Cerpen: T Agus Khaidir
P
|
ERTAMA-tama aku ingin bilang padamu bahwa sesungguhnya aku
tidak begitu yakin apakah perempuan itu sedang bertapa. Ini asumsiku saja,
berdasarkan pengetahuan dari lembaran-lembaran komik silat karangan Ganesh TH.
Seperti Badra Mandrawata, perempuan itu juga duduk bersila dengan mata terpejam
dan tangan bersidekap di dada.
Sebelum cerita ini berlanjut, aku ingin kita lebih
dahulu bersepakat. Meski pun ia tidak buta dan tidak pula melakukannya di dalam
goa berhantu, aku harap kau tidak mendebat asumsiku, terlebih dengan
membawa-bawa segala teori logika, eksistensialiasi, apalagi agama, yang sungguh
mati nantinya tiada akan berguna kecuali untuk membuat kepala kita jadi
berdenyut-denyut. Perdebatan seperti ini memang menarik tapi kupikir bukan di
sini tempatnya.
Baiklah, ya. Sepakat tak sepakat, kunggap saja
demikian. Sekarang, aku ingin mengenalkanmu pada perempuan itu. Seperti
sebagian besar orang-orang di kampung kami, pada suatu masa aku pernah menyebut
namanya dengan sangat akrab: Mira Marcela. Tentu saja ini bukan nama pemberian
orang tuanya. Sebagai anak kedua, Mira Marcela ditabalkan sebagai Anamira
Isnaini Khadijah. Ayahnya ingin ia jadi guru, sedangkan sang ibu bermimpi
puterinya mengekor jejak Nur Asiah Jamil, qariah internasional yang
kaset-kasetnya ia koleksi sampai hampir penuh satu lemari.
Bagaimana Anamira Isnaini Khadijah bertransformasi
jadi Mira Marcela, lantaran melibatkan seorang tengkulak, seorang bandot tua
yang mencari isteri kelima untuk dinikahi secara siri, serta seorang banci
berperut buncit pemilik satu orkes dangdut, hingga akan jadi paparan yang
sangat panjang, kupikir lebih baik jika kuceritakan padamu lain waktu. Kali ini
aku akan fokus ke Mira Marcela saja. Utamanya pascakegagalannya di panggung
dangdut dan saat-saat sebelum ia secara mendadak bertapa di persimpangan jalan.
Lahir dan tumbuh besar di rumahnya yang terletak di
ujung kampung, Mira pernah menjalani berbagai profesi. Ia pernah jadi tukang
pecal, sales obat kuat, sampai tukang bersih-bersih di sebuah mal kelas tiga
yang hidup segan mati tak mau di ibukota kabupaten. Maklum, pendidikannya
memang hanya sampai SMA. Sebenarnya ia berencana melanjutkan ke perguruan
tinggi. Ia bahkan telah ikut ujian masuk sampai tiga kali namun nasib berkata
lain. Satu-satunya pekerjaan agak elite yang ia peroleh adalah menjadi bagian
tata usaha di satu SD swasta milik yayasan keluarga perantau Minang yang
sebelumnya gagal dalam merintis usaha rumah makan.
Tapi begitulah, tiap warga kampung kami memang hanya
akan mengenangnya sebagai penyanyi dangdut. Aku masih ingat betul bagaimana
kami membicarakannya selama berhari-hari usai ia tampil bersama Inul Daratista
dan Uut Permatasari di pentas dangdutan yang disiarkan langsung salah satu
stasiun televisi. Sejak itu, ia jadi semacam legenda kecil di kampung kami.
Sebagian dari kami bahkan meyakini ia akan lebih populer dari Inul atau Uut,
sebab selain lekuk tubuh dan goyangan yang aduhai, suaranya juga merdu mendayu.
Angin cepat berubah arah. Seperti kawan lama yang
iseng, celaka demi celaka, rentetan kesialan, datang mendera Mira Marcela
dengan selera humor tinggi. Mula-mula ayahnya, Haji Zainuddin. Tanpa didahului
sakit atau tanda-tanda istimewa, Haji Zainuddin meninggal dunia sepulang dari
masjid usai mendirikan Salat Subuh berjamaah. Kejadiannya setahun lalu.
Tepatnya 24 April 2012. Haji Zainuddin terjerembab ke aspal dengan kepala lebih
dahulu menghantam trotoar akibat diserempet keponakannya sendiri. Keponakan itu
melesatkan motor sekencang-kencangnya lantaran kesal setelah uang 500 ribu yang
ia pertaruhkan untuk Barcelona di semifinal Liga Champions pindah ke kantong
bandar. Padahal tadinya ia begitu yakin Barcelona dapat menggulung Chelsea,
hingga nekat meminjam uang pada Haji Zainuddin dengan alasan untuk membayar
biaya perpisahan sekolah.
Mira Marcela pun yatim piatu. Sang Ibu sudah lebih
dahulu pergi saat ia masih belum becus menyeka ingus. Bertahan lima tahun
menduda, Haji Zainuddin menikah lagi dengan janda beranak satu dari kampung
sebelah. Seminggu setelah Haji Zainuddin meninggal, ibu tiri itu meninggalkan
rumah dengan membawa warisan bagiannya, yaitu satu mobil Toyota Corolla DX
Saloon 1972 warna coklat susu, satu sepeda motor Suzuki Tornado yang BPKB-nya
sudah mati 15 tahun, serta dua kotak perhiasan emas yang beberapa di antaranya
ternyata keliru diidentifikasi karena sesungguhnya merupakan milik almarhumah
ibu kandung Mira Marcela.
Kekeliruan inilah yang kemudian memicu sengketa.
Rahmat Yanis, satu-satunya saudara kandung Mira Marcela, menuntut
perhiasan-perhiasan milik ibu mereka dikembalikan. Ibu tiri menolak hingga
terjadilah perselisihan yang berujung pada bentrok fisik. Rahmat Yanis menikam
ibu tiri dan Suharkarno, anak bawaan ibu tiri, sampai mati. Ia ditangkap polisi
dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas dakwaan pembunuhan berencana.
Walau sangat terpukul, sampai saat itu Mira Marcela
masih bisa bertahan. Paling tidak, ia masih punya bayangan masa depan sebagai
penyanyi dangdut. Duet bersama Inul dan Uut Permatasari diyakininya sebagai
jalan untuk melangkah ke jenjang lebih tinggi. Mira berharap duet-duet itu jadi
bahan pertimbangan para produser untuk membawanya ke dapur rekaman.
Sayangnya, Mira Marcela kelewat lugu. Ia tak paham
betapa zaman pedangdut macam Ellya Kadam, Elvi Sukaesih, atau Rita Sugiarto
sudah lama berlalu. Iis Dahlia, Evie Tamala, Ikke Nurjannah, dan Erry Susan
telah jadi diva. Inul dan rangkaian
gerbongnya, beruntung masuk kelompok elite akibat kontroversi pernyataan dan
sikap Raden Haji Oma Irama. Tapi pascakesuksesan gerbong Inul, aturan main
berubah drastis. Mungkin aku berlebihan. Sebab sebenarnya aturan main ini sudah
berlangsung sejak lama. Bedanya adalah, sekarang dilakukan dengan lebih
terang-terangan. Iya, suara merdu mendayu saja tak cukup. Bentuk tubuh dan
goyang aduhai di atas panggung saja tak cukup. Meski ada kompensasi lebih.
Mira Marcela sempat menolak kecenderungan ini. Ia
bersikeras mencari celah-celah lain. Tapi gagal. Tanpa memberikan kompensasi
itu, ia paling banter hanya akan sampai di panggung-panggung (yang semakin lama
semakin bergeser ke daerah pinggiran), bukan dapur rekaman.
Maka pada suatu malam, di tengah kegamangan di satu
sisi dan keinginannya untuk memiliki album yang kian menggebu tak tertahankan
di sisi lain, di satu kamar hotel berbintang di ibu kota provinsi, Mira Marcela
memberikan kompensasi itu pada seorang produser. Atas peristiwa bersejarah ini,
ia mempersiapkan diri dengan sangat matang. Terutama mental dan psikologis.
Betapapun lelaki ini sama sekali tidak ia kenal. Itu sebab pertama. Kedua,
lelaki ini pendek, jelek, tua, dan nafasnya bau walang sangit. Mira Marcela
pernah bertemu dengannya satu kali, yakni saat ia datang ke studio rekaman
untuk menawarkan demo.
Sebab lain, dan ini yang paling penting, walau kerap
kali bergoyang kelewat batas saat memanggungkan dangdut, Mira Marcela sama
sekali belum punya pengalaman ranjang. Ajakan-ajakan yang datang bertubi,
selalu bisa ditolaknya dengan berbagai macam siasat. Prinsipnya satu: lihat
boleh, pegang jangan.
Pendek kata, Mira Marcela sudah bersiap untuk semua
kemungkinan. Tapi kejadian berikutnya justru sama sekali tidak pernah ia
bayangkan. Rekor Mira Marcela tak jadi pecah. Lelaki sontoloyo itu ternyata
hanya bermodalkan semangat. Ia keburu menggelupur bahkan sebelum Mira
melepaskan seluruh kancing bajunya.
Namun kejutan terbesar bukan terletak pada kekonyolan
adegan ranjang yang batal, melainkan peristiwa lain yang menguntit di
belakangnya. Selang beberapa detik usai lelaki itu menaikkan celananya dengan
lagak malu-malu, pintu kamar hotel didobrak. Dua lelaki tegap meringsek,
diikuti seorang perempuan yang dari mulutnya tumpah sumpah serapah. Tak
berhenti sampai di sana, perempuan yang belakangan diketahui Mira Marcela
sebagai isteri lelaki itu tiba-tiba telah menggenggam gunting. Maksud hati
menusuk Mira Marcela, ia malah menikam suaminya. Lelaki payah itu tersungkur, menceracau
beberapa baris kalimat tak jelas, lalu mati.
Polisi menetapkan perempuan itu sebagai tersangka,
namun Mira Marcela tetap terbawa-bawa. Tuduhannya adalah pasal perzinaan. Meski
kemudian tidak terbukti, tuduhan ini membuatnya harus bolak-balik ke kantor
polisi dan itu membuat psikologisnya yang sudah terguncang jadi makin
berantakan. Apalagi kemudian ternyata hal ini berimbas pula pada tawaran naik
panggung. Entah bagaimana, Mira kemudian mendengarkan anjuran seorang penyanyi
dangdut lain untuk minta petunjuk dari seorang dukun.
Sampai di sini aku ingin menyela sebentar. Sekiranya
suatu hari nanti kau mengalami kejadian seperti ini, janganlah sesekali
mengikuti apa yang dilakukan Mira Marcela. Dalam kebingungan yang membekap
pikiranmu, kau akan menuruti tiap kata dukun tersebut. Sengawur apapun, kau
akan menganggapnya sebagai kebenaran. Celaka untukmu tinggal berjarak seujung
kuku. Uangmu, bahkan tubuhmu, bisa kau serahkan bulat-bulat kepadanya. Dalam
hal Mira Marcela, ia menyerahkan keduanya dan baru sadar telah melakukan
kesalahan besar tatkala panggung yang ia damba justru diperoleh pedangdut lain.
Padahal ia merasa kelas pedangdut itu jauh di bawahnya. Padahal panggung itu
sendiri cuma panggung kelas kampung.
Maka begitulah, setelah mengurung diri selama tiga
hari tiga malam, Mira Marcela pergi ke persimpangan jalan paling ramai di kota
ini, lalu duduk di trotoar yang berjarak kurang lebih dua meter dari halte bus.
Tempat ini sebenarnya merupakan lapak milik Tok Awang, seorang penjual rokok.
Mula-mula Tok Awang berupaya mendapatkan kembali lapaknya. Mula-mula lewat
bujukan-bujukan. Upayanya mentah dan ia mulai geram. Ia mulai berteriak
menghardik dan memaki di telinga Mira Marcela, bahkan kemudian tega menyiramkan
air comberan. Para pedagang lain juga sudah serba senewen. Meski tak pernah
membuka mata apalagi bercakap, keberadaan Mira Marcela di sana sangat
mengganggu kelangsungan usaha mereka. Orang-orang berdatangan, wartawan
berdatangan, dan keramaian ini selalu menyeret satu truk petugas Satpol PP
hingga mau tak mau mereka harus menyingkir. Mereka menyarankan Tok Awang
mendorong Mira Marcela ke parit. "Mudah-mudahan ia terjaga dan pergi dari
sini," kata mereka.
Saran ini nyaris dilakukan Tok Awang. Tapi beberapa
detik sebelum kakinya mendarat di dada Mira Marcela, mendadak ia melentingkan
tubuh. Ia jatuh berguling-guling. Saat ditanya pedagang-pedagang lain, Tok
Awang bilang bahwa ada yang berbisik di telinganya.
"Biarkan dia. Jangan ganggu. Kau bisa bergeser
satu meter ke kanan. Dia sedang menjalankan satu perintah," kata Tok Awang
menirukan suara itu.
Tok Awang mengkerut dicekam takut. Tapi para pedagang
lain yang tak merasakan sendiri betapa suara itu memang mampu menghadirkan
gidik, belum menyerah. Mereka berencana menghubungi dukun. Namun setelah
kesaksian pedangdut yang menyarankan Mira Marcela pergi ke dukun untuk
memperbaiki peruntungan ramai-ramai ditayangkan program infotainment, mereka
mengurungkan niat ini, lalu beralih ke orang-orang alim. Mendadak mereka jatuh
kasihan. Niat mencelakai seketika berubah jadi keinginan menolong.
Niat ini tak pernah kesampaian. Padahal mereka sudah
datang pagi-pagi sekali. Tapi Mira Marcela tidak ada. Tidak seorangpun tahu ke
mana perginya. Bahkan tak ada yang tahu sejak kapan ia sudah tak lagi berada di
sana. Mira Marcela moksa. ***
Medan, April 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar