U
|
nsur penting lain dari teater adalah audience (penonton). Brockett mengatakan,
walaupun unsur pertama, materi pertunjukan ada, kemudian pertunjukannya tersaji
tetapi tanpa penonton, teater itu tidak terjadi. Pandangan seperti ini hampir disepakati banyak teoretisi seni, termasuk
M.H. Abrams yang menyusun teori sastra abad romantik.
Penonton mempunyai peranan penting dalam membangun sesuatu agar menjadi
teater. Salah satu yang paling jelas adalah bahwa antusiasme penonton
membangkitkan gairah pemain di panggung. Ini terjadi tatkala saya menyaksikan
Bengkel Teater Rendra dan Teater Koma, menggemar lakon ”Selamatan Anak Cucu Sulaiman”
(1989) dan ”Sampek Engtay” (2002) di Convention Hall Hotel Tiara Medan.
Begitu juga ketika saya menyaksikan ”Wek Wek” Teater Oncor karya D.
Djajakusuma sutradara Ray Sahetapy/Dewi Yull di Taman Ismail Marzuki Jakarta
(1994) atau drama bangsawan ”Puteri Hang Li Po” karya/sutradara Rahimidin
Zahari di Istana Budaya Pulaupinang, Malaysia (2004), penonton begitu menyesaki
gedung pertunjukan.
Mengapa penonton?
Mengamati interaksi antara panggung dan auditorium, bisa digunakan untuk
mengidentifikasikan tontonan yang sedang disaksikannya. Secara teoretik,
penonton ada banyak ragamnya. Ada penonton yang menonton teater untuk mencari
hiburan dan melupakan kesedihan yang sedang menerpa dirinya tetapi juga ada
penonton yang ingin memperoleh rangsangan pemikiran mendalam (insigt) tentang hidup.
Ada pula penonton yang telinganya ingin mendengar kritik-kritik sosial
tentang kebijakan pemerintah dan mendapatkan seni macam kelegaan batin
(katarsis) setelah mendengar umpatan itu, sebab, teater itu merupakan “loudspeaker” dari kemarahannya yang
mengendap dalam batinnya, akibat banyak kasus korupsi, misalnya, yang selalu
gagal ditangani.
Pengalaman menunjukkan bahwa tatkala di masa popoler Rendra, produksinya
yang bersifat kritik sosial, misalnya Mastodon
dan Burung Kondor, banyak mendapatkan sambutan penonton. Akan tetapi, ada
sementara dramawan yang mencoba mengangkat isu hangat di masyarakat, misalnya
Ratna Sarumpaet, tetapi respons penonton sedang-sedang saja.
Ini menunjukkan bahwa penonton sebenarnya tidak hanya menikmati isu,
tetapi, yang lebih penting lagi, mereka menonton suatu pertunjukan. Dengan
bahasa Brockett, bukan hanya materi tontonannya, apa-nya, yang penting tetap juga performance-nya, yakni bagaimana
materi itu dihidangkan.
Pengalaman menunjukkan bahwa penonton sadar bahwa teater tidak menyajikan
pengertian tunggal yang definitif, seperti yang dikemukakan oleh Osborne
(2001:234), kecuali mungkin penonton dari masyarakat pra-industri yang hidupnya
tidak dibayangi oleh deferensiasi. Dalam konteks ini, pertunjukan teater adalah
alat pembenar kebaikan umum. Ini tampak pada saat orang-orang di wilayah
pedesaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur menikmati tontonan tetapi lebih
merupakan kesempatan kumpul-kumpul. Situasi demikian ini juga memungkinkan
munculnya sikap fanatik terhadap sistem nilai tertentu.
Dengan demikian, dalam pertunjukan teater masa kini, jika dalam gedung ada
1.000 penonton, tafsir lakon itu juga ada 1.000. Oleh karena itu, pertunjukan
lakon Hamlet, misalnya, bisa
menimbulkan tafsir yang luar biasa ragamnya. Orang bisa melihat tema lakon itu
sebagai pemuda yang terlalu banyak pertimbangan sehingga tidak bisa bertindak
cepat dan tepat, sementara yang lain memandang lakon Hamlet sebagai gambaran seorang muda yang dikepung kebobrokan dan
kemerosotan moral generasi sebelumnya. Kebetulan, saya pernah berperan sebagai
Hamlet dalam lakon ”Abrakadabra alias Hamalet dalam Kebimbangan” di Taman
Budaya Medan (1994) dan Taman Ismail Marzuki Jakarta (1995).
Dengan tiga unsur dasar seperti disebut di atas, yakni: materi pertunjukan,
bagaimana pertunjukan itu berlangsung, dan penonton, pementasan teater bisa
menyajikan dengan amat bervariasi. Akan tetapi, ada dua hal yang pantas
diperhatikan. Pertama, apakah unsur-unsur dalam pentas itu disiapkan untuk
menyatu dalam satu fokus, atau kedua, unsur-unsur itu dibiarkan berdiri
sendiri-sendiri, sehingga lebih tampak sebagai manifestasi pluralistik, yang
mungkin malahan memberikan semacam permainan citraan. Tiba-tiba kita ingat
kata-kata Marshall Macluhan, “The media
Itself Is The Message”. Tampaknya, teater masa kini juga ada yang cenderung
menuju ke sana.
Satu lagi yang lantas diperhatikan bagaimana keseluruhan lakon itu mau
disajikan. Apakah akan menempuh cara membuat kejutan pada akhir pertunjukan,
dengan memainkan rasa ingin tahu (curiosity)
selama pertunjukan berlangsung ataukah penonton disuguhi pesona (taksu) yang bermunculan, seperti sajian
Teater Mandiri yang memainkan lakon-lakon Putu Wijaya. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar