Kisah Kuda Putih Beserta Kura-kura Buruk dan Kelinci Bodoh
Ketika mencintaimu
di padang kesucian, ketika itu pula kegelapan melanda lalu memisahkan antara
kejernihan mata menjadi kelu tiada tara.
Bukan
resah yang kuharapkan dari panjangnya penantianku, tapi satu hal yang dapat
memerpanjang kesediaan untuk terus menyimpan senyum untuknya yang kuharap dapat
menjadi senyummu milikku.
Engkau tak akan pernah mengerti
arti persahabatan, sampai engkau menjadi sahabat bagi dirimu sendiri.
Dan engkau tak mungkin menjadi sahabat bagi dirimu, jika engkau tak menghormatinya. . ,
Dan engkau tak akan mampu menghormati dirimu, jika engkau tak memercayainya.
Dan engkau tak mungkin menjadi sahabat bagi dirimu, jika engkau tak menghormatinya. . ,
Dan engkau tak akan mampu menghormati dirimu, jika engkau tak memercayainya.
Kadang
lebih baik diam jika berbicara tentang perasaan, dengan begitu dia tidak merasa
senang dan juga tidak merasa sakit
kata manis itu tidak menjamin seseorang senang, malah
membuat petaka dan menimbulkan keangkuhan tersendiri ,,,
ketidakadaan seseorang dan keadaan, yang membuat segala
keindahan kutolak mentah-mentah , agar tidak merasa dimanja dengan keelokan
dunia. Lebih baik terbiasa dengan keadaan yang biasa-biasa saja, agar tidak
terlalu luar biasa ketika dihadapkan dengan segala hal yang tak hanya membuat
rasa itu mati untuk bersedih, menangis, tertawa .
bila
berkata meraung tiada guna,sekarang terlaksana tanpa sengaja.
rubuh jiwa karena tersadar pendidikanku mulai menipis.
bergaul dengan kekusaman prajurit jendela dunia
merupakan kenikmatan tiada taraku. mohon jangan pecat prajuritku.
cakap pada benda mati seakan aku gila bagi kalian, tetapi lebih ternikmati jika satu kata itu tak berbalas karena menghindari satu kata yang melalang buana disemua sudut hingga beracun
Memungut butiran hujan dari dedaunan dengan tangan tak berhias, begitu banyak sisanya. Hanya sisakah yang kudapat? Susah menampung, karena genteng tua tak berwarna menjadi penghalang merasakan ramahnya jamahan hujan.
Kasihan lubang tua terpakai untuk berteriak. Tapi setidaknya dia dapat menyimpan teriakan itu dan tidak terenggut siluman
Gembalalah
diri ke negeri kayangan walau aku itik buruk bukan peri anggun. Jika di sana
tidak terdapat kekejian hingga pertumpahan darah. Cukup beberapa serigala terus
mengaum hingga mengusik sampai menggigit batin,menjerat segala.
Tidak lagi-lagi.
hari itu,
satu persatu air mata menari berusaha menceritakan rasa, berbagai lakon yang
mereka perankan.
cukup tiga tetes untuk keterpurukan yang begitu lama,
jangankan untuk menentukan pilihan berkedip pun sudah enggan.
Diamku
gamang, sedari melangkah dalam detak kesepian. Kadang irama menjadi dendang
terlaris untuk dinikmati.
Tersenyumku karena hal itu, menikmati lamunan yang
teramat jauh, hingga tak sudi pulang meninggalkan senyuman terlega. Kini
kembali ke realita yang terus membuat corat-moret hidup yang sebelumya rapi
menjadi coretan diamuk angin ngebut.
Cukup
bersikap tenang dan wajar menghadapi segala kejadian hidup. Apapun rasa dan
bagaimana sulitnya jika berfikiran positif, ke depannya akan lebih baik.
jangan berkata "tidak bisa" jika memang kata
"tidak" yang menghalangi semua.
jika gagal berulang kali, pejamkan mata dan hela nafas
pandang ke depan, jalan masih jauh. Mungkin ke arah kiri, kanan, lurus.
Nikmati seadanya, dan syukuri yang telah ada.
Biarlah hanya hujan yang selalu kurindukan, jangan sampai dirimu” api”. Cukup merindukan satu hal dalam diam, dan melampiaskan dalam mimpi semalam yang mungkin berulang.
Sesaat menyegarkan wajah kumuh ini dan menghadirkan irama gesekan ranting tersipu malu. Bisikku pada angin, tolong mengerti isyarat diri. Hanya angin, hadir tak hadir.
Izinkan
aku sekilas menyapa ceriamu tentang semua yang tak lepas dari sudut pandangmu.
Alangkah baik jika tak lagi kulihat senyum itu, karena senyum tak lagi mampu
menjahit luka malah kembali merobeknya. Keikhlasan rasa menghantarkanmu pada
wanita sholeha idaman para lelaki dan dapat menjadi penenang saat panas menderu
ubun-ubunmu. Hanya wanita itu sehingga keikhlasanku terjaga.
Aku pernah berharap menjadi bintang yang menyapa setiap malam indahmu, hanya bisu yang tersenyum. Tetap bukan dirimu.
Aku juga pernah mengibaratkan bahwa kau kuda putih yang memesona sedangkan aku kura-kura buruk yang berharap bisa berjalan searah denganmu. Tenanglah. semua itu sudah terbingkai rapi pada malam terurainya pilu dan menjadikan wajah itu penghuni dalam lemari cinta semu.
Aku pernah berharap menjadi bintang yang menyapa setiap malam indahmu, hanya bisu yang tersenyum. Tetap bukan dirimu.
Aku juga pernah mengibaratkan bahwa kau kuda putih yang memesona sedangkan aku kura-kura buruk yang berharap bisa berjalan searah denganmu. Tenanglah. semua itu sudah terbingkai rapi pada malam terurainya pilu dan menjadikan wajah itu penghuni dalam lemari cinta semu.
Suara
itu terus saja berusaha menyisir memar hati, separuh nyawa terbawa. Pastikan
aroma hujan itu datang untuk penenang dan pelepas balutan tangis berganti
dengan girang beralasan bukannya tidak.
Pesona tak seperti dulu yang kuasa menahan erangan relung begitu dalam.
Pesona tak seperti dulu yang kuasa menahan erangan relung begitu dalam.
Dayung
selalu mendayung
Sampan yang kumal tak mendukung melawan arus.
Rayap pun ikut menumpang dan sambil menyelam minum air
Tangan sudah tak tangan, gundukan-gundukan tercantik menghias kerasnya tangan
Pinggang pun rubuh terduduk hanya dapat terus mendayung
Rayap penumpang tak sekedar di sampan,
mereka merambat dayung
kuasakah mengusir? mereka juga ciptaan
Akankah tubuh dekil menyengat dan berjekat ini dapat penumpang rayap?
Usaha tak putus, tapi tangan tak mengizinkan
Batin berteriak membuat kelu
Akankah tenggelam dengan sampan yang telah rapat penumpang
Adakah sampan dan dayung cadangan
kau kuda indah yang pernah singgah di hatiku, tapi sayang aku hanya seekor kelinci yang tak bisa membuat hal yang menakjubkan
yang bisa menarik hatimu untuk sedikit ingat denganku
aku hanya dapat memamerkan gigi, yang membuat kau sekejap tertawa
aku juga mempunyai gigi yang hanya dapat menggigit wortel kesukaanku.
Sampan yang kumal tak mendukung melawan arus.
Rayap pun ikut menumpang dan sambil menyelam minum air
Tangan sudah tak tangan, gundukan-gundukan tercantik menghias kerasnya tangan
Pinggang pun rubuh terduduk hanya dapat terus mendayung
Rayap penumpang tak sekedar di sampan,
mereka merambat dayung
kuasakah mengusir? mereka juga ciptaan
Akankah tubuh dekil menyengat dan berjekat ini dapat penumpang rayap?
Usaha tak putus, tapi tangan tak mengizinkan
Batin berteriak membuat kelu
Akankah tenggelam dengan sampan yang telah rapat penumpang
Adakah sampan dan dayung cadangan
kau kuda indah yang pernah singgah di hatiku, tapi sayang aku hanya seekor kelinci yang tak bisa membuat hal yang menakjubkan
yang bisa menarik hatimu untuk sedikit ingat denganku
aku hanya dapat memamerkan gigi, yang membuat kau sekejap tertawa
aku juga mempunyai gigi yang hanya dapat menggigit wortel kesukaanku.
Kuda, kau begitu anggun untukku, kau berlari
cepat dan terlampau jauh dariku jauh ,,,
sangat jauh .aku berusaha mengejarmu,
bukan dengan berlari,
tetapi dengan merelakan segala hal bersembunyi indah di hatiku
harapan untuk dekat denganmu membuatku gila,
aku takut kau menginjakku!
Dan meninggalkan sakit
aku kelinci yang bodoh, pernah terpikat denganmu,
tanpa pernah berkaca siapa diriku!
sangat jauh .aku berusaha mengejarmu,
bukan dengan berlari,
tetapi dengan merelakan segala hal bersembunyi indah di hatiku
harapan untuk dekat denganmu membuatku gila,
aku takut kau menginjakku!
Dan meninggalkan sakit
aku kelinci yang bodoh, pernah terpikat denganmu,
tanpa pernah berkaca siapa diriku!
Devi Yesa atau nama lengkapnya Nurkalima
Devi Yesa lahir di Tanjungpura, Langkat, 1 Juli 1994. Menggemari puisi
sejak duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kini menempuh pendidikan
di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera
Utara dan tergabung di Teater Bahtera. Pernah juga memeriahkan pementasan
Teater GENERASI di Taman Budaya Sumatera Utara maupun Asrama Haji Medan sebagai
penari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar