Sabtu, 31 Agustus 2013

PARA PEMBURU

Cerpen : Zurnila Emhar Ch


L
eherku sakit. Cengkraman laki-laki itu sangat kuat. Aku terus berusaha untuk membuka mataku. Aku tidak ingin lupa akan wajahnya. Agar aku mudah mengenalinya suatu saat nanti jika kami bertemu lagi. Seandainya aku masih hidup.

Air mataku menderas ketika satu per satu anggota keluargaku ditangkap. Anak-anakku merintih memohon belas kasih namun tak mereka hiraukan.

“Kita akan kaya dengan menjual mereka. Hahaha...” Teman laki-laki yang mencengkeramku tertawa terbahak-bahak. Pun laki-laki yang lain.

Suara itu memerihkan hatiku. Anak-keturunanku, mereka akan menjualnya. Entah pada siapa. Seketika ketakutan menelikungku. Aku bakal sendirian. Tidak akan pernah lagi bersenda gurau dalam suasana yang akrab dan hangat.

Aku teringat cerita yang beredar di kampung sebelah. Tentang sosok yang pernah bertemu denganku beberapa waktu yang lalu. Sorot matanya penuh keputusasaan. Sepertinya dia sudah letih menjalani hari-harinya. Mungkin juga sudah lelah menangis.

Dia bukan penduduk di kampung itu. Hanya pengelana yang tidak tahu harus ke mana. Menurut ceritanya, sebelum terlunta-lunta, dia pernah hidup mewah. Dia menjadi peliharaan seorang kolektor. Walau hidupnya tidak bebas namun dia cukup beruntung. Laki-laki itu merawatnya dengan baik. Semua keperluannya selalu dipenuhi. Dia ditempatkan di rumah yang bersih dan terawat. Sesekali dia dibawa jalan-jalan. Dipertemukan dengan sesama jenisnya.

Hingga suatu saat, sang kolektor menghadiahkannya kepada keponakannya. Hidupnya berubah drastis. Dia dipenjarakan di kandang yang sama sekali tak terurus. Makannya tidak lagi teratur. Sang pemilik yang masih muda terlalu sibuk dengan dunianya sehingga sering melupakannya. Palingan dia mendapat perhatian kalau kawan-kawan si pemuda datang bertandang.

Lebih buruknya lagi, pemilik barunya yang hobi mabuk-mabukan juga tidak segan-segan menyemburnya dengan bir. Atau memukulnya sebagai pelampiasan kekesalan. Di sana, dia sangat merindukan kebebasan.

Berkali-kali dia mencoba kabur. Pernah dia merayap di sisi pagar tembok. Berlindung di balik rimbun bunga-bunga. Melepas dahaga dengan air yang tergenang di atas dedaunan. Lapar tidak lagi terasa. Penat dan letih diabaikan. Aroma kemerdekaan mulai dihirupnya. Bayangan rumah, berkumpul dengan keluarga memenuhi rongga kepalanya. Air mata bahagia mengucur. Namun rasa itu segera menguap. Begitu dia sampai di pagar besi, pemuda itu menemukannya. Dia dipukul. Dibanting. Dan kembali dikandangkan.

Setelah peristiwa itu dia mulai berpindah tangan. Bukan untuk dipelihara. Tapi sebagai taruhan judi. Dari satu meja dia terlempar ke meja yang lain. Berganti-ganti tuan. Hingga tidak tahu siapa yang lebih baik di antara mereka. Dia semakin sering bepergian. Dari balik kaca mobil dia hanya bisa melihat pepohonan dan bangunan yang tidak pernah sama.

Ketika peluang untuk kabur itu kembali datang, dia kembali memanfaatkan. Tapi jalan pulang tidak pernah ditemukannya. Berulang kali dia tersesat. Perjalanannya seperti tidak punya ujung. Tidak pernah dia menemukan pepohonan dan bangunan yang sama dengan yang dilaluinya dulu. Dia mulai lelah. Diputuskannya untuk memulai hidup baru. Di tempat yang baru. Dengan masyarakat yang baru.

Aku merasakan ngilu yang sangat di hatiku. Aku tidak ingin kejadian itu juga menimpaku. Apalagi anak-anakku. Tidak! Oh, Tuhan.

Anak sulungku meronta sewaktu dimasukkan ke dalam karung. Dia coba melilit. Menggigit. Benar-benar jantan. Namun usahanya tidak berhasil. Pawang itu berhasil melumpuhkannya.

“Bagaimana dengan yang ini, Pak?” laki-laki yang mencengkramku bersuara.

“Bawa saja. Biarpun sudah tua, dia masih bisa beranak.”

Aku diseret. Dipurukkan ke dalam karung. Laki-laki itu bersiul riang. Begitu tangannya melepaskan leherku, aku langsung melompat. Menggigit. Dia mengerang.

“Aaa... Ularnya lepas!”

“Tangkap!”

“Awas! Jangan sampai dia lari ke lereng.”

Hanya satu orang yang mengejarku. Yang dua orang lagi sibuk mengarungkan anak-anakku. Teriakan-teriakan mereka terus berhamburan di belakangku.

Sekuat tenaga aku lari. Terjun ke lereng terjal di sisi pemukiman kami. Di sana aku pun terguling-guling. Terhempas. Tersuruk di rerumputan.

Itulah kali terakhir aku melihat keluargaku.
* * *
Beberapa hari sejak kejadian itu, kondisiku mulai pulih. Kuputuskan untuk pulang. Aku mencoba mendaki lereng itu lagi.  Berharap bisa bertemu keluargaku. Setidaknya ada yang tertinggal di antara mereka. Bayangan anak-anak yang memangilku ibu terus menyemangatiku.

Kuretas lereng yang licin, terjal, dan tanpa pepohonan. Ketika sampai di rumah hatiku ngilu. Rumahku berantakan. Tidak ada gelak tawa, adu mulut ataupun hanya sekadar siul, yang biasa menyemarakkan rumah. Sepi.

Aku tidak berani berkhayal anak-anakku akan kembali. Saat itu, orang-orang tersebut datang dengan mobil. Berarti mereka telah membawa keluargaku ke tempat yang jauh dari sini. Akan dijadikan apakah anak-anakku? Dijual?  Barang taruhan juga? Semoga tidak! Semoga mereka masuk penangkaran. Ya. Penangkaran! Aku pernah mendengar tentang tempat itu dari cerita orang-orang yang berdiri di pinggir rawa. Itu lebih baik. Dengan membayangkan itu aku juga bisa mati dengan tenang. Walau sendirian.

Berhari-hari aku berkelana. Di tiap pemukiman yang kutemui kutanyakan tentang keluargaku. Berharap di anatara mereka ada yang tersisa. Namun aku tidak menemukan apapun.
* * *

Sore ini udara berkisar dengan lembut. Berada di bawah pohon sambil menikmati birunya langit sungguh menenteramkan. Hilanglah segala penat yang menghimpit tubuh sedari pagi. Sembari dibuai angin aku mencoba untuk tidur. Seperti biasa; aku berharap bisa melihat anak-anakku dalam mimpi.

Baru sebentar kunikmati istirahatku, perasaanku mulai tidak enak. Seperti tengah terjadi sesuatu. Aku bisa merasakan kegaduhan dan kepanikan dari suara-suara yang menjerit, teriakan marah, juga tawa penuh angkara. Seketika ingatanku dipenuhi kejadian yang pernah menimpaku dulu. Ada dorongan yang begitu kuat untuk mencari tahu apa yang terjadi.

Aku beringsut. Mencari-cari asal kegaduhan. Rawa ini cukup luas untuk dijelajahi. Di sepanjang jalan, aku melihat jejak kaki yang tertanam dalam ke lumpur. Aku juga menemukan jejak tubuh yang diseret. Air yang biasanya jernir juga kotor. Perasaanku jadi campur aduk. Takut, keingintahuan, kebencian, melebur jadi satu.

Dilindungi keladi yang tumbuh rimbun, aku menyaksikan semuanya dengan leluasa. Mereka yang datang waktu itu, kembali mengacaukan rawa ini. Aku ingat persis dengan wajah salah satunya.

“Ternyata rawa ini memang ladang uang buat kita! Haha...”

“Tepat sekali kita berburu di sini.”

“Ya, rupanya di sini adalah surga mereka, tempat mereka berkembang biak...”

“Juga surga kita! Haha...”

“Bawa karungnya ke sini! Aku dapat anaknya!”

Darahku mendidih. Kepalaku terasa panas. Dendamku membara. Pelan-pelan aku mendekat.

“Dapat!” serunya.

“Wah... berat juga... Karung-karung...!” seorang yang lebih muda berteriak.

Jarak kami kian dekat. Laki-laki yang pernah mencengkramku sedang sibuk melepaskan diri dari lilitan mangsanya.

“Awas, Pak! Ada ular di dekatmu...”

Dia menoleh.

“Aargh...”

Sebelum meluncur pergi aku tegak di depannya. Berharap dia masih mengingatku. Sepasang matanya mendelik. Aku menyeringai. (Zech) ***


Perawang, 27 Desember 2012



ZURNILA EMHAR CH, lahir di Bukittinggi, 18 Desember 1986. Menulis cerpen, sajak, esai dan resensi. Tulisannya pernah dimuat di Padang Ekspres, Singgalang, Haluan, Riau Pos, Haluan Riau, Metro Riau,  Majalah Sastra Sagang, Majalah Story, Ilmuiman.net dll.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar