Minggu, 30 Juni 2013

Hilangnya Dialek Bali dalam Pementasan Drama “Bila Malam Bertambah Kelam” Teater Bahtera

Oleh : Putri Utami





S
elasa, 11 Februari di Taman Budaya telah di adakan seminar Kritik Sastra yang diadakan oleh mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia. Acara seminar tersebut dibuka dengan penampilan pergelaran teater yang dimainkan oleh anak-anak Bahtera UMSU. Pertunjukan teater ini mengusung tema “Bila Malam Bertambah Kelam” Karya Putu Wijaya.
Awalnya, saya sangat tertarik dengan peran yang mereka mainkan, karena pertunjukan dengan durasi lebih kurang 30 menit ini pastinya mengangkat budaya Bali dari tata busana maupun dialeknya. Selama waktu tersebut pastinya para pemain akan menyuguhkan kebudayaan yang berbau khas Bali, terutama masalah dialek yang digunakan para pemain.
Rasa penasaran saya mengenai dialek yang digunakan dalam prtunjukkan ini menggelitik saya untuk menyaksikan drama teater ini, apakah para pemain dapat memerankan lakon sesuai karakter yang mereka perankan. Karena dalam drama ini mengangkat nilai budaya Bali, sedangkan Bali sendiri mempunyai ciri khas yang sangat melekat dan dapat dengan mudah diketahui salah satu yang sangat khas yaitu dari dialeknya. Sehingga, sayapun antusias dengan pertunjukan teater yang dipersembahkan oleh komunitas BAHTERA ini.
            Pertunjukkan dimulai dari masuknya lakon Gusti Biang, seorang wanita tua yang mungkin dapat dibilang terlalu angkuh bagi wanita seusianya yang renta. Pertama saya menyaksikan cukup meyakinkan, karena pemeran dari Gusti biang sudah sesuai dengan karakternya.
Namun, dari dialek bahasanya tidak saya temui dialek Bali sedikitpun, malah pemeran Gusti Biang masih terlihat dialek Medannya. Mungkin karena sangat cinta Medan jadi dialek Medannya masih kental terdengar. Ada satu adegan yang diucapkan oleh Gusti Biang yang sempat saya kutip yakni “Aku sudah muak lihat mukak mu !” mungkin untuk masyarakat yang menetap di Medan tidak menjadi masalah dengan bahasa tersebut.
Namun alangkah baiknya bahasa tersebut dapat diganti dengan “Tyang sudah Bosan melihat Ragane !” agar sedikit lebih lembut. Karena, tutur bahasa masyarakat Bali itu “halus” tidak “sekeras” tutur bahasa masyarakat Medan.
Lagian juga, karena teater yang dimainkan mengangkat budaya Bali sebaiknya ada sedikitnya para pemain juga menggunakan bahasa Bali, paling tidak mereka menggunakan “Tyang=aku” dan “Ragane=kamu” jadi para penonton seakan-akan memang sedang menyaksikan pertunjukan dari Bali.
            Lebih jelas terlihat lagi pemeran Wayan, dari pertama kali masuk masuk sampai pertunjukkan selesai yang terlihat malah dialek Bataknya. Masih melekat dialek Batak dalam diri pemeran si Wayan. Namun, terlepas dari dialek Batak, saya juga tertarik dengan karakter tokoh Wayan yang dari penampilannya ia adalah seorang lelaki separuh baya yang bungkuk dan bertelanjang dada.
Saya sempat salut melihat yang memerankan Wayan karena ia sangat Total dalam karakternya, sempat saya berpikir ‘apa tidak capek terus-terusan membungkukkan badannya selama pertunjukkan selesai?’ sehingga ia pun tak pernah luput dari perhatian saya. Mungkin karena terlalu capek sekali dia, ada disuatu adegan terakhir mungkin secara tidak sengaja ia menegakkan badannya. Saya hanya berkata pada teman yang duduk disebelah saya “kecapekan dia ya!” tapi saya tetap salut dengan karakter Wayan terlepas dari masalah dialeknya.
            Hal yang sama juga pada tokoh Ratu Ngurah anak lelaki dari Gusti Biang, masalah dialek yang menjadi perhatian saya. tak ada terdengar di telinga saya dialek Bali yang ia ucapkan, malah terkesan pemeran Ngurah tidak konsisten dalam ucapannya, terkadang ia memanggil Gusti Biang dengan sebutan kadang Ibu, kadang Emak.
Lagi-lagi pertunjukan ini terbentur dengan masalah dialek. Tiga karakter yang masuk ke panggung tak ada satupun yang terlihat dialek Balinya. Ada satu pemain yang memainkan tokoh Nyoman.
Dari keempat pemain hanya pemeran tokoh Nyoman yang menurut saya sesuai karakter yang dimainkan, walaupun suaranya terkadang tidak terdengar sampai ke ujung bangku penonton. Namun  dialek Bali terlihat dalam setiap ucapannya, ditambah lagi dengan tata busana dia yang menggunakan kebaya ala Bali dengan bunga yang terselip di daun telinganya, menambah nilai plus buat pemeran Nyoman.
Secara keseluruhan pertunjukan teater anak-anak BAHTERA ini sudah berhasil menghibur para penikmat Teater. Terlihat dari kekonyolan lakon Wayan yang sesekali mengundang gelak tawa para penonton. Walaupun saya sendiri bingung dengan ending ceritanya.
Sebagai penikmat teater awam, saya berharap dalam setiap penampilan anak-anak BAHTERA dapat konsisten dalam memerankan setiap lakon, jika cerita yang dimainkan mengangkat kebudayaan masyarakat Bali, seharusnya tampakkanlah ciri khas dari masyarakat Bali.
Jika mengangkat Kebudayaan Batak, seharusnya tampakkanlah ciri khas dari masyarakat Batak tersebut. Sehingga penonton semakin betah lama-lama menyaksikannya, karena walaupun hanya sebatas dialek, tapi itu perlu dalam sebuah pementasan apalagi yang mengangkat tema mengenai suatu kebudayaan. ***



Penulis adalah mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra Indoneia FKIP UMSU Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar