Cerpen : Dadang Ari Murtono
P
|
ada
hari ketujuh setelah sholat Ied digelar, di salah satu sudut kampung itu akan
selalu terdengar suara ringikan yang memilukan. Ringikan yang seakan bermuasal
dari kesakitan yang sukar dibayangkan. Dan kaum ibu akan segera memanggili
anaknya yang tengah bermain agar masuk ke rumah sebelum pada akhirnya mereka
juga menutup pintu dan dengan was-was berharap agar tak ada sesuatu yang buruk
yang akan menimpa kampung. Sedang kaum bapak dan lelaki muda yang masih kuat akan
berdiri di sepanjang jalan, bersiaga sambil mengayun-ayunkan senjata tajam atau
pentungan.
“Lelaki yang hendak menuntut balas itu kembali,”
begitu orang-orang berkata pada waktu seperti itu.
“Dendamnya mengakar begitu kuat,” tambah yang lain.
“Sangat kuat. Hingga rasa-rasanya, tak ada lagi hal
lain yang lebih kuat dari dendam lelaki itu,” yang lain menimpali.
“Seandainya dia mau meminta maaf, tentu hal ini
tidak akan terjadi. Tentu lelaki itu tidak akan mengganggu kita pada saat di
mana seharusnya kita merayakan riyayan kupat.”
Ya. Baiklah. Sesungguhnya ini memang cerita tentang
dia. Atau lebih tepatnya, semua bermuasal dari dia. Lelaki yang pernah hidup di
kampung ini bertahun-tahun yang lampau. Lelaki yang jenuh dikungkung kemiskinan.
Dan pekerjaannya sebagai buruh tani rasanya teramat sulit untuk bisa mengusir
kemiskinan yang seakan tak bosan-bosan membelitnya. Dan harapan untuk bisa
mengubah nasibnya muncul ketika istrinya melahirkan seorang anak perempuan yang
cantik.
Anak itu, demikian orang-orang pernah bercerita,
adalah seorang anak yang cantik. Wajahnya bersinar ketika dilahirkan. Suara
tangisnya begitu merdu seperti suara penyanyi yang paling merdu. Tatapan
matanya bening sebening embun. Dan suaranya begitu menenangkan. Tidak ada satu
pun orang yang melihat anak perempuan itu yang tidak berdecak kagum.
Dan kalimat pujian semacam inilah yang paling sering
keluar dari mulut orang-orang yang kagum tersebut, “dia bidadari yang terlahir
di dunia.”
Seiring pertumbuhan anak perempuan itu, harapan dia
untuk bisa mengubah nasibnya juga semakin tumbuh. Bahkan harapan itu tumbuh
jauh lebih cepat dari pertumbuhan si anak perempuan. Berulangkali kepada
istrinya dia berkata, “nasib kita akan berubah. Sebentar lagi, beberapa tahun
lagi, kita tidak perlu lagi berpanas-panas di sawah milik orang lain demi upah
yang tidak seberapa. Bahkan, sebenarnya kita benar-benar tidak perlu lagi
bekerja. Kita hanya akan ongkang-ongkang kaki dan segala kemewahan yang kita
ingini akan dengan sendirinya mendatangi kita. Kita mau mobil dan mobil itu
akan mendatangi kita. Kita mau televisi dan televisi itu akan mendatangi kita.
Kita mau makan daging maka daging itu akan dengan sendirinya mendatangi kita.
Kita mau baju bagus dan baju bagus yang mahal akan mendatangi kita.”
Istrinya akan tersenyum mendengar hal tersebut. Dan
dia melanjutkan bicaranya, “Dengan kecantikan
yang dimiliki anak kita, para lelaki akan antri melamarnya. Dan kita bisa
dengan leluasa memilih. Kita mesti memilih baik-baik. Kita pilih lelaki yang
paling kaya. Yang sanggup menuruti apa-apa yang kita ingini.”
Istrinya akan kembali tersenyum. Senyum yang lebih
lebar dari senyum semula. Dan senyum itu bertambah lebar seiring bertambahnya
usia si anak. Dan harapan mereka
benar-benar nyaris sempurna ketika si anak menginjak usia 17 tahun. Sudah tak
terhitung berapa laki-laki yang datang untuk menarik hati si anak perempuan.
Bukan hanya dari kampung itu saja lelaki yang datang. Melainkan juga dari
kampung-kampung sebelah, bahkan dari kota provinsi. Kecantikan si gadis sudah
tersebar ke seluruh penjuru. Dan kecantikan itu benar-benar serupa kecantikan
luar biasa yang selama ini dikira orang-orang hanya ada dalam dongeng.
Tapi si anak perempuan selalu menolak para lelaki
tersebut. Dan dia bersama istrinya beranggapan, “Anak kita
memang anak yang cerdas. Dia pasti sedang menunggu seorang lelaki yang lebih
kaya lagi.”
Tapi orang kaya yang diangankannya bersama istrinya,
yang mereka kira sedang ditunggu-tunggu anak perempuannya, tidak kunjung
datang. Yang kemudian datang malah seorang pemuda pengarit rumput anak seorang
janda yang jauh lebih miskin dari dia. Awalnya, dia mengira nasib pemuda
pengarit rumput itu akan serupa dengan nasib lelaki lain yang mencoba memasuki
hati anak perempuannya. Dengan tersenyum setengah mengejek, ia berbisik-bisik
dengan istrinya, “Yang datang dengan mobil saja ditolak,
apalagi yang hanya mengarit rumput.”
Sungguh, sepertinya tak ada hal lain yang lebih
mengagetkannya bersama istrinya ketika anak perempuan itu kemudian menemui mereka
dan berkata, “dengan lelaki pengarit rumput itu aku ingin menikah.”
Seperti ada guntur dahsyat menyambar di dekat
telinganya. Ia mengucek-ngucek telinganya seolah tak percaya dengan kualitas
pendengaran telinganya. “Apa? Apa kau bilang?”
“Aku ingin menikah dengan lelaki pengarit rumput
itu.”
“Apa kau sudah gila? Ada begitu banyak lelaki yang
ingin menikah denganmu. Dan kau memilih lelaki pengarit rumput yang jauh lebih
miskin dari kita?”
“Aku mencintainya.”
“Omong kosong!”
“Aku mencintainya!”
“Kau gila!”
“Aku memang gila. Aku tergila-gila kepadanya.”
“Aku tidak akan menikahkanmu dengan lelaki itu!”
“Kalau begitu aku akan benar-benar menjadi gila.”
“Lelaki itu memeletmu!”
“Dia menjeratku dengan cintanya.”
“Omonganmu ngelantur. Sudah, aku akan pilihkan lelaki
lain yang lebih kaya. Kau tidak boleh menikah dengan lelaki pengarit rumput
itu!”
“Aku akan benar-benar gila!”
“Huwahhh.....”
Begitulah. Seminggu kemudian si anak perempuan
dinikahkan dengan lelaki dari kota provinsi anak pejabat tinggi yang juga punya
banyak perusahaan. Lelaki pengarit itu datang lagi tiga hari sebelum pernikahan
digelar. Dan dengan suara menggelegar, dia mengusir lelaki pengarit rumput
tersebut. “Pergilah dan jangan mengganggu hidup anakku lagi. Kalau kau tetap
membandel, kau akan tahu hukumannya!”
Lelaki pengarit rumput tersebut hanya menundukkan
wajah. Berjalan berbalik arah tanpa menoleh atau mengangkat wajah. Barangkali
ia menangis. Dan setelahnya, si pengarit rumput itu hanya mengurung diri di
dalam rumahnya yang gedeg dan telah banyak lubang-lubangnya. Sedang si anak
perempuan, setelah akad dilangsungkan, tiba-tiba berteriak-teriak seperti orang
gila. Si anak perempuan memanggil-manggil lelaki penyabit rumput sambil berguling-guling
di halaman rumah. Sanggulnya dilepas dengan kasar. Rambutnya dijambakinya
sendiri. Dan pakaiannya ia robek-robek sendiri.
Orang-orang panik. Terlebih-lebih dia dan istrinya. Juga anak pejabat
provinsi yang baru saja sah menjadi suami si anak perempuan.
“Dia jadi gila! Dia jadi gila!” orang-orang berteriak.
Dan tiba-tiba, dia berteriak lantang. “Lelaki
pengarit rumput itu telah mengguna-guna anakku dengan ilmu hitam. Aku menolak
lamarannya. Dan dia tidak terima. Dia mengguna-guna anakku. Dia pengikut setan.
Dia penganut ilmu hitam. Dan hukuman apa yang pantas bagi orang syirik seperti
dia?”
Geram penuh marah segera saja merebak. Orang-orang berteriak
marah. Tidak boleh ada penganut ilmu gelap, tidak boleh ada pemuja setan di
kampung mereka. Mereka adalah orang yang beragama. Dan memerangi setan wajib hukumnya.
Kampung mereka akan menjadi kampung yang terkutuk bila ada penganut setan yang
dibiarkan tinggal di sana.
Maka tanpa ada yang mengomandoi, orang-orang yang
marah itu bergerak ke rumah si lelaki pengarit rumput. Mereka menyaut apa pun
yang terlihat sebagai senjata. Ada yang membawa parang, pacul, linggis, pukulan
kentongan, bahkan tak sedikit yang hanya menggenggam batu atau ranting kayu.
Tak butuh waktu lama untuk meluluhlantakkan rumah
gedeg di ujung kampung tersebut. Tak mereka pedulikan teriakan meminta ampun
dan pembelaan diri yang dilakukan si lelaki pengarit rumput dan ibunya yang
janda.
“Aku bukan dukun. Aku tidak bisa ilmu guna-guna.
Sumpah!”
Teriakan itu tenggelam di tengah teriakan orang yang
marah. Lalu tahu-tahu rumah yang telah runtuh itu dilalap api. Dan tubuh si
lelaki pengarit rumput beserta ibunya yang telah tak mampu berkutik,
dilemparkan ke unggun api tersebut.
“Itulah hukuman bagi penganut setan.”
Orang-orang yakin, setelah si lelaki pengarit rumput
itu mati, akan hilang pulalah pengaruh guna-gunanya dan si anak perempuan
tersebut akan kembali waras seperti sediakala. Namun mereka keliru. Si anak
perempuan malah semakin gila. Dan dengan telanjang bulat, si anak perempuan
berlari-lari ke sisa unggun api pembakaran lelaki pengarit rumput. Di situlah si anak perempuan meratap. Terus
meratap. Meratapkan hal yang sebenarnya terjadi. Meratap bahwa lelaki pengarit
rumput itu tidak menguna-gunainya, meratap bahwa ia mencintai lelaki tersebut
dan bapaknyalah yang membuatnya menjadi gila karena memaksanya menikah dengan
lelaki lain yang tidak dicintainya, dan bahwa bapaknya sengaja menghasut
orang-orang kampung dengan menyebarkan berita tidak benar perihal pemuja setan
dan penganut ilmu gelap.
Orang-orang tercengang. Dan lebih tercengang lagi ketika
kemudian si anak perempuan itu ditemukan mati di sisa unggun api. Entah apa
sebab kematiannya. Sampai sekarang masih tidak jelas.
Begitulah. Dia, bapak dari si anak perempuan
tersebut, kemudian dikucilkan dari pergaulan kampung. Orang-orang terlanjur
mencapnya sebagai lelaki penipu yang kejam. Anak pejabat provinsi itu juga
tidak pernah lagi kembali ke kampung tersebut.
Dan pada bulan syawal pertama setelah kejadian itu,
pada hari ketujuh di mana sesuai adat yang berlaku di kampung tersebut, orang-orang
memasak kupat dan lepet sebagai simbol permintaan maaf (di kampung tersebut,
kupat berarti aku lepat, artinya aku bersalah, dan lepet berarti lepat, artinya
salah), terdengar suara ringikan. Suara ringikan yang segera mengingatkan
mereka pada suara lelaki pengarit rumput.
“Suara itu menginginkan permintaan maaf. Ya,
permintaan maaf dari orang yang membuatnya mati dengan cara yang buruk.”
“Lelaki itu datang untuk menuntut balas.”
“Dendamnya mengakar begitu kuat.”
Tapi dia, bapak dari si anak perempuan tersebut,
pada waktu itu, ketika orang-orang mendatangi rumahnya untuk memaksanya meminta
maaf, telah terbujur kaku bersebelahan dengan istrinya. Tak ada yang tahu
kenapa mereka berdua meninggal.
Dan semenjak itu pula, di kampung itu, setiap hari
ketujuh di bulan Syawal di mana orang-orang menggelar riyayan kupat, suara
ringikan itu terdengar. Dan orang-orang selalu was-was bila hal buruk akan
terjadi pada mereka. ***
Dadang Ari Murtono, lahir dan tinggal di
Mojokerto. Sebagian tulisannya pernah terbit di beberapa surat kabar, majalah
dan jurnal seperti Padang Ekspres, Fajar,
Jurnal Nasional, Global, Solo Pos, Pikiran Rakyat, Suara Merdeka, Lampung Post,
Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos,
Republika, Suara Pembaruan, Bali Post, Surabaya Post, Minggu Pagi, Sinar Harapan,
Kedaulatan Rakyat, Tribun Jabar, Radar
Surabaya, Kendari Post, Bangka Post, Majalah Gong, Majalah Kidung, Majalah
Nova, Majalah Esquire, Majalah Sagang, Jurnal The Sandour, Jurnal Lembah Hijau,
Buletin Rabo Sore, dll. Sebagian yang lain menjadi bagian dari antologi bersama seperti Tentang Kami Para Penghuni Sorter, Medan
Puisi, Pasar yang Terjadi pada Malam Hari (antologi penyair mutakhir Jawa
Timur 2), Manifesto Illusionisme,
dll. Saat ini bekerja penuh waktu sebagai penulis dan terlibat dalam kelompok
suka jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar