Cerpen : Dwi
Agustin Handayani
K
|
ini bulir embun hampir
mengering. Mentari kian meninggi di atas
kepala. Sendu hati telah berganti dengan ceria. Semangat pagi awali hari.
Lengkung senyum kian mengembang dalam sapa. Tiada guna gundah simpan dalam
dada.
“Uak........,” sapaku pada tetangga samping rumah yang
tengah menyapu dedaunan berserakan di halaman rumahnya.
“Yo, arek ke warung Bill?” balasnya ramah, dalam bahasa
Jawa
“Iya, Uak......” Tak lupa kukembangkan senyumku
Aku sengaja hari ini bolos kuliah. Sejak libur semester
membuatku malas bergegas kuliah. Saban pagi Emak menyuruhku berbelanja ke
warung membeli rempah-rempah atau sayuran untuk dimasak. Tanpa jenuh
kumelenggang berjalan kaki ke warung.
Setiap pagi pula kumenyaksikan hal yang sama. Very anak
tetangga yang tiap pagi merengek meminta uang saku pada Emaknya. Very anak
kelas dua SD, yang menurutku masih terlalu dini sudah memakai jel rambut milik abangnya terlihat
sedikit dewasa sebelum waktunya.
Dengan rambut gaya jabrik masa kini serta tas
gendong yang menurutku kebesaran untuknya dengan badan mungilnya kini telah
bergantung di punggungnya. Lembaran uang seribu telah berada dalam genggamannya
dengan senyum mengembang menghias pagi ini pastinya Very pergi ke sekolah tanpa
rengekan lagi.
Kebiasaan Uak
Udin yang saban pagi menyapu halaman rumah, hingga tiada satu daun pun yang
tertinggal tanpa sengaja. Kerutan di wajahnya tampak terlihat jelas. Usia yang
kian bertambah mungkin faktor utama. Tapi. tanpa absen pula kami bertegur sapa
saban pagi.
“Sekalian rumah Billy yah Uak....,” candaku.
“Tenang Wae Bill, gampang diatur,” balasnya.
Dan satu hal yang membuatku takjub. Adik sepupuku yang
saban pagi mencium tangan emaknya sebelum berangkat sekolah juga kusaksikan.
Begitu pula Umaknya yang tak pernah lupa membalasnya dengan cipika-cipiki (cium
pipi kanan dan kiri)
Serasa iri aku padanya. Karena setiap pergi sekolah aku
tak pernah melakukan rutinitas itu. Aku bukan pribadi yang selalu salim setiap ingin pergi ke mana pun termasuk
pergi sekolah. Mungkin karena tidak terbiasa. Semua itu terekam jelas dalam
memoriku. Kejadian yang setiap pagi kulihat.
Kali ini sebenarnya aku ingin menceritakan tentang
keluarga sepupuku itu. Rumahnya tak jauh dari rumahku, hanya kelang tiga rumah
saja. Hampir setiap hari aku berkunjung. Kadang mengantar sayur disuruh Emak. Atau
sekedar bermain dengan sepupu-sepupuku. Emak sering mengajarkanku berbagi walau
hanya sedikit. Padahal mereka jarang sekali berbagi pada kami. Sebulan pun
belum tentu mereka berbagi pada kami.
Emak bilang kalau berbagi harus ikhlas tidak boleh
diungkit nanti pahalanya hilang. Aku hanya tersenyum kalau Emak berceramah pada
adikku. Dan, setiap aku mengantar sayur matang untuk sarapan, mereka pasti
sedang makan sarapan. Yang aku herankan, mereka selalu makan bersama. Tanpa
kekurangan seorang anggotapun.
Kebersamaan
selalu mereka ciptakan. Keharmonisan dalam canda mereka lukis dalam kanvas
memori. Cerita hangat mereka tuang dalam cawan kejujuran. Serasa sempurna hidup
mereka. Satu sama lain saling pengertian dan saling memperhatikan. Seperti
keluarga awan putih.
Kenapa
kubilang keluarga awan putih? Karena jarang sekali ada keluarga seperti mereka.
Dan awan putih itu jauh sekali tak mungkkin kita raih. Mungkin hanya impian
jika keluargaku dapat seperti mereka. Jauh seperti yang dibayangkan.
Bahkan kerap
kali kudengar ayah dan emak bertengkar di depan kami hanya masalah uang belanja
yang tak cukup atau bahkan tak terpenuhi. Luka rasa hati ini menyaksikannya.
Aku juga tak tau walau begitu emak masih sering memberi sayur pada keluarga
terdekat.
Padahal
bibiku itu adalah ipar emak. Bukan adik kandungnya. Semoga suasana yang mereka
cipta selama ini bukan hanya sandiwara belaka. Jika itu terjadi keluarga mereka
benar-benar keluarga awan putih. Yang hanya putih dipandang kasat mata namun
nyata tak menduga seperti apa sebenarnya keputihannya tersebut.
Benar-benar
sucikah atau hanya sementara dan akan berganti menjadi mendung yang silih
berganti karena angin yang datang tanpa kejelasan membawa tumpukan awan putih
yang lain kemudian mengganggu ketenangan awan sebelumnya.
Dan kalian
tahu. Ternyata apa yang selama ini aku takutkan itu terjadi. Mereka runtuh
berkeping-keping. Ternya tiang yang selama ini mereka bangun tidak kokoh.
Beberapa minggu yang lalu aku mendengar kabar yang mencengangkan. Pamanku, ayah
dari sepupuku itu, berselingkuh dengan janda beranak dua.
Aku juga
turut berduka dan merasa tak percaya, ketika Seli sepupuku mencurahkan semuanya
padaku. Keluarga yang dibanggakannya kini berubah menjadi mendung yang
bercampur gundah. Muram menghiasi wajah mereka. Walau mereka selipkan dalam
canda, semua terlihat seperti semu belaka.
Apa yang
selama ini kita lihat dengan kasat mata belum tentu itu hal yang sebenarnya.
Dan, jangan remehkan hal yang belum tentu indah. Begitu pula dengan segala yang
indah, belum tentu itu keindahan yang sempurna dan nyata. ***
Dunia Koma Selasa, 05 februari 2013
Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muslim Nusantara Alwashliyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar