Sabtu, 08 Juni 2013

Perempuan yang Bertapa di Simpang Jalan


Cerpen: T Agus Khaidir



P
ERTAMA-tama aku ingin bilang padamu bahwa sesungguhnya aku tidak begitu yakin apakah perempuan itu sedang bertapa. Ini asumsiku saja, berdasarkan pengetahuan dari lembaran-lembaran komik silat karangan Ganesh TH. Seperti Badra Mandrawata, perempuan itu juga duduk bersila dengan mata terpejam dan tangan bersidekap di dada.
Sebelum cerita ini berlanjut, aku ingin kita lebih dahulu bersepakat. Meski pun ia tidak buta dan tidak pula melakukannya di dalam goa berhantu, aku harap kau tidak mendebat asumsiku, terlebih dengan membawa-bawa segala teori logika, eksistensialiasi, apalagi agama, yang sungguh mati nantinya tiada akan berguna kecuali untuk membuat kepala kita jadi berdenyut-denyut. Perdebatan seperti ini memang menarik tapi kupikir bukan di sini tempatnya.
Baiklah, ya. Sepakat tak sepakat, kunggap saja demikian. Sekarang, aku ingin mengenalkanmu pada perempuan itu. Seperti sebagian besar orang-orang di kampung kami, pada suatu masa aku pernah menyebut namanya dengan sangat akrab: Mira Marcela. Tentu saja ini bukan nama pemberian orang tuanya. Sebagai anak kedua, Mira Marcela ditabalkan sebagai Anamira Isnaini Khadijah. Ayahnya ingin ia jadi guru, sedangkan sang ibu bermimpi puterinya mengekor jejak Nur Asiah Jamil, qariah internasional yang kaset-kasetnya ia koleksi sampai hampir penuh satu lemari.
Bagaimana Anamira Isnaini Khadijah bertransformasi jadi Mira Marcela, lantaran melibatkan seorang tengkulak, seorang bandot tua yang mencari isteri kelima untuk dinikahi secara siri, serta seorang banci berperut buncit pemilik satu orkes dangdut, hingga akan jadi paparan yang sangat panjang, kupikir lebih baik jika kuceritakan padamu lain waktu. Kali ini aku akan fokus ke Mira Marcela saja. Utamanya pascakegagalannya di panggung dangdut dan saat-saat sebelum ia secara mendadak bertapa di persimpangan jalan.
Lahir dan tumbuh besar di rumahnya yang terletak di ujung kampung, Mira pernah menjalani berbagai profesi. Ia pernah jadi tukang pecal, sales obat kuat, sampai tukang bersih-bersih di sebuah mal kelas tiga yang hidup segan mati tak mau di ibukota kabupaten. Maklum, pendidikannya memang hanya sampai SMA. Sebenarnya ia berencana melanjutkan ke perguruan tinggi. Ia bahkan telah ikut ujian masuk sampai tiga kali namun nasib berkata lain. Satu-satunya pekerjaan agak elite yang ia peroleh adalah menjadi bagian tata usaha di satu SD swasta milik yayasan keluarga perantau Minang yang sebelumnya gagal dalam merintis usaha rumah makan.
Tapi begitulah, tiap warga kampung kami memang hanya akan mengenangnya sebagai penyanyi dangdut. Aku masih ingat betul bagaimana kami membicarakannya selama berhari-hari usai ia tampil bersama Inul Daratista dan Uut Permatasari di pentas dangdutan yang disiarkan langsung salah satu stasiun televisi. Sejak itu, ia jadi semacam legenda kecil di kampung kami. Sebagian dari kami bahkan meyakini ia akan lebih populer dari Inul atau Uut, sebab selain lekuk tubuh dan goyangan yang aduhai, suaranya juga merdu mendayu.
Angin cepat berubah arah. Seperti kawan lama yang iseng, celaka demi celaka, rentetan kesialan, datang mendera Mira Marcela dengan selera humor tinggi. Mula-mula ayahnya, Haji Zainuddin. Tanpa didahului sakit atau tanda-tanda istimewa, Haji Zainuddin meninggal dunia sepulang dari masjid usai mendirikan Salat Subuh berjamaah. Kejadiannya setahun lalu. Tepatnya 24 April 2012. Haji Zainuddin terjerembab ke aspal dengan kepala lebih dahulu menghantam trotoar akibat diserempet keponakannya sendiri. Keponakan itu melesatkan motor sekencang-kencangnya lantaran kesal setelah uang 500 ribu yang ia pertaruhkan untuk Barcelona di semifinal Liga Champions pindah ke kantong bandar. Padahal tadinya ia begitu yakin Barcelona dapat menggulung Chelsea, hingga nekat meminjam uang pada Haji Zainuddin dengan alasan untuk membayar biaya perpisahan sekolah.
Mira Marcela pun yatim piatu. Sang Ibu sudah lebih dahulu pergi saat ia masih belum becus menyeka ingus. Bertahan lima tahun menduda, Haji Zainuddin menikah lagi dengan janda beranak satu dari kampung sebelah. Seminggu setelah Haji Zainuddin meninggal, ibu tiri itu meninggalkan rumah dengan membawa warisan bagiannya, yaitu satu mobil Toyota Corolla DX Saloon 1972 warna coklat susu, satu sepeda motor Suzuki Tornado yang BPKB-nya sudah mati 15 tahun, serta dua kotak perhiasan emas yang beberapa di antaranya ternyata keliru diidentifikasi karena sesungguhnya merupakan milik almarhumah ibu kandung Mira Marcela.
Kekeliruan inilah yang kemudian memicu sengketa. Rahmat Yanis, satu-satunya saudara kandung Mira Marcela, menuntut perhiasan-perhiasan milik ibu mereka dikembalikan. Ibu tiri menolak hingga terjadilah perselisihan yang berujung pada bentrok fisik. Rahmat Yanis menikam ibu tiri dan Suharkarno, anak bawaan ibu tiri, sampai mati. Ia ditangkap polisi dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup atas dakwaan pembunuhan berencana.
Walau sangat terpukul, sampai saat itu Mira Marcela masih bisa bertahan. Paling tidak, ia masih punya bayangan masa depan sebagai penyanyi dangdut. Duet bersama Inul dan Uut Permatasari diyakininya sebagai jalan untuk melangkah ke jenjang lebih tinggi. Mira berharap duet-duet itu jadi bahan pertimbangan para produser untuk membawanya ke dapur rekaman.
Sayangnya, Mira Marcela kelewat lugu. Ia tak paham betapa zaman pedangdut macam Ellya Kadam, Elvi Sukaesih, atau Rita Sugiarto sudah lama berlalu. Iis Dahlia, Evie Tamala, Ikke Nurjannah, dan Erry Susan telah jadi diva. Inul dan rangkaian gerbongnya, beruntung masuk kelompok elite akibat kontroversi pernyataan dan sikap Raden Haji Oma Irama. Tapi pascakesuksesan gerbong Inul, aturan main berubah drastis. Mungkin aku berlebihan. Sebab sebenarnya aturan main ini sudah berlangsung sejak lama. Bedanya adalah, sekarang dilakukan dengan lebih terang-terangan. Iya, suara merdu mendayu saja tak cukup. Bentuk tubuh dan goyang aduhai di atas panggung saja tak cukup. Meski ada kompensasi lebih.
Mira Marcela sempat menolak kecenderungan ini. Ia bersikeras mencari celah-celah lain. Tapi gagal. Tanpa memberikan kompensasi itu, ia paling banter hanya akan sampai di panggung-panggung (yang semakin lama semakin bergeser ke daerah pinggiran), bukan dapur rekaman.
Maka pada suatu malam, di tengah kegamangan di satu sisi dan keinginannya untuk memiliki album yang kian menggebu tak tertahankan di sisi lain, di satu kamar hotel berbintang di ibu kota provinsi, Mira Marcela memberikan kompensasi itu pada seorang produser. Atas peristiwa bersejarah ini, ia mempersiapkan diri dengan sangat matang. Terutama mental dan psikologis. Betapapun lelaki ini sama sekali tidak ia kenal. Itu sebab pertama. Kedua, lelaki ini pendek, jelek, tua, dan nafasnya bau walang sangit. Mira Marcela pernah bertemu dengannya satu kali, yakni saat ia datang ke studio rekaman untuk menawarkan demo.
Sebab lain, dan ini yang paling penting, walau kerap kali bergoyang kelewat batas saat memanggungkan dangdut, Mira Marcela sama sekali belum punya pengalaman ranjang. Ajakan-ajakan yang datang bertubi, selalu bisa ditolaknya dengan berbagai macam siasat. Prinsipnya satu: lihat boleh, pegang jangan.
Pendek kata, Mira Marcela sudah bersiap untuk semua kemungkinan. Tapi kejadian berikutnya justru sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Rekor Mira Marcela tak jadi pecah. Lelaki sontoloyo itu ternyata hanya bermodalkan semangat. Ia keburu menggelupur bahkan sebelum Mira melepaskan seluruh kancing bajunya.
Namun kejutan terbesar bukan terletak pada kekonyolan adegan ranjang yang batal, melainkan peristiwa lain yang menguntit di belakangnya. Selang beberapa detik usai lelaki itu menaikkan celananya dengan lagak malu-malu, pintu kamar hotel didobrak. Dua lelaki tegap meringsek, diikuti seorang perempuan yang dari mulutnya tumpah sumpah serapah. Tak berhenti sampai di sana, perempuan yang belakangan diketahui Mira Marcela sebagai isteri lelaki itu tiba-tiba telah menggenggam gunting. Maksud hati menusuk Mira Marcela, ia malah menikam suaminya. Lelaki payah itu tersungkur, menceracau beberapa baris kalimat tak jelas, lalu mati.
Polisi menetapkan perempuan itu sebagai tersangka, namun Mira Marcela tetap terbawa-bawa. Tuduhannya adalah pasal perzinaan. Meski kemudian tidak terbukti, tuduhan ini membuatnya harus bolak-balik ke kantor polisi dan itu membuat psikologisnya yang sudah terguncang jadi makin berantakan. Apalagi kemudian ternyata hal ini berimbas pula pada tawaran naik panggung. Entah bagaimana, Mira kemudian mendengarkan anjuran seorang penyanyi dangdut lain untuk minta petunjuk dari seorang dukun.
Sampai di sini aku ingin menyela sebentar. Sekiranya suatu hari nanti kau mengalami kejadian seperti ini, janganlah sesekali mengikuti apa yang dilakukan Mira Marcela. Dalam kebingungan yang membekap pikiranmu, kau akan menuruti tiap kata dukun tersebut. Sengawur apapun, kau akan menganggapnya sebagai kebenaran. Celaka untukmu tinggal berjarak seujung kuku. Uangmu, bahkan tubuhmu, bisa kau serahkan bulat-bulat kepadanya. Dalam hal Mira Marcela, ia menyerahkan keduanya dan baru sadar telah melakukan kesalahan besar tatkala panggung yang ia damba justru diperoleh pedangdut lain. Padahal ia merasa kelas pedangdut itu jauh di bawahnya. Padahal panggung itu sendiri cuma panggung kelas kampung.
Maka begitulah, setelah mengurung diri selama tiga hari tiga malam, Mira Marcela pergi ke persimpangan jalan paling ramai di kota ini, lalu duduk di trotoar yang berjarak kurang lebih dua meter dari halte bus. Tempat ini sebenarnya merupakan lapak milik Tok Awang, seorang penjual rokok. Mula-mula Tok Awang berupaya mendapatkan kembali lapaknya. Mula-mula lewat bujukan-bujukan. Upayanya mentah dan ia mulai geram. Ia mulai berteriak menghardik dan memaki di telinga Mira Marcela, bahkan kemudian tega menyiramkan air comberan. Para pedagang lain juga sudah serba senewen. Meski tak pernah membuka mata apalagi bercakap, keberadaan Mira Marcela di sana sangat mengganggu kelangsungan usaha mereka. Orang-orang berdatangan, wartawan berdatangan, dan keramaian ini selalu menyeret satu truk petugas Satpol PP hingga mau tak mau mereka harus menyingkir. Mereka menyarankan Tok Awang mendorong Mira Marcela ke parit. "Mudah-mudahan ia terjaga dan pergi dari sini," kata mereka.
Saran ini nyaris dilakukan Tok Awang. Tapi beberapa detik sebelum kakinya mendarat di dada Mira Marcela, mendadak ia melentingkan tubuh. Ia jatuh berguling-guling. Saat ditanya pedagang-pedagang lain, Tok Awang bilang bahwa ada yang berbisik di telinganya.
"Biarkan dia. Jangan ganggu. Kau bisa bergeser satu meter ke kanan. Dia sedang menjalankan satu perintah," kata Tok Awang menirukan suara itu.
Tok Awang mengkerut dicekam takut. Tapi para pedagang lain yang tak merasakan sendiri betapa suara itu memang mampu menghadirkan gidik, belum menyerah. Mereka berencana menghubungi dukun. Namun setelah kesaksian pedangdut yang menyarankan Mira Marcela pergi ke dukun untuk memperbaiki peruntungan ramai-ramai ditayangkan program infotainment, mereka mengurungkan niat ini, lalu beralih ke orang-orang alim. Mendadak mereka jatuh kasihan. Niat mencelakai seketika berubah jadi keinginan menolong.
Niat ini tak pernah kesampaian. Padahal mereka sudah datang pagi-pagi sekali. Tapi Mira Marcela tidak ada. Tidak seorangpun tahu ke mana perginya. Bahkan tak ada yang tahu sejak kapan ia sudah tak lagi berada di sana. Mira Marcela moksa. ***

Medan, April 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar