P
|
usat
Latihan Opera Batak (PLOt) pada 30-31 Agustus 2013 menggelar pementasan Opera
Batak di gedung utama Taman Budaya Sumatera Utara (TBSU), Jalan Perintis
Kemerdekaan 3 Medan. Kali ini mengusung cerita “Perempuan di Pinggir Danau”.
Lakon legenda Danau Toba ini sangat tepat mengangkat isu perempuan, air, dan
lingkungan.
Direktur Artistik PLOt sekaligus co-sutradara “Perempuan di
Pinggir Danau”, Thompson HS, dalam temu pers di TBSU, Kamis petang (29/08/2013)
mengatakan, opera yang dibawakan dengan campuran Bahasa Indonesia dan Bahasa
Batak Toba ini akan dimainkan di Siantar, Balige, Solo, Yogyakarta, Jakarta,
dan Koeln (Jerman).
Pentas keliling tahun 2013 ini rencananya akan diadakan ke
tiga tempat di Sumut (Medan, Siantar, Balige), Jawa (Bandung, Solo, Yogyakarta,
Jakarta) dan ke Koeln, Jerman dengan membawa cerita terbaru yang ditulis dalam
bentuk naskah oleh sutradara Lena Simanjuntak.
Konon, naskah “Perempuan di Pinggir Danau” yang ditulis dan
disutradarai Lena Simanjuntak ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris
oleh Mikhael Bodden, seorang teaterawan dari Universitas Kanada, ke dalam
Bahasa Jerman oleh Sabine Mueller, dan Bahasa Batak Toba oleh Thompson Hs
(Direktur PLOt) serta dengan transliterasi aksara varian Toba oleh Thompson Hs
dan Manguji Nababan (Batakolog).
Dalam waktu dekat, bentuk naskah dalam empat bahasa dan
aksara Toba itu akan diterbitkan dari Yogyakarta dan disebarkan ke
kantong-kantong kebudayaan dan lembaga formal di seluruh dunia.
Naskah “Perempuan di Pinggir Danau” menghantarkan kisah
Danau Toba melalui legendanya dan proses geologi yang mendebarkan dunia puluhan
ribu tahun lalu. Lakon ini akan dimainkan tujuh pemain dari Indonesia dan
Jerman dalam acara “Batak Day” di Rautenstrauch-Joest-Museum Koel, Jerman 2
November 2013.
Hm, opera Batak! Menurut catatan
penulis, jenis kesenian teater rakyat ini sempat merajai dunia hiburan di
Sumatera Utara. Hingga dekade 1980-an, opera
Batak merupakan tontonan menarik
meski diadakan di lapangan terbuka dengan resiko misbar(gerimis bubar). Pada masa jayanya, group opera jumlahnya mencapai 30-an. Di antaranya Serindo, Serada, Rompemas, Seribudi, Roos,
Ropeda, Serbungas, Roserda, Sermindo dan lain-lain.
Sebagaimana yang ada di Eropa, opera ini menyajikan cerita sandiwara
yang diselingi lagu-lagu, tari-tarian, dan lawak. Musik pengiringnya uning-uningan atau seperangkat alat
musik tradisional Batak yang
terdiri atas serunai, kecapi, seruling, garantung, odap, dan hesek.
Biasanya, panggungnya
sederhana namun cukup unik. Bentuknya menyerupai rumah adat Batak dan diberi hiasan gorga (ukiran khas Batak) serta nama operanya. Panggung
sengaja diberi lukisan atau properti sebagaimana tuntutan cerita. Sebuah tirai
penutup menjadi alat penghubung pergantian adegan atau bila acara berganti ke
selingan lagu, tari atau lawak.
Makanya, Opera Batak masa
lalu sama durasinya dengan film India. Apalagi kalau sang primadona mampu
menghipnotis penonton hingga saweran
banyak mengalir, tak jarang sebuah lagu dilama-lamakan. Penonton puas meski
pertunjukan usai dini hari. Tak peduli pulang menembus kegelapan malam. Maklum
saja, tidak seperti sekarang ini alat penerangan listrik pada masa itu belum
menjangkau pelosok pedesaan di Sumatera Utara.
Suasana panggung opera tempoe doeloe hanya diterangi lampu petromak yang lazim disebut
lampu gas, yang terkadang mesti diturunkan untuk menambah angin atau karena
kehabisan minyak. Mirip ludruk atau wayang
wong di Jawa, opera Batak biasanya berkeliling dari desa
ke desa. Sasarannya tentu desa yang baru selesai panen dengan tujuan agar
peluang menyedot penonton lebih terbuka.
Lama pementasan di sebuah desa
tergantung dari kondisi namun biasanya tidak sampai sebulan. Mengingat dunia
hiburan zaman dahulu terbilang langka, tidak heran bila kehadiran opera selalu ditunggu-tunggu
masyarakat.
Karena berlokasi di alam terbuka,
bukan suatu kejanggalan bila penontonnya duduk margobar atau mengenakan sarung atau selimut untuk melawan
dinginnya angin malam. Yang unik, bila tidak ada uang, tiket bisa digantikan
beras atau hasil sawah ladang asal sesuai dengan nilai tukar yang disepakati.
Kini, Opera Batak telah masuk kota.
Itu, berkat kegigihan Thompson yang sejak 2002 melakukan revitalisasi di
kawasan Pematangsiantar, tempat bermukim PLOt. Opera Batak sudah dilakukan penggaliannya beberapa kali. Grup Opera Silindung (GOS) sebagai
cikal-bakal PLOt sudah melakukan di Tarutung, Sipoholon, Medan, Jakarta,
Laguboti, Siantar, Bandung, menyusul Balige,
Solo, Yogyakarta, Jakarta, dan Koeln (Jerman).
Selamat. Horas!
***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar