Jumat, 30 Agustus 2013

Penonton Teater (Sabtu, 3 Agustyus 2013)




U
nsur penting lain dari teater adalah audience (penonton). Brockett mengatakan, walaupun unsur pertama, materi pertunjukan ada, kemudian pertunjukannya tersaji tetapi tanpa penonton, teater itu tidak terjadi. Pandangan seperti ini hampir disepakati banyak teoretisi seni, termasuk M.H. Abrams yang menyusun teori sastra abad romantik.
Penonton mempunyai peranan penting dalam membangun sesuatu agar menjadi teater. Salah satu yang paling jelas adalah bahwa antusiasme penonton membangkitkan gairah pemain di panggung. Ini terjadi tatkala saya menyaksikan Bengkel Teater Rendra dan Teater Koma,  menggemar lakon ”Selamatan Anak Cucu Sulaiman” (1989) dan ”Sampek Engtay” (2002) di Convention Hall Hotel Tiara Medan.
Begitu juga ketika saya menyaksikan ”Wek Wek” Teater Oncor karya D. Djajakusuma sutradara Ray Sahetapy/Dewi Yull di Taman Ismail Marzuki Jakarta (1994) atau drama bangsawan ”Puteri Hang Li Po” karya/sutradara Rahimidin Zahari di Istana Budaya Pulaupinang, Malaysia (2004), penonton begitu menyesaki gedung pertunjukan.
Mengapa penonton?
Mengamati interaksi antara panggung dan auditorium, bisa digunakan untuk mengidentifikasikan tontonan yang sedang disaksikannya. Secara teoretik, penonton ada banyak ragamnya. Ada penonton yang menonton teater untuk mencari hiburan dan melupakan kesedihan yang sedang menerpa dirinya tetapi juga ada penonton yang ingin memperoleh rangsangan pemikiran mendalam (insigt) tentang hidup.
Ada pula penonton yang telinganya ingin mendengar kritik-kritik sosial tentang kebijakan pemerintah dan mendapatkan seni macam kelegaan batin (katarsis) setelah mendengar umpatan itu, sebab, teater itu merupakan “loudspeaker” dari kemarahannya yang mengendap dalam batinnya, akibat banyak kasus korupsi, misalnya, yang selalu gagal ditangani.
Pengalaman menunjukkan bahwa tatkala di masa popoler Rendra, produksinya yang bersifat kritik sosial, misalnya Mastodon dan Burung Kondor, banyak mendapatkan sambutan penonton. Akan tetapi, ada sementara dramawan yang mencoba mengangkat isu hangat di masyarakat, misalnya Ratna Sarumpaet, tetapi respons penonton sedang-sedang saja.
Ini menunjukkan bahwa penonton sebenarnya tidak hanya menikmati isu, tetapi, yang lebih penting lagi, mereka menonton suatu pertunjukan. Dengan bahasa Brockett, bukan hanya materi tontonannya, apa-nya, yang penting tetap juga performance-nya, yakni bagaimana materi itu dihidangkan.
Pengalaman menunjukkan bahwa penonton sadar bahwa teater tidak menyajikan pengertian tunggal yang definitif, seperti yang dikemukakan oleh Osborne (2001:234), kecuali mungkin penonton dari masyarakat pra-industri yang hidupnya tidak dibayangi oleh deferensiasi. Dalam konteks ini, pertunjukan teater adalah alat pembenar kebaikan umum. Ini tampak pada saat orang-orang di wilayah pedesaan di Jawa Tengah dan Jawa Timur menikmati tontonan tetapi lebih merupakan kesempatan kumpul-kumpul. Situasi demikian ini juga memungkinkan munculnya sikap fanatik terhadap sistem nilai tertentu.
Dengan demikian, dalam pertunjukan teater masa kini, jika dalam gedung ada 1.000 penonton, tafsir lakon itu juga ada 1.000. Oleh karena itu, pertunjukan lakon Hamlet, misalnya, bisa menimbulkan tafsir yang luar biasa ragamnya. Orang bisa melihat tema lakon itu sebagai pemuda yang terlalu banyak pertimbangan sehingga tidak bisa bertindak cepat dan tepat, sementara yang lain memandang lakon Hamlet sebagai gambaran seorang muda yang dikepung kebobrokan dan kemerosotan moral generasi sebelumnya. Kebetulan, saya pernah berperan sebagai Hamlet dalam lakon ”Abrakadabra alias Hamalet dalam Kebimbangan” di Taman Budaya Medan (1994) dan Taman Ismail Marzuki Jakarta (1995).
Dengan tiga unsur dasar seperti disebut di atas, yakni: materi pertunjukan, bagaimana pertunjukan itu berlangsung, dan penonton, pementasan teater bisa menyajikan dengan amat bervariasi. Akan tetapi, ada dua hal yang pantas diperhatikan. Pertama, apakah unsur-unsur dalam pentas itu disiapkan untuk menyatu dalam satu fokus, atau kedua, unsur-unsur itu dibiarkan berdiri sendiri-sendiri, sehingga lebih tampak sebagai manifestasi pluralistik, yang mungkin malahan memberikan semacam permainan citraan. Tiba-tiba kita ingat kata-kata Marshall Macluhan, “The media Itself Is The Message”. Tampaknya, teater masa kini juga ada yang cenderung menuju ke sana.
Satu lagi yang lantas diperhatikan bagaimana keseluruhan lakon itu mau disajikan. Apakah akan menempuh cara membuat kejutan pada akhir pertunjukan, dengan memainkan rasa ingin tahu (curiosity) selama pertunjukan berlangsung ataukah penonton disuguhi pesona (taksu) yang bermunculan, seperti sajian Teater Mandiri yang memainkan lakon-lakon Putu Wijaya. ***

      

Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar