Sabtu, 15 Juni 2013

Akhir Dari Kesetiaan


Cerpen : Tuntun Siallagan


R
ini tinggal di kampung bukan berarti tidak memiliki mimpi. Bukan berarti tidak berkeinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Bukan berarti tidak mempunyai masa depan yang cerah seperti beberapa sarjana lulusan universitas ternama. Tapi, jalan yang dipilih wanita itu merupakan jalan yang lebih dari segalanya. Ia hanya ingin mewujudkan mimpi adik-adik dan ibunya dengan cara berjalan berbalik arah dengan mimpi yang pernah ingin ia wujudkan.
Kemiskinan yang melilit keluarga, membuat ia peka terhadap kehidupan, membuat ia dekat kepada Sang Pencipta. Dan selalu bersyukur bahwa apa yang telah terjadi adalah rencanaNya. Tidak ada kata ‘kebetulan’ dalam benaknya. Meskipun saat ini kesedihan kerap menerpa, ia yakin kelak pasti ada senyum bahagia di ujung airmata.
Saat wanita itu berusia sembilan tahun, ayahnya meninggal dunia. Konon, ayahnya meninggal karena disantet orang kampung itu sendiri. Tidak ada alasan yang pasti. Hanya saja, pernah suatu hari ayahnya memukul seorang lelaki di kedai tuak karena mengatakan ia lelaki bodoh yang mau menikah dengan wanita penyakitan. Sejak itulah ayahnya mulai sakit-sakit dan meninggal dunia tiga bulan kemudian.
Di kampung itu, hal yang berbaur mistik masih tergolong lumrah. Meskipun sudah masuk Agama beberapa puluh tahun yang lalu, namun tak sepenuhnya penduduk kampung meyakininya. Buktinya, masih kerap kita temukan beberapa orang bertapa di kaki Gunung Kembar yang memagar kapung sebelah barat. Maka ketika salah seorang dukun di kampung itu mengatakan ayah mereka meninggal karena santet, mereka hanya bisa berpasrah seraya memantapkan iman, sebab mereka yakin hanya imanlah yang mampu mengalahkan segala kejahatan.
Kepergian ayahnya membuat wanita itu harus gesit mengerjakan pekerjaan rumah. Membantu ibunya yang megidap penyakit asma selama bertahun-tahun— di ladang setiap pulang sekolah. Adiknya Torsa dan Tompa masih berusia tiga dan lima tahun, tentu belum bisa membantu kaka dan ibunya. Mereka masih berprilaku semaunya saja. Di sekolah, wanita itu memang tergolong siswi yang pintar. Dari SD hinggal SMP ia selalu mendapat rangking lima besar. Oleh sebab itu, ia pernah mengungkapkan keinginan kepada ibunya. Ketika ia duduk di bangku kelas 6 SD.
“Ibu, cita-citaku kelak ingin menjadi seorang guru.”
Ibunya tersenyum, “Mengapa ingin menjadi guru, Nak?”
“Iya, aku ingin memberantas kebodohan yang merajalela.”
Ibunya tertawa seraya mendekap putri sulungnya. Ia bahagia menyaksikan putrinya yang masih usia belia, tapi imajinasinya sudah merayap entah ke mana. Namun senyuman itu hanyalah sementara dan akan segera redup pada kesunyian. Bagaimana aku bisa mewujudkan mimpi anak-anaku, sementara aku sakit-sakit dan suamiku telah tiada? Tuhan, seberat inikah ujianMu? Tanya ibunya dalam hati seraya sesunggukan.
***
Hari berlalu tanpa meninggalkan senyuman. Rini mengetahui cita-citanya harus berakhir di hari terakhir Ujian Akhir Nasional. Awalnya ia merasa bahagia dalam perjalanan menuju kediamannya, karena baginya tidak begitu sulit menjawab soal-soal dalam ujian selama tiga hari. Tapi alangkah terkejutnya ia mendengar perkataan ibu setibanya di rumah. Yah, seusai Ujian Akhir Nasional.
“Nak, ibu tahu kamu rajin belajar dan memiliki cita-cita menjadi seorang guru, tapi kalau kamu melanjut ke SMA dari mana uang kita?” Sejenak ibunya terdiam, “Sementara adikmu si Torsa sudah duduk di bangku SMP dan Tompa sebentar lagi menyusul,” tambahnya lagi seraya berusaha tegar.
“Aku tahu, Bu. Jadi aku tidak sekolah lagi?” tanyanya meneteskan airmata.
“Kamu membantu ibu saja ya, Sayang? Adik-adikmu saja kita sekolahkan.” Ibunya akhirnya menangis juga.
“Iya, Bu,” jawab Rini seraya melepas tas dan sepatunya. Ia berlari kecil ke kamar yang kusam menumpahkan segala kesedihan.
“Tuhan, terimakasih atas airmata ini.” serunya dalam doa sebelum ia terlelap hingga senja menyeruak.
***
Usiaku kini hampir mencapai kepala tiga. Namum tak juga menikah. Aku benci kepada ayah dan ibu yang selalu menyuruhku menikah. Sebenarnya aku bukan tidak mau menikah. Tetapi kriteria wanita yang layak menjadi istriku sungguh banyak variasinya. Dan itu tidak boleh ditawar-tawar lagi. Suatu hari, ketika aku pulang ke kampung, Ayah dan ibu berdebat denganku satu malam penuh.
“Kau sudah lulus sarjana dan sudah bekerja. Menikahlah kau, Rendi?”
“Iya, Bu. Tapi kekasihku saat ini, orang miskin dan tidak memiliki pekerjaan. Apa Ayah dan Ibu mau menerimanya?”
“Bodoh kali kau! Percuma sudah disekolahkan. Masa wanita sepadan denganmu pun tak bisa kau cari?” Kali ini ayah yang angkat bicara.
“Kalau begitunya, tak usahlah kau menikah. Bikin malu orangtua saja kau!” tambah ibu membuatku semakin terluka.
Ayah dan ibu tidak pernah sama sekali bisa menerima pilihan hidupku. Mereka selalu membuat aturan-aturan yang terlalu tinggi. Dan aku tidak pernah bisa melepaskan diri dari aturan-aturan tersebut. Padahal, aturan-aturan yang mereka racik sedemikianrupa, hanyalah sebatas kehidupan duniawi. Sungguh miris memang. Oleh sebab itu, aku tidak pernah menyesal berlama-lama untuk menikah. Orang kampung banyak yang mencercaku karna tak juga menikah. Wajar saja, karena mereka tidak pernah tahu apa yang kurasakan. Sekali lagi kukatakan, aku tidak pernah menyesal. Meskipun ke dua orangtuaku telah meninggal dan tidak bisa lagi menyaksikan pernikahanku. Yang pasti, saat ini aku sudah terlepas dari aturan-aturan yang mereka buat.
***
Aku mengenal Rini sejak kecil. Rumah kami tidak begitu jauh. Kampung yang sunyi itu pernah menyaksikan bagaimana perasaan cintaku terhadap wanita itu. Sebelum melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA, aku pernah mengirim surat kepadanya. Mengungkapkan perasaan cinta yang menggelantungi pikiranku sejak kami duduk di bangku SMP.
Perasaan bahagia ketika mendapat balasan dari Rini—ketika menerima cintaku 15 tahun yang lalu, masih bisa kurasakan hingga detik ini. Dan surat itu masih kusimpan rapi dalam lemari kecilku. Sedikit menyedihkan memang. Dalam surat itu, ia mengatakan bahwa ia juga begitu mencintaku. Namun ia yakin, cinta yang kurasakan tidak akan bertahan lama. Sebab ia tidak akan pernah bisa mewujudkan cita-cita yang pernah  kami ceritakan bersama. Wanita itu juga mengatakan bahwa ia tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Ia harus membantu ibunya yang sudah sakit-sakit. Ia harus menjadi punggung keluarga dan jikalau ada rejeki, menyekolahkan ke dua adiknya setinggi-tingginya.
Hari ini aku putuskan pulang. Aku sudah bertekat untuk menikahi Rini. Terakhir kami bertemu dua tahun yang lalu. Aku melihatnya di selah orang-orang sekampung yang turut menghantar jenajah ibu ke pemakaman. Kuyakin inilah waktunya untuk menikah. Waktu yang tepat untuk mewujudkan kesetiaan cinta yang telah kurawat selama ini. Meskipun dianggap orang lain aku sebagai anak durhaka—anak yang tidak mampu membahagiakan orangtua. Sudahlah. Toh, aku yang menjalani semua ini. Dan semoga saja Tuhan mau memaafkanku.
Lepas senja, aku tiba di kampung. Tidak ada yang berubah. Kulihat rumah peninggalan orangtuaku sedikit kusam. Kunyalakan lampu dan berlari kecil ke kamar mandi. Usai memercikkan beberapa gayung ke wajah, sejenak aku duduk di kursi ruang tamu. Aku menata hati yang berkecamuk oleh ingatan-ingatan lampau. Kunyalakan sebatang rokok. Setelah habis, aku mencoba bergegas menemui Rini ke rumahnya. Tapi, ternyata semua taklah seperti yang kuharapkan. Aku terkejut sebelum tiba di rumah wanita itu. Dari ke jauhan airmata menghentikan langkaku. Samar-sama, aku melihat Rini tengah menyusui bayi—yang barangkali lahir beberapa bulan yang lalu. ***


Medan, Desember 2011




Tuntun Siallagan, lahir pada  Rabu malam, 26 Desember 1990 di Huta Silobosar, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Karyanya kerap dimuat di Harian Batak Pos, Sumut Pos, dan MedanBisnis. Sekarang tinggal di kota Medan sembari bergiat di Komunitas Sastra Indonesia (KSI-Medan).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar