Jumat, 30 Agustus 2013

MEMUDARNYA KUALITAS SASTRA MEDAN (Sabtu 24 Agustus 2013)

Oleh : Nurul Devi Agustin


D
ewasa ini, sering kita jumpai karya-karya sastra yang dimuat di media masa, baik di koran maupun majalah. Setelah saya amati baik puisi ataupun cerpen yang diterbitkan, tidak sedikit yang menurut pengamatan saya isi di dalamnya kurang menggebrak pembaca. Dalam artian, isinya terlalu biasa dan gampang ditebak ending ceritanya.
Tidak ada yang mengandung unsur yang membuat pembaca bertanya-tanya bagaimana kelanjutan ceritanya, sehingga ada yang ditunggu dari karya tersebut. Semua ditulis secara gamblang, terlalu transparan, terlalu minim menggunakan kata kiasan. Sehingga, kualitas karya tersebut semakin lama semakin berkurang.
Memang tidak semua karya sastra jelek, ada satu karya anak Medan yang membuat saya tertarik untuk mengorek lebih dalam lagi dan menelisik, apakah karya tersebut adalah karya yang berkualitas atau bisa dibilang kacangan.
Saya melihat sebuah buku yang berjudul “CAHYA, Antologi Puisi 53 Penyair” yang melahirkan seniman-seniman baru, rerata penulisnya dari Ranah KOMPAK, KOMPENSASI, KONTAN, dan tak sedikit pula penulis pemula yang berpartisipasi.
Ada satu puisi karya Dhani Sukma yang berjudul “Lelaki Pemuja Hujan”, yang syairnya berbunyi :

Hujan adalah sekawanan rindu yang menelikung di pelipis gerimis, dan aku sungguh mencintainya. Sungguh berhasrat aku, ini malam kembali mencumbu hujan, berpeluk dengan gigil yang menyelinap dalam ragaku selagi jiwaku berbasah kesetiaan.

Tentu kau masih ingat, saat pertama kali kunikahi hujan dan aku melepas birahi

Di atas tubuh-tubuh air hingga kau mendecak kagum; bersebab aku tak jua mencapai klimaks walau tubuhku telah menyenggamai hujan semalam suntuk.

Hujan adalah perempuan yang menyusuiku. Walau usiaku genap seperempat abad, namun aku masih suka memainkan puting susu hujan dan memilin-milinnya sebelum kukulum dan kuhisap. Kadang aku membias semacam bayang, apakah air susu ibuku senikmat susu hujan? Aih, imaji yang nakal. Tetapi sungguh, menikahi hujan adalah penghidupan yang selama ini kurapal dalam doa bersebab hanya hujan yang mendampar ujar; Ingin menjadi ibu dari anak-anakku sebab ia sudah bosan berkelamin dengan langit.

Hujan adalah kelebat cemburu yang berkabar agar aku jangan berkelamin dengan kemarau. Sebab ia tahu, kemarau tak memiliki puting susu yang mampu menderaskan air. Sejujurnya, sempat aku meramu candu asmara dengan sepijar matahari namun aku tak menemu puting yang bisa kupilin, kukulum, sedang aku telah terbiasa menghisap puting susu hujan. Maka aku kembali ke rumah Tuhan; menikmati tubuh-tubuh hujan yang terlentang dalam penantian.”

Nah, dapat kita lihat dan perhatikan bunyi syair di dalam puisi “Lelaki Pemuja Hujan” ini, pada bait pertama saya melihat sang pengarang sedang merindukan seseorang dan sangat mendambakan kehadiran seseorang yang sangat dicintainya. Ia berharap seseorang tersebut akan kembali ke pelukannya, karena dia selalu setia menanti.
Kemudian pada bait-bait selanjutnya, menurut saya, bagi orang awam mungkin puisi ini agak sedikit vulgar dan agak terkesan porno. Karena, ketika pembaca membaca puisi ini maka sedikit tidaknya imaji mereka akan melayang dan bergerak bebas sesuai dengan isi dari apa yang mereka baca.
Sungguh hebat pengarang dalam memainkan kata-kata, sehingga membuat pembaca terhanyut di dalamnya. Imaji pengarang bergerak bebas, dan menulis apa-apa saja sesuka hatinya, dan menulis sesuatu yang menggebrak emosi pembaca hingga si pembaca ingin membacanya sampai selesai.
Jika dilihat dari kaca mata sastra, atau orang yang memang ahli di bidang sastra dan mengerti benar sastra, maka puisi ini adalah sah-sah saja, asal pengarang tahu batasan-batasannya. Kemudian isinya terlalu panjang dan menyerupai sebuah cerpen.
Namun menurut saya cukup bagus. Kiasan-kiasan di setiap baitnya cukup baik dan banyak, sehingga pembaca agak sedikit bertanya tentang makna yang akan disampaikan oleh pengarang. Mereka masih menerka-nerka dan cukup membuat pembaca sedikit dag dig dug.
Berbicara tentang puisi “Lelaki Pemuja Hujan”, di dalam buku yang berjudul “CAHYA”, saya menemukan satu puisi yang terlalu datar dan kurang menantang pembaca, yaitu pada puisi karya Eka Fitri Lestari berjudul “Kasimu”;
Ibu….. kasih sayangmu begitu tulus
Ku ingin melihat canda tawamu
Ku ingin mengecap manisnya bersamamu
Ku tak ingin berpisah denganmu

Lambaian tanganmu begitu lembut
Membelai kepalaku dengan penuh kasih
Tak sedikitpun binar suram dalam raut wajahmu
Ku haus akan rasa yang indah
Kan kuhadirkan untukmu, ibu
Senyum lembutmu membuai hatiku
Rasa kasih ibu tak pernah pudar
Tak tergantikan oleh orang lain

Hidupku sangat berarti bagiku
Kan ku ukir semangatku di dadamu, ibu
Kan kau sematkan dihatiku kasihmu yang tulus

Dapat dilihat dan diamati dari bait ke bait kata-kata yang ditulis terlalu gamblang dan minim sekali menggunakan kata-kata kias, sehingga terkesan membosankan. Kata-katanya sungguh biasa dan terlalu simpel.
Lihat pada bait pertama, di sini pengarang ingin mengungkapkan kepada ibu bahwa ia sangat mencintai ibunya dan tak ingin berpisah. Seharusnya, pengarang sedikit kreatif dalam memainkan imajinasinya. Yah, kalau bisa harus lebih ekspresif sehingga bisa menuju ke perasaan pembaca, bahwa ini loh aku sangat sayang ibuku dan tak mau berpisah dengannya.
Pengarang seharusnya lebih pandai bermain kata-kata, sehingga rangkaian kata-kata tersebut menjadi lebih indah dan tidak terkesan membosankan. Pada bait selanjutnya, sama saja. Sangat transparan sekali dan kurang dalam pendeskripsian tentang sosok ibu itu sendiri.
Varian kata sangat perlu bagi seorang penulis. Kuncinya, harus sering membaca karya-karya penulis lain sehingga bertambahlah kosa kata. Dan di kedepannya bisa membuat puisi yang lebih baik lagi dan dapat mengembangkan imajinasi, sehingga karya sastra anak Medan dapat diakui. Juga, lebih banyak lagi melahirkan seniman-seniman berbakat yang dapat menjadi seniman yang berkualitas baik cerpen, maupun puisinya serta apapun yang berbau sastra. ***




Penulis, adalah alumni Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara


Tidak ada komentar:

Posting Komentar