagaimana caranya menikmati hidup meskipun begitu
kau tak pernah menuruti nasihatku. Kau selalu kembali pada keyakinanmu bahwa tangis-tangis
yang kau punya adalah kebahagiaan terbesarmu.
Kini,
setelah aku melangkah keluar dari sel dan kembali mendengar gema hebat dari
tangismu di antara tiang-tiang sel yang akan aku lalui, bahkan kau tidak pula
datang mengunjungiku. Bagiku, jika kau tetap ingin menjadikan aku sebagai
temanmu, yang selalu mencintaimu dan menemani malam-malam sepimu, seharusnya
atau setidaknya kau membawakan satu rantang makanan ke sel ini. Bahkan aku
mendekam selama sebulan di sini, itu, karena tangis-tangismu yang menyesakkan
dadaku. Sungguh menjengkelkan!
“Sebagai
teman, aku akan selalu berada di sampingmu. Percayalah!”
Tentu
saja aku masih ingat kata-katamu itu. Tentu. Dan saat ini, aku seperti mendapat
pukulan hebat. Seolah-olah ada benda keras yang jatuh di atas kepalaku dan
menyadarkan bahwa itu hanya sepotong kalimatmu.
Ketika
itu, aku melihatmu tengah menangis di balik salah satu tiang rumah sakit.
Dengan sangat rapi, kau simpan sebelah wajahmu yang basah itu agar tidak ada
satupun yang melihat. Malam tidak diam, tangismu memberisik di telinga,
menyusup dan membuatku ingin mengukirnya lalu menjadi prasasti di dadaku. Itulah,
pertama kalinya aku melihat dan mendengar tangis-tangismu. Membakar di mataku
yang melihat parasmu, syahdu, penuh kekhusyukan. Lantas, bukankah bagi seorang
wanita sepertimu adalah wajar jika menangis. Namun, yang paling tidak
kumengerti, kau mencintai tangisanmu. Ah, gila!
Saat
itu hingga kini, aku tak pernah mengetahui siapa persisnya namamu. Aku hanya
memanggilmu dengan asal saat kita seolah berpura-pura akrab, dan aku datang
untuk menjadi bagian paling nyaman di hatimu. Santana! Begitulah aku
memanggilmu. Meskipun kau tetap saja menangis, dan teruslah menangis. Ayah dan
ibumu telah dipeluk maut, begitu katamu. Dan kini yang kau cintai hanyalah
tangisan. Kau tau, dengan tangisanmu itu, kau nyaris saja terbunuh. Lagi-lagi
kau berlari menghindari pelangganmu kala itu. Dengan sangat tergesa kau berlari
dan tak tahu kalau kau sedang dikejar berpuluh preman yang siap menjadikanmu
sebagai wanita paling kasihan, sangat. Kalau bukan karena aku datang dan
menarik tanganmu naik ke atas sepeda motorku, mungkin aku takkan bisa lagi
menikmati tangis-tangismu itu.
Tapi
enyahlah kau dengan tangis-tangismu itu, aku masih terus mendengarnya meskipun aku
telah keluar dari sel dan tengah berjalan menunggu angkutan umum. Aku juga
mendengar tangismu saat aku tengah menikmati sebuah lagu di dalam angkutan
tersebut. Dengan cepat, kau merobek-robek waktu tenangku. Entah kapan kau akan
pergi dan berlalu. Saat itu, kau mengatakan padaku dengan rengekan hebat bahwa
kau tak memiliki rumah, maka aku mengusulkan padamu agar menyewa saja di rumah
saudaraku. Tentu saja saat itu kau tak memiliki uang sepeserpun. Aku
meminjamkan uangku dan kau menuruti janji-janjimu akan mengembalikannya
meskipun aku takkan tega. Namun, saat aku menasihatimu agar keluar dari
pekerjaan itu, kau tetap saja bekerja. Bahkan ketika nyawamu tengah kalut di
tangan kematian dan aku akan selalu berada di sampingmu.
Persetan!
Persetan dengan tangis-tangismu!
Tangisan
itu telah memelukmu bertahun-tahun lamanya. Hingga pada suatu masa kau jatuh
dalam pelukan cinta seorang lelaki yang kau sebut pahlawanmu. Saat itu aku
ingin menjadi pemarah yang maniak, namun aku hentikan sebab aku sadar bahwa aku
hanya ingin kau selalu tampak bahagia. Kau berjanji akan bahagia bersamanya. Di
saat usiamu tengah memasuki usia 20 tahun, kau tampak matang akan melepas masa
mudamu. Di rumah yang kemudian di sewa oleh suamimu itu, kau tampak bahagia,
namun itu tak lama. Dan kau menangis
dengan tersedu-sedu di bahuku, memelukku erat, dan telah menyesal telah menjadi
istri kedua. Bersamaku, kau selalu tampak lebih tenang, walau aku tau tidak ada
kesungguhan masa tenang di dalam dadamu sendiri.
Aku
mengatakan padamu bahwa sebaiknya kau bekerja dengan halal, maka ketika tak ada
satupun pilihan, kau menurutiku dengan baikmu. Kau selalu mengadu padaku bahwa
kau bahagia, bahagia telah menemukanku dalam hidupmu.
Sehingga,
pada waktu-waktu tertentu, kita akan menghabiskan waktu bersama-sama. Dan aku
selalu mencintaimu semenjak kau menangis di balik tiang rumah sakit itu. Dengan
bercerita ringan dan tawa-tawa paksa, kau mengatakan bahwa hidupmu telah
dipeluk tangis. Tangis menjadi teman baikmu, kemanapun selalu mengikutimu. Orang
tuamu adalah seorang pekerja keras, meninggalkanmu dengan penuh peluh
perjuangan. Sementara itu, kau hanya tahu bahwa kau harus makan untuk esok hari
dan aku tak tahu setelah itu. Mengapa kau selalu saja menyesak di dalam dadaku.
Aku
telah sampai di rumah sewamu dan aku telah bersiap-siap untuk tidak tertidur
dalam tangis-tangismu. Aku telah menyiapkan kata-kataku untuk meminta
penjelasan kepadamu, mengapa kau tak pula menjengukku di sel saat itu. Ketika
aku selalu saja memikirkanmu dan ingin kau menjadi istriku. Kau menangis dan
selalu saja menangis dan mengatakan, kau masih mencintai lelakimu. Kau wanita
tangis yang paling bodoh yang pernah aku kenal. Aku telah bersiap-siap dan aku
akan menggedor-gedor pintumu lalu melabrakmu yang tengah berpelukan mesra
dengan tangis-tangismu.
Namun,
aku melihatmu dengan terpaksa: terpaksa aku memeluk tangismu selama-lamanya.
Abadi, di dalam dadaku. Tersimpan.
Aku
buka pintu rumah sewamu dan kau telah pergi tampa pamit sedikitpun. Aku
menangis, menangis, dan menangis.
Aku
mencintaimu, Pram! Aku mencintaimu! Putusilah pacarmu! Aku tak bisa hidup
tanpamu! Aku mohon Pram! Jangan permainkan aku lagi! ***
Ria Ristiana Dewi, lLahir
di Aceh Utara, 7 Maret 1989. Alamat di Jln. Garu 2 Gg. Melati No. 85 A, Medan. Tamatan
Unimed, saat ini mengajar di SMP Al-Azhar, Medan. Telah menulis di media massa
lokal maupun nasional. Telah memiliki buku kumpulan puisi Angin Kerinduan dan
menyusul kumpulan cerpen “Bulan Biru” sebagai pemenang lomba naskah buku. Pernah
mengikuti TSI-4 dan Jilfest ke-2. email: eze_rictianaleite@windowslive.com.
Blog: www.perempuan-bermata-elang.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar