Jumat, 30 Agustus 2013

Keluarga Awan Putih (Sabtu, 3 Agustus 2013)

Cerpen : Dwi Agustin Handayani


K
ini bulir embun hampir mengering.  Mentari kian meninggi di atas kepala.  Sendu hati telah berganti  dengan ceria. Semangat pagi awali hari. Lengkung senyum kian mengembang dalam sapa. Tiada guna gundah simpan dalam dada.
            “Uak........,” sapaku pada tetangga samping rumah yang tengah menyapu dedaunan berserakan di halaman rumahnya.
            “Yo, arek ke warung Bill?” balasnya ramah, dalam bahasa Jawa
            “Iya, Uak......” Tak lupa kukembangkan senyumku
            Aku sengaja hari ini bolos kuliah. Sejak libur semester membuatku malas bergegas kuliah. Saban pagi Emak menyuruhku berbelanja ke warung membeli rempah-rempah atau sayuran untuk dimasak. Tanpa jenuh kumelenggang berjalan kaki ke warung.
            Setiap pagi pula kumenyaksikan hal yang sama. Very anak tetangga yang tiap pagi merengek meminta uang saku pada Emaknya. Very anak kelas dua SD, yang menurutku masih terlalu dini sudah memakai jel rambut milik abangnya terlihat sedikit dewasa sebelum waktunya.
 Dengan rambut gaya jabrik masa kini serta tas gendong yang menurutku kebesaran untuknya dengan badan mungilnya kini telah bergantung di punggungnya. Lembaran uang seribu telah berada dalam genggamannya dengan senyum mengembang menghias pagi ini pastinya Very pergi ke sekolah tanpa rengekan lagi.
Kebiasaan Uak Udin yang saban pagi menyapu halaman rumah, hingga tiada satu daun pun yang tertinggal tanpa sengaja. Kerutan di wajahnya tampak terlihat jelas. Usia yang kian bertambah mungkin faktor utama. Tapi. tanpa absen pula kami bertegur sapa saban pagi.
            “Sekalian rumah Billy yah Uak....,” candaku.
            “Tenang Wae Bill, gampang diatur,” balasnya.
            Dan satu hal yang membuatku takjub. Adik sepupuku yang saban pagi mencium tangan emaknya sebelum berangkat sekolah juga kusaksikan. Begitu pula Umaknya yang tak pernah lupa membalasnya dengan cipika-cipiki (cium pipi kanan dan kiri)
            Serasa iri aku padanya. Karena setiap pergi sekolah aku tak pernah melakukan rutinitas itu. Aku bukan pribadi yang selalu salim setiap ingin pergi ke mana pun termasuk pergi sekolah. Mungkin karena tidak terbiasa. Semua itu terekam jelas dalam memoriku. Kejadian yang setiap pagi kulihat.
            Kali ini sebenarnya aku ingin menceritakan tentang keluarga sepupuku itu. Rumahnya tak jauh dari rumahku, hanya kelang tiga rumah saja. Hampir setiap hari aku berkunjung. Kadang mengantar sayur disuruh Emak. Atau sekedar bermain dengan sepupu-sepupuku. Emak sering mengajarkanku berbagi walau hanya sedikit. Padahal mereka jarang sekali berbagi pada kami. Sebulan pun belum tentu mereka berbagi pada kami.
            Emak bilang kalau berbagi harus ikhlas tidak boleh diungkit nanti pahalanya hilang. Aku hanya tersenyum kalau Emak berceramah pada adikku. Dan, setiap aku mengantar sayur matang untuk sarapan, mereka pasti sedang makan sarapan. Yang aku herankan, mereka selalu makan bersama. Tanpa kekurangan seorang anggotapun.
Kebersamaan selalu mereka ciptakan. Keharmonisan dalam canda mereka lukis dalam kanvas memori. Cerita hangat mereka tuang dalam cawan kejujuran. Serasa sempurna hidup mereka. Satu sama lain saling pengertian dan saling memperhatikan. Seperti keluarga awan putih.
Kenapa kubilang keluarga awan putih? Karena jarang sekali ada keluarga seperti mereka. Dan awan putih itu jauh sekali tak mungkkin kita raih. Mungkin hanya impian jika keluargaku dapat seperti mereka. Jauh seperti yang dibayangkan.
Bahkan kerap kali kudengar ayah dan emak bertengkar di depan kami hanya masalah uang belanja yang tak cukup atau bahkan tak terpenuhi. Luka rasa hati ini menyaksikannya. Aku juga tak tau walau begitu emak masih sering memberi sayur pada keluarga terdekat.
Padahal bibiku itu adalah ipar emak. Bukan adik kandungnya. Semoga suasana yang mereka cipta selama ini bukan hanya sandiwara belaka. Jika itu terjadi keluarga mereka benar-benar keluarga awan putih. Yang hanya putih dipandang kasat mata namun nyata tak menduga seperti apa sebenarnya keputihannya tersebut.
Benar-benar sucikah atau hanya sementara dan akan berganti menjadi mendung yang silih berganti karena angin yang datang tanpa kejelasan membawa tumpukan awan putih yang lain kemudian mengganggu ketenangan awan sebelumnya.
Dan kalian tahu. Ternyata apa yang selama ini aku takutkan itu terjadi. Mereka runtuh berkeping-keping. Ternya tiang yang selama ini mereka bangun tidak kokoh. Beberapa minggu yang lalu aku mendengar kabar yang mencengangkan. Pamanku, ayah dari sepupuku itu, berselingkuh dengan janda beranak dua.
Aku juga turut berduka dan merasa tak percaya, ketika Seli sepupuku mencurahkan semuanya padaku. Keluarga yang dibanggakannya kini berubah menjadi mendung yang bercampur gundah. Muram menghiasi wajah mereka. Walau mereka selipkan dalam canda, semua terlihat seperti semu belaka.
Apa yang selama ini kita lihat dengan kasat mata belum tentu itu hal yang sebenarnya. Dan, jangan remehkan hal yang belum tentu indah. Begitu pula dengan segala yang indah, belum tentu itu keindahan yang sempurna dan nyata. ***


Dunia Koma Selasa, 05 februari 2013



Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muslim Nusantara Alwashliyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar