S
|
AYA masih tertarik membahas masalah tenaga kerja wanita (TKW). Sejak krisis
ekonomi melanda negeri ini, sendi-sendi kesejahteraan masyarakat kita makin
merapuh. Hal ini berdampak krisis lapangan kerja. Dunia kerja makin sempit,
sementara masyarakat yang membutuhkan kerja terus meningkat.
Sebagai gambaran, hingga sepuluh
tahun terakhir, jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai lebih dari 215 juta
jiwa, sementara jumlah angkatan kerja sekitar 100 juta dan tingkat pengangguran
terbuka mencapai 9,53 juta. Tahun 2005 jumlah penganggur diperkirakan mencapai
10,29 juta jiwa. (Kompas, Sabtu, 19
Februari 2005).
Namun, alhamdulillah, Badan Pusat Statistik
(BPS) mencatat angka pengangguran di Indonesia hingga Februari 2013 mengalami
penurunan menjadi 7,17 juta orang dibanding Agustus 2012 yang mencapai 7,24
juta orang. Hal ini seiring dengan perbaikan ekonomi sehingga menimbulkan
dampak positif bagi pertumbuhan industri di Tanah Air. (Kompas, 6 Mei 2013).
Dalam studi kependudukan,
pertumbuhan ekonomi dan revolusi demografi memiliki pengaruh yang besar
terhadap kondisi pasar kerja masa kini dan mendatang. Revolusi demografi,
seperti pertumbuhana penduduk, struktur umur dan jenis kelamin, mempengarhuhi
jumlah dan pertumbuhan angkatan kerja. Karenanya, kualitas penduduk – khususnya
angkatan kerja – akan mempengaruhi jenis pekerjaan yang ada dalam pasar kerja.
Sedangkan perkembangan ekonomi, seperti
pertumbuhan ekonomi atau perubahan struktur ekonomi dari pertanian menjadi
industri, akan mempengaruhi permintaan dan penawaran pasar kerja. Sempitnya
lahan pertanian dan perkebunan yang tersisa terdesak oleh pembangunan
kawasan-kawasan perluasan industri, sedikit banyak telah mengubah orientasi
pencari kerja di wilayah-wilayah rural dengan menjadi buruh pabrik upahan, atau
mencari kesempatan di wilayah perkotaan.
Namun, menurut jajak pendapat Harian Kompas (Sabtu, 19 Februari 2005), saat
ini minat orang untuk bekerja di sektor agraris tidak sebesar minat untuk
bekerja di sektor formal dan informal di perkotaan. Bahkan, minat untuk
berusaha sendiri atau berwiraswasta menjadi bagian terbesar yang menyedot
perhatian paling banyak (33,1%). Selebihnya, bidang-bidang pekerjaan yang
bersifat administratif, seperti menjadi pegawai negeri (15,9%), bidang keuangan
(7,2%), serta bidang-bidang jasa lainnya (26,2%), juga jauh lebih menarik
daripada menggeluti usaha pertanian. Tidak sampai 2 persen responden yang
mengaku bahwa bidang pertanian adalah bidang yang paling mereka minati saat
ini.
Begitupun, terbatasnya
lapangan kerja di sektor-sektor formal membuat sektor informal menjadi pilihan
yang rasional untuk digeluti. Kondisi ini mengimplementasikan dua hal penting,
yaitu : pertama, kecepatan
transformasi atau perubahan sektor ekonomi tidak sejalan dengan tranformasi
tenaga kerja di mana tranformasi ekonomi relatif tinggi; dan kedua, sektor informal masih dibutuhkan
pada masa mendatang dalam rangka menampung angkatan kerja di Indonesia yang
tidak terserap oleh sektor formal.
Di antara pekerja yang
bekerja di sektor formal maupun informal itu adalah kaum perempuan. Bahkan,
jumlah angkatan kerja kaum perempuan terus meningkat setiap tahun. Kebutuhan
pada peningkatan kondisi ekonomi rumah tangga tampaknya merupakan alasan utama
penyebab banyak perempuan yang masuk ke
pasar kerja dan meninggalkan peran mereka sebagai ibu rumah tangga. Pada tahun
1971 kaum perempuan yang berstatus ibu rumah tangga tercatat sekitar 24,5% dan
persentase ini kemudian menurun menjadi 18,5% pada tahun 1990.
Karena keterpaksaan
bekerja itu, kaum perempuan kita tidak pilih-memilih untuk memasuki dunia
kerja. Hal ini dapat terlihat dari meningkatnya jumlah TKW ke luar negeri.
Antara tahun 1983-1992 migran perempuan rata-rata meningkat sebesar 12,1% per
tahun sementara migran pria hanya meningkat dengan rata-rata 6,3% per tahun
(1997 : 170). Namun, terlihat bahwa negara tujuan dari TKW ini terkonsentrasi
di negara-negera tertentu, yaitu Malaysia, Singapura, dan Saudi Arabia.
Sedangkan tenaga kerja pria distribusinya lebih menyebar. Kondisi ini erat
kaitannya dengan kualitas TKW tersebut, yang pada umumnya terdiri dari tenaga
kerja tidak terdidik. Tingginya kualifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah di
negara-negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat, menyebabkan TKW
Indonesia sukar untuk memasuki negara-negara maju tersebut.
Berdasarkan data yang ada
pada saya, TKI yang berangkat ke Malaysia didominasi kaum pria dan mereka
bekerja di sektor perkebunan serta konstruksi, terutama untuk mengisi jenis
pekerjaan tingkat bawah. Sebaliknya, TKI yang berangkat ke Saudi Arabia
didominasi kaum perempuan dengan rasio jenis kelamin mencapai 8:1. Mereka ini
pada umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sehingga ada kesan negatif
di Saudi Arabia bahwa Indonesia adalah gudang pembantu rumah tangga. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar