Cerpen : Tuntun Siallagan
R
|
ini
tinggal di kampung bukan berarti tidak memiliki mimpi. Bukan berarti tidak
berkeinginan melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA. Bukan berarti tidak
mempunyai masa depan yang cerah seperti beberapa sarjana lulusan universitas
ternama. Tapi, jalan yang dipilih wanita itu merupakan jalan yang lebih dari
segalanya. Ia hanya ingin mewujudkan mimpi adik-adik dan ibunya dengan cara berjalan
berbalik arah dengan mimpi yang pernah ingin ia wujudkan.
Kemiskinan yang melilit keluarga,
membuat ia peka terhadap kehidupan, membuat ia dekat kepada Sang Pencipta. Dan
selalu bersyukur bahwa apa yang telah terjadi adalah rencanaNya. Tidak ada kata
‘kebetulan’ dalam benaknya. Meskipun saat ini kesedihan kerap menerpa, ia yakin
kelak pasti ada senyum bahagia di ujung airmata.
Saat wanita itu berusia sembilan tahun,
ayahnya meninggal dunia. Konon, ayahnya meninggal karena disantet orang kampung
itu sendiri. Tidak ada alasan yang pasti. Hanya saja, pernah suatu hari ayahnya
memukul seorang lelaki di kedai tuak karena mengatakan ia lelaki bodoh yang mau
menikah dengan wanita penyakitan. Sejak itulah ayahnya mulai sakit-sakit dan
meninggal dunia tiga bulan kemudian.
Di kampung itu, hal yang berbaur mistik
masih tergolong lumrah. Meskipun sudah masuk Agama beberapa puluh tahun yang
lalu, namun tak sepenuhnya penduduk kampung meyakininya. Buktinya, masih kerap
kita temukan beberapa orang bertapa di kaki Gunung Kembar yang memagar kapung
sebelah barat. Maka ketika salah seorang dukun di kampung itu mengatakan ayah
mereka meninggal karena santet, mereka hanya bisa berpasrah seraya memantapkan
iman, sebab mereka yakin hanya imanlah yang mampu mengalahkan segala kejahatan.
Kepergian ayahnya membuat wanita itu
harus gesit mengerjakan pekerjaan rumah. Membantu ibunya yang megidap penyakit
asma selama bertahun-tahun— di ladang setiap pulang sekolah. Adiknya Torsa dan
Tompa masih berusia tiga dan lima tahun, tentu belum bisa membantu kaka dan
ibunya. Mereka masih berprilaku semaunya saja. Di sekolah, wanita itu memang tergolong
siswi yang pintar. Dari SD hinggal SMP ia selalu mendapat rangking lima besar.
Oleh sebab itu, ia pernah mengungkapkan keinginan kepada ibunya. Ketika ia
duduk di bangku kelas 6 SD.
“Ibu, cita-citaku kelak ingin menjadi
seorang guru.”
Ibunya tersenyum, “Mengapa ingin menjadi
guru, Nak?”
“Iya, aku ingin memberantas kebodohan
yang merajalela.”
Ibunya tertawa seraya mendekap putri
sulungnya. Ia bahagia menyaksikan putrinya yang masih usia belia, tapi
imajinasinya sudah merayap entah ke mana. Namun senyuman itu hanyalah sementara
dan akan segera redup pada kesunyian. Bagaimana aku bisa mewujudkan mimpi
anak-anaku, sementara aku sakit-sakit dan suamiku telah tiada? Tuhan, seberat
inikah ujianMu? Tanya ibunya dalam hati seraya sesunggukan.
***
Hari berlalu tanpa meninggalkan
senyuman. Rini mengetahui cita-citanya harus berakhir di hari terakhir Ujian
Akhir Nasional. Awalnya ia merasa bahagia dalam perjalanan menuju kediamannya,
karena baginya tidak begitu sulit menjawab soal-soal dalam ujian selama tiga
hari. Tapi alangkah terkejutnya ia mendengar perkataan ibu setibanya di rumah.
Yah, seusai Ujian Akhir Nasional.
“Nak, ibu tahu kamu rajin belajar dan
memiliki cita-cita menjadi seorang guru, tapi kalau kamu melanjut ke SMA dari
mana uang kita?” Sejenak ibunya terdiam, “Sementara adikmu si Torsa sudah duduk
di bangku SMP dan Tompa sebentar lagi menyusul,” tambahnya lagi seraya berusaha
tegar.
“Aku tahu, Bu. Jadi aku tidak sekolah
lagi?” tanyanya meneteskan airmata.
“Kamu membantu ibu saja ya, Sayang?
Adik-adikmu saja kita sekolahkan.” Ibunya akhirnya menangis juga.
“Iya, Bu,” jawab Rini seraya melepas tas
dan sepatunya. Ia berlari kecil ke kamar yang kusam menumpahkan segala
kesedihan.
“Tuhan, terimakasih atas airmata ini.”
serunya dalam doa sebelum ia terlelap hingga senja menyeruak.
***
Usiaku kini hampir mencapai kepala tiga.
Namum tak juga menikah. Aku benci kepada ayah dan ibu yang selalu menyuruhku
menikah. Sebenarnya aku bukan tidak mau menikah. Tetapi kriteria wanita yang
layak menjadi istriku sungguh banyak variasinya. Dan itu tidak boleh ditawar-tawar
lagi. Suatu hari, ketika aku pulang ke kampung, Ayah dan ibu berdebat denganku
satu malam penuh.
“Kau sudah lulus sarjana dan sudah
bekerja. Menikahlah kau, Rendi?”
“Iya, Bu. Tapi kekasihku saat ini, orang
miskin dan tidak memiliki pekerjaan. Apa Ayah dan Ibu mau menerimanya?”
“Bodoh kali kau! Percuma sudah disekolahkan.
Masa wanita sepadan denganmu pun tak bisa kau cari?” Kali ini ayah yang angkat bicara.
“Kalau begitunya, tak usahlah kau
menikah. Bikin malu orangtua saja kau!” tambah ibu membuatku semakin terluka.
Ayah dan ibu tidak pernah sama sekali bisa
menerima pilihan hidupku. Mereka selalu membuat aturan-aturan yang terlalu
tinggi. Dan aku tidak pernah bisa melepaskan diri dari aturan-aturan tersebut.
Padahal, aturan-aturan yang mereka racik sedemikianrupa, hanyalah sebatas
kehidupan duniawi. Sungguh miris memang. Oleh sebab itu, aku tidak pernah
menyesal berlama-lama untuk menikah. Orang kampung banyak yang mencercaku karna
tak juga menikah. Wajar saja, karena mereka tidak pernah tahu apa yang
kurasakan. Sekali lagi kukatakan, aku tidak pernah menyesal. Meskipun ke dua
orangtuaku telah meninggal dan tidak bisa lagi menyaksikan pernikahanku. Yang
pasti, saat ini aku sudah terlepas dari aturan-aturan yang mereka buat.
***
Aku mengenal Rini sejak kecil. Rumah
kami tidak begitu jauh. Kampung yang sunyi itu pernah menyaksikan bagaimana
perasaan cintaku terhadap wanita itu. Sebelum melanjutkan pendidikan ke jenjang
SMA, aku pernah mengirim surat kepadanya. Mengungkapkan perasaan cinta yang
menggelantungi pikiranku sejak kami duduk di bangku SMP.
Perasaan bahagia ketika mendapat balasan
dari Rini—ketika menerima cintaku 15 tahun yang lalu, masih bisa kurasakan
hingga detik ini. Dan surat itu masih kusimpan rapi dalam lemari kecilku.
Sedikit menyedihkan memang. Dalam surat itu, ia mengatakan bahwa ia juga begitu
mencintaku. Namun ia yakin, cinta yang kurasakan tidak akan bertahan lama. Sebab
ia tidak akan pernah bisa mewujudkan cita-cita yang pernah kami ceritakan bersama. Wanita itu juga mengatakan
bahwa ia tidak bisa melanjutkan sekolahnya. Ia harus membantu ibunya yang sudah
sakit-sakit. Ia harus menjadi punggung keluarga dan jikalau ada rejeki,
menyekolahkan ke dua adiknya setinggi-tingginya.
Hari ini aku putuskan pulang. Aku sudah
bertekat untuk menikahi Rini. Terakhir kami bertemu dua tahun yang lalu. Aku
melihatnya di selah orang-orang sekampung yang turut menghantar jenajah ibu ke
pemakaman. Kuyakin inilah waktunya untuk menikah. Waktu yang tepat untuk
mewujudkan kesetiaan cinta yang telah kurawat selama ini. Meskipun dianggap
orang lain aku sebagai anak durhaka—anak yang tidak mampu membahagiakan orangtua.
Sudahlah. Toh, aku yang menjalani semua ini. Dan semoga saja Tuhan mau
memaafkanku.
Lepas senja, aku tiba di kampung. Tidak
ada yang berubah. Kulihat rumah peninggalan orangtuaku sedikit kusam.
Kunyalakan lampu dan berlari kecil ke kamar mandi. Usai memercikkan beberapa
gayung ke wajah, sejenak aku duduk di kursi ruang tamu. Aku menata hati yang
berkecamuk oleh ingatan-ingatan lampau. Kunyalakan sebatang rokok. Setelah
habis, aku mencoba bergegas menemui Rini ke rumahnya. Tapi, ternyata semua
taklah seperti yang kuharapkan. Aku terkejut sebelum tiba di rumah wanita itu.
Dari ke jauhan airmata menghentikan langkaku. Samar-sama, aku melihat Rini
tengah menyusui bayi—yang barangkali lahir beberapa bulan yang lalu. ***
Medan,
Desember 2011
Tuntun
Siallagan, lahir pada Rabu malam, 26 Desember 1990 di Huta
Silobosar, Kecamatan Hatonduhan, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Karyanya
kerap dimuat di Harian Batak Pos, Sumut Pos, dan MedanBisnis. Sekarang tinggal di kota Medan sembari bergiat di
Komunitas Sastra Indonesia (KSI-Medan).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar