Oleh : Putri Utami
S
|
elasa,
11 Februari di Taman Budaya telah di adakan seminar Kritik Sastra yang diadakan
oleh mahasiswa FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia. Acara seminar tersebut dibuka
dengan penampilan pergelaran teater yang dimainkan oleh anak-anak Bahtera UMSU.
Pertunjukan teater ini mengusung tema “Bila Malam Bertambah Kelam” Karya Putu
Wijaya.
Awalnya, saya sangat tertarik dengan
peran yang mereka mainkan, karena pertunjukan dengan durasi lebih kurang 30
menit ini pastinya mengangkat budaya Bali dari tata busana maupun dialeknya. Selama
waktu tersebut pastinya para pemain akan menyuguhkan kebudayaan yang berbau
khas Bali, terutama masalah dialek yang digunakan para pemain.
Rasa penasaran saya mengenai dialek yang
digunakan dalam prtunjukkan ini menggelitik saya untuk menyaksikan drama teater
ini, apakah para pemain dapat memerankan lakon sesuai karakter yang mereka
perankan. Karena dalam drama ini mengangkat nilai budaya Bali, sedangkan Bali
sendiri mempunyai ciri khas yang sangat melekat dan dapat dengan mudah
diketahui salah satu yang sangat khas yaitu dari dialeknya. Sehingga, sayapun
antusias dengan pertunjukan teater yang dipersembahkan oleh komunitas BAHTERA
ini.
Pertunjukkan dimulai dari masuknya
lakon Gusti Biang, seorang wanita tua yang mungkin dapat dibilang terlalu
angkuh bagi wanita seusianya yang renta. Pertama saya menyaksikan cukup meyakinkan,
karena pemeran dari Gusti biang sudah sesuai dengan karakternya.
Namun, dari dialek bahasanya tidak saya
temui dialek Bali sedikitpun, malah pemeran Gusti Biang masih terlihat dialek
Medannya. Mungkin karena sangat cinta Medan jadi dialek Medannya masih kental terdengar.
Ada satu adegan yang diucapkan oleh Gusti Biang yang sempat saya kutip yakni
“Aku sudah muak lihat mukak mu !” mungkin untuk masyarakat yang menetap di
Medan tidak menjadi masalah dengan bahasa tersebut.
Namun alangkah baiknya bahasa tersebut dapat
diganti dengan “Tyang sudah Bosan melihat Ragane !” agar sedikit lebih lembut.
Karena, tutur bahasa masyarakat Bali itu “halus” tidak “sekeras” tutur bahasa
masyarakat Medan.
Lagian juga, karena teater yang
dimainkan mengangkat budaya Bali sebaiknya ada sedikitnya para pemain juga
menggunakan bahasa Bali, paling tidak mereka menggunakan “Tyang=aku” dan
“Ragane=kamu” jadi para penonton seakan-akan memang sedang menyaksikan
pertunjukan dari Bali.
Lebih jelas terlihat lagi pemeran
Wayan, dari pertama kali masuk masuk sampai pertunjukkan selesai yang terlihat
malah dialek Bataknya. Masih melekat dialek Batak dalam diri pemeran si Wayan. Namun,
terlepas dari dialek Batak, saya juga tertarik dengan karakter tokoh Wayan yang
dari penampilannya ia adalah seorang lelaki separuh baya yang bungkuk dan bertelanjang
dada.
Saya sempat salut melihat yang
memerankan Wayan karena ia sangat Total dalam karakternya, sempat saya berpikir
‘apa tidak capek terus-terusan membungkukkan badannya selama pertunjukkan
selesai?’ sehingga ia pun tak pernah luput dari perhatian saya. Mungkin karena
terlalu capek sekali dia, ada disuatu adegan terakhir mungkin secara tidak
sengaja ia menegakkan badannya. Saya hanya berkata pada teman yang duduk
disebelah saya “kecapekan dia ya!” tapi saya tetap salut dengan karakter Wayan
terlepas dari masalah dialeknya.
Hal yang sama juga pada tokoh Ratu Ngurah
anak lelaki dari Gusti Biang, masalah dialek yang menjadi perhatian saya. tak
ada terdengar di telinga saya dialek Bali yang ia ucapkan, malah terkesan
pemeran Ngurah tidak konsisten dalam ucapannya, terkadang ia memanggil Gusti
Biang dengan sebutan kadang Ibu, kadang Emak.
Lagi-lagi pertunjukan ini terbentur
dengan masalah dialek. Tiga karakter yang masuk ke panggung tak ada satupun
yang terlihat dialek Balinya. Ada satu pemain yang memainkan tokoh Nyoman.
Dari keempat pemain hanya pemeran tokoh
Nyoman yang menurut saya sesuai karakter yang dimainkan, walaupun suaranya
terkadang tidak terdengar sampai ke ujung bangku penonton. Namun dialek Bali terlihat dalam setiap ucapannya,
ditambah lagi dengan tata busana dia yang menggunakan kebaya ala Bali dengan
bunga yang terselip di daun telinganya, menambah nilai plus buat pemeran
Nyoman.
Secara keseluruhan pertunjukan teater
anak-anak BAHTERA ini sudah berhasil menghibur para penikmat Teater. Terlihat
dari kekonyolan lakon Wayan yang sesekali mengundang gelak tawa para penonton.
Walaupun saya sendiri bingung dengan ending
ceritanya.
Sebagai penikmat teater awam, saya
berharap dalam setiap penampilan anak-anak BAHTERA dapat konsisten dalam memerankan
setiap lakon, jika cerita yang dimainkan mengangkat kebudayaan masyarakat Bali,
seharusnya tampakkanlah ciri khas dari masyarakat Bali.
Jika mengangkat Kebudayaan Batak,
seharusnya tampakkanlah ciri khas dari masyarakat Batak tersebut. Sehingga penonton
semakin betah lama-lama menyaksikannya, karena walaupun hanya sebatas dialek, tapi
itu perlu dalam sebuah pementasan apalagi yang mengangkat tema mengenai suatu
kebudayaan. ***
Penulis adalah mahasiswa program studi
Bahasa dan Sastra Indoneia FKIP UMSU Medan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar