Oleh : Nurul Devi Agustin
D
|
ewasa ini, sering kita jumpai
karya-karya sastra yang dimuat di media masa, baik di koran maupun majalah. Setelah
saya amati baik puisi ataupun cerpen yang diterbitkan, tidak sedikit yang menurut
pengamatan saya isi di dalamnya kurang menggebrak pembaca. Dalam artian, isinya
terlalu biasa dan gampang ditebak ending
ceritanya.
Tidak
ada yang mengandung unsur yang membuat pembaca bertanya-tanya bagaimana
kelanjutan ceritanya, sehingga ada yang ditunggu dari karya tersebut. Semua
ditulis secara gamblang, terlalu transparan, terlalu minim menggunakan kata
kiasan. Sehingga, kualitas karya tersebut semakin lama semakin berkurang.
Memang
tidak semua karya sastra jelek, ada satu karya anak Medan yang membuat saya
tertarik untuk mengorek lebih dalam lagi dan menelisik, apakah karya tersebut
adalah karya yang berkualitas atau bisa dibilang kacangan.
Saya
melihat sebuah buku yang berjudul “CAHYA, Antologi Puisi 53 Penyair” yang
melahirkan seniman-seniman baru, rerata penulisnya dari Ranah KOMPAK,
KOMPENSASI, KONTAN, dan tak sedikit pula penulis pemula yang berpartisipasi.
Ada
satu puisi karya Dhani Sukma yang berjudul “Lelaki Pemuja Hujan”, yang syairnya
berbunyi :
Hujan adalah sekawanan rindu yang menelikung di pelipis gerimis, dan aku sungguh mencintainya. Sungguh berhasrat aku, ini malam kembali mencumbu hujan, berpeluk dengan gigil yang menyelinap dalam ragaku selagi jiwaku berbasah kesetiaan.
Tentu kau masih ingat, saat pertama
kali kunikahi hujan dan aku melepas birahi
Di atas tubuh-tubuh air hingga kau
mendecak kagum; bersebab aku tak jua mencapai klimaks walau tubuhku telah
menyenggamai hujan semalam suntuk.
Hujan adalah perempuan yang
menyusuiku. Walau usiaku genap seperempat abad, namun aku masih suka memainkan
puting susu hujan dan memilin-milinnya sebelum kukulum dan kuhisap. Kadang aku
membias semacam bayang, apakah air susu ibuku senikmat susu hujan? Aih, imaji
yang nakal. Tetapi sungguh, menikahi hujan adalah penghidupan yang selama ini
kurapal dalam doa bersebab hanya hujan yang mendampar ujar; Ingin menjadi ibu
dari anak-anakku sebab ia sudah bosan berkelamin dengan langit.
Hujan adalah kelebat cemburu yang
berkabar agar aku jangan berkelamin dengan kemarau. Sebab ia tahu, kemarau tak
memiliki puting susu yang mampu menderaskan air. Sejujurnya, sempat aku meramu
candu asmara dengan sepijar matahari namun aku tak menemu puting yang bisa
kupilin, kukulum, sedang aku telah terbiasa menghisap puting susu hujan. Maka
aku kembali ke rumah Tuhan; menikmati tubuh-tubuh hujan yang terlentang dalam
penantian.”
Nah,
dapat kita lihat dan perhatikan bunyi syair di dalam puisi “Lelaki Pemuja Hujan”
ini, pada bait pertama saya melihat sang pengarang sedang merindukan seseorang
dan sangat mendambakan kehadiran seseorang yang sangat dicintainya. Ia berharap
seseorang tersebut akan kembali ke pelukannya, karena dia selalu setia menanti.
Kemudian
pada bait-bait selanjutnya, menurut saya, bagi orang awam mungkin puisi ini
agak sedikit vulgar dan agak terkesan porno. Karena, ketika pembaca membaca
puisi ini maka sedikit tidaknya imaji mereka akan melayang dan bergerak bebas
sesuai dengan isi dari apa yang mereka baca.
Sungguh
hebat pengarang dalam memainkan kata-kata, sehingga membuat pembaca terhanyut
di dalamnya. Imaji pengarang bergerak bebas, dan menulis apa-apa saja sesuka
hatinya, dan menulis sesuatu yang menggebrak emosi pembaca hingga si pembaca
ingin membacanya sampai selesai.
Jika
dilihat dari kaca mata sastra, atau orang yang memang ahli di bidang sastra dan
mengerti benar sastra, maka puisi ini adalah sah-sah saja, asal pengarang tahu
batasan-batasannya. Kemudian isinya terlalu panjang dan menyerupai sebuah
cerpen.
Namun
menurut saya cukup bagus. Kiasan-kiasan di setiap baitnya cukup baik dan banyak,
sehingga pembaca agak sedikit bertanya tentang makna yang akan disampaikan oleh
pengarang. Mereka masih menerka-nerka dan cukup membuat pembaca sedikit dag dig
dug.
Berbicara
tentang puisi “Lelaki Pemuja Hujan”, di dalam buku yang berjudul “CAHYA”, saya
menemukan satu puisi yang terlalu datar dan kurang menantang pembaca, yaitu
pada puisi karya Eka Fitri Lestari berjudul “Kasimu”;
Ibu….. kasih sayangmu begitu tulus
Ku ingin melihat canda tawamu
Ku ingin mengecap manisnya bersamamu
Ku tak ingin berpisah denganmu
Lambaian tanganmu begitu lembut
Membelai kepalaku dengan penuh kasih
Tak sedikitpun binar suram dalam
raut wajahmu
Ku haus akan rasa yang indah
Kan kuhadirkan untukmu, ibu
Senyum lembutmu membuai hatiku
Rasa kasih ibu tak pernah pudar
Tak tergantikan oleh orang lain
Hidupku sangat berarti bagiku
Kan ku ukir semangatku di dadamu,
ibu
Kan kau sematkan dihatiku kasihmu
yang tulus
Dapat
dilihat dan diamati dari bait ke bait kata-kata yang ditulis terlalu gamblang
dan minim sekali menggunakan kata-kata kias, sehingga terkesan membosankan.
Kata-katanya sungguh biasa dan terlalu simpel.
Lihat
pada bait pertama, di sini pengarang ingin mengungkapkan kepada ibu bahwa ia
sangat mencintai ibunya dan tak ingin berpisah. Seharusnya, pengarang sedikit
kreatif dalam memainkan imajinasinya. Yah, kalau bisa harus lebih ekspresif
sehingga bisa menuju ke perasaan pembaca, bahwa ini loh aku sangat sayang ibuku dan tak mau berpisah dengannya.
Pengarang
seharusnya lebih pandai bermain kata-kata, sehingga rangkaian kata-kata
tersebut menjadi lebih indah dan tidak terkesan membosankan. Pada bait
selanjutnya, sama saja. Sangat transparan sekali dan kurang dalam
pendeskripsian tentang sosok ibu itu sendiri.
Varian
kata sangat perlu bagi seorang penulis. Kuncinya, harus sering membaca
karya-karya penulis lain sehingga bertambahlah kosa kata. Dan di kedepannya
bisa membuat puisi yang lebih baik lagi dan dapat mengembangkan imajinasi,
sehingga karya sastra anak Medan dapat diakui. Juga, lebih banyak lagi
melahirkan seniman-seniman berbakat yang dapat menjadi seniman yang berkualitas
baik cerpen, maupun puisinya serta apapun yang berbau sastra. ***
Penulis, adalah alumni Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar