Minggu, 08 September 2013

Si Perempuan Trembesi

Oleh: Winarti

Medan.

To We.
Australia.

We, Sulit kuuraikan langkah kakiku ke mana telah sampai.
Bagiku, tiada rasa selain bersamamu. Mungkin butuh waktu untuk kita duduk berdua. Masih terpenggal bait-bait kata yang dahulu kau jabarkan. Aku masih setia menunggu arti diammu. Aku tahu kau juga punya cinta seperti layaknya perempuan biasa.

Matamu yang selalu tajam menatap, menyimpan banyak cinta pada orang yang... kau sayang. Namun terkadang, segala yang tulus dari hati sulit diucapkan.

Trembesi-trembesi di kala senja itu saksinya, terpaan angin menghembusnya dapat menceritakan segala diammu.
Tentang segala hal yang tak proporsional.

We, jemumu yang bertutur layu padaku, sulit kutinggalkan. Padahal banyak bunga dalam hidupku yang mekar. Yang dalam sekejap dapat kupetik lalu kugenggam erat dalam dekapan.

Namun bungamu telah dalam mewangi di sanubari, entah mengapa hati bisa terpatri. Kenangan di bawah trembesi-trembesi kokoh jantung kota ini.

Banyak tanya yang harus kujawab, namun hati tak perlu dijawab. Kenapa aku berharap kau datang pulang.
Banyak makna yang harus kita diskusikan tentang isyarat yang kau tinggalkan.

Dalam Penantian, Januari 2013.

Kotak Hati Australia - Indonesia.
Untuk, Perempuan Trembesi.
            (Sebuah puisi yang ditulis oleh Araska Sastranegara).

P
enulis puisi ini tak jera. Saya sudah dua kali mengomentari tentang tulisannya dalam bentuk esai dan dibuat pada surat kabar ini juga: Desember 2012 dan Februari 2013. Saya katakan bahwa dalam salah satu esai, ia khilaf dalam menafsirkan tentang We –yang terinspirasi dari sosok Ainaya di novelet ”Jus Alpukat”- dan ia terlalu GR dalam menerka We.
            Tapi tetap saja ia menulis sajak atau surat lagi untuk We. Kali ini sangat muncul kesoktahuannya, tapi baiklah, masih tetap menarik untuk diikuti sibakan-sibakan sajaknya yang ini sebagai materi apresiasi puisi.
Kali ini “Si aku” muncul sebagai sosok yang mulai pandai memahami karakter We. Ia adalah tokoh yang mau belajar pelan-pelan untuk belajar menjelajahi rongga-rongga hati We. Dia tabah dengan sikap dingin dan misterius We. Ada penantian panjang yang dia lakukan untuk We. Dia sangat berharap besar bahwa perempuan diam itu akan meluluh di suatu hari nanti. Lalu dia akan tetap setia menunggu.
“Perempuan trembesi”, demikian si aku menjuluki We. Tentu ada alasan tersendiri mengapa si aku memanggilnya dengan itu. Mungkin karakter We sama persis dengan karakter pohon trembesi atau Samanea atau pohon hujan. Kokoh, misterius, sering dilewatkan begitu saja tapi memesona sebenarnya.
Mungkin We adalah gadis yang kokoh dengan prinsip hidupnya, menawan dengan caranya sendiri, orang lain tak menyukainya tapi justru seseorang yang penuh cinta saja yang akan bisa menangkap bahwa We juga adalah perempuan yang penuh dengan cinta. Buktinya ia tahu bahwa We sebenarnya adalah perempuan layaknya perempuan lain yang butuh cinta, baik dicintai maupun mencintai. Atau juga We disebut sebagai perempuan trembesi oleh si aku mungkin karena ia melihat betapa We menemukan kenyamanan, ketenangan, dan kemesraannya dengan trembesi. Mereka menyatu. Sangat.
Kebisuan si pohon juga seperti kebisuan We. Daunnya yang kerap mengatup mungkin juga simbol bahwa We adalah gadis yang tertutup, tapi di balik kebisuan tersebut ada cerita sebenarnya yang dibungkus dengan sangat hebat. Tertutup rapat. Kehebatan kisah yang dibungkus rapat itu adalah bahwa “Si aku” sangat merindukan si We. Dia menanti dan terus menanti.  Atau jangan-jangan si aku itu adalah Araska Sastranegara sendiri?
Araska Sastranegara –penulis sajak ini- adalah seorang pecinta sastra. Jangan ditanya sedalam apa ia mencintai sastra. Lihat saja status facebook-nya. Dia ngomong saja buat saya pada saat itu dia sedang berpuisi, walaupun dia hanya sekadar bergumam, “Hm.” Bongkar tasnya, kita akan menemukan ada buku penyair favoritnya. ”Tanpa buku itu, serasa ada yang kurang,” begitu katanya.
Orang yang mencintai sastra adalah orang yang mencintai kehidupan, akan selalu bahagia, awet muda, jauh dari stress. Sastra diciptakan dengan segala kecantikan dan keindahannya yang agung. Begitu dalamnya ia mencintai sastra, sampai-sampai nama penanya saja ada kata “Sastra”.
Meski begitu, ternyata si aku mengundurkan diri sejenak, dia menyerah sementara waktu. Lihatlah petikan sajaknya yang ditulis pada 5 Februari 2013 di bawah ini, seakan memperlihatkan betapa dingin dan kokohnya We dengan segala prinsipnya. Si aku tak mampu bertahan hanya dalam hitungan sebulan. Luar biasa pesona We.
Kepada We,

Kau telah menodai dan menaburkan luka di jiwaku, We. Aku pergi. Sejenak memeram luka yang amat dalam di tepian sunyi. Sedang cinta, biar kukirim melalui iring-iringan angin. Semoga sehat selalu bahagia kau kuharap dalam helaian detik dinginmu. Kau hancurkan aku, We. Tapi aku tetap menanti perempuan trembesiku.
Kotak hati Australia-Indonesia. Sebuah nama di ujung mataku.” ***

(Kuhadiahkan kepada Araska Sastranegara sebagai kado milad. Kandidat orang hebat!)



Winarti adalah novelis serta dosen Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar