Oleh: Winarti
To We.
We, Sulit kuuraikan langkah kakiku ke mana telah sampai.
Bagiku, tiada rasa selain bersamamu. Mungkin butuh waktu untuk kita duduk berdua. Masih terpenggal bait-bait kata yang dahulu kau jabarkan. Aku masih setia menunggu arti diammu. Aku tahu kau juga punya cinta seperti layaknya perempuan biasa.
Matamu yang selalu tajam menatap, menyimpan banyak cinta pada orang yang... kau sayang. Namun terkadang, segala yang tulus dari hati sulit diucapkan.
Trembesi-trembesi di kala senja itu saksinya, terpaan angin menghembusnya dapat menceritakan segala diammu.
Tentang segala hal yang tak proporsional.
We, jemumu yang bertutur layu padaku, sulit kutinggalkan. Padahal banyak bunga dalam hidupku yang mekar. Yang dalam sekejap dapat kupetik lalu kugenggam erat dalam dekapan.
Namun bungamu telah dalam mewangi di sanubari, entah mengapa hati bisa terpatri. Kenangan di bawah trembesi-trembesi kokoh jantung
Banyak tanya yang harus kujawab, namun hati tak perlu dijawab. Kenapa aku berharap kau datang pulang.
Banyak makna yang harus kita diskusikan tentang isyarat yang kau tinggalkan.
Dalam Penantian, Januari 2013.
Kotak Hati Australia - Indonesia.
Untuk, Perempuan Trembesi.
(Sebuah puisi yang ditulis oleh
Araska Sastranegara).
P
|
enulis puisi ini tak jera. Saya sudah dua kali mengomentari tentang
tulisannya dalam bentuk esai dan dibuat pada surat kabar ini juga: Desember
2012 dan Februari 2013. Saya katakan bahwa dalam salah satu esai, ia khilaf dalam
menafsirkan tentang We –yang
terinspirasi dari sosok Ainaya di novelet ”Jus
Alpukat”- dan ia terlalu GR dalam menerka We.
Tapi tetap saja ia menulis
sajak atau surat lagi untuk We. Kali ini sangat muncul kesoktahuannya, tapi
baiklah, masih tetap menarik untuk diikuti sibakan-sibakan sajaknya yang ini
sebagai materi apresiasi puisi.
Kali ini “Si aku” muncul sebagai sosok yang mulai pandai
memahami karakter We. Ia adalah tokoh yang mau belajar pelan-pelan untuk
belajar menjelajahi rongga-rongga hati We. Dia tabah dengan sikap dingin dan
misterius We. Ada penantian panjang yang dia lakukan untuk We. Dia sangat
berharap besar bahwa perempuan diam itu akan meluluh di suatu hari nanti. Lalu
dia akan tetap setia menunggu.
“Perempuan trembesi”, demikian si aku menjuluki We. Tentu
ada alasan tersendiri mengapa si aku memanggilnya dengan itu. Mungkin karakter
We sama persis dengan karakter pohon trembesi atau Samanea atau pohon hujan.
Kokoh, misterius, sering dilewatkan begitu saja tapi memesona sebenarnya.
Mungkin We adalah gadis yang kokoh dengan prinsip
hidupnya, menawan dengan caranya sendiri, orang lain tak menyukainya tapi
justru seseorang yang penuh cinta saja yang akan bisa menangkap bahwa We juga
adalah perempuan yang penuh dengan cinta. Buktinya ia tahu bahwa We sebenarnya
adalah perempuan layaknya perempuan lain yang butuh cinta, baik dicintai maupun
mencintai. Atau juga We disebut sebagai perempuan trembesi oleh si aku mungkin
karena ia melihat betapa We menemukan kenyamanan, ketenangan, dan kemesraannya
dengan trembesi. Mereka menyatu. Sangat.
Kebisuan si pohon juga seperti kebisuan We. Daunnya yang
kerap mengatup mungkin juga simbol bahwa We adalah gadis yang tertutup, tapi di
balik kebisuan tersebut ada cerita sebenarnya yang dibungkus dengan sangat hebat.
Tertutup rapat. Kehebatan kisah yang dibungkus rapat itu adalah bahwa “Si aku”
sangat merindukan si We. Dia menanti dan terus menanti. Atau jangan-jangan si aku itu adalah Araska
Sastranegara sendiri?
Araska Sastranegara –penulis sajak ini- adalah seorang
pecinta sastra. Jangan ditanya sedalam apa ia mencintai sastra. Lihat saja
status facebook-nya. Dia ngomong saja
buat saya pada saat itu dia sedang berpuisi, walaupun dia hanya sekadar
bergumam, “Hm.” Bongkar tasnya, kita akan menemukan ada buku penyair
favoritnya. ”Tanpa buku itu, serasa ada
yang kurang,” begitu katanya.
Orang yang mencintai sastra adalah orang yang mencintai
kehidupan, akan selalu bahagia, awet muda, jauh dari stress. Sastra diciptakan
dengan segala kecantikan dan keindahannya yang agung. Begitu dalamnya ia
mencintai sastra, sampai-sampai nama penanya saja ada kata “Sastra”.
Meski begitu, ternyata si aku mengundurkan diri sejenak,
dia menyerah sementara waktu. Lihatlah petikan sajaknya yang ditulis pada 5
Februari 2013 di bawah ini, seakan memperlihatkan betapa dingin dan kokohnya We
dengan segala prinsipnya. Si aku tak mampu bertahan hanya dalam hitungan sebulan.
Luar biasa pesona We.
Kepada We,
Kau telah menodai dan menaburkan luka di jiwaku, We. Aku pergi. Sejenak
memeram luka yang amat dalam di tepian sunyi. Sedang cinta, biar kukirim
melalui iring-iringan angin. Semoga sehat selalu bahagia kau kuharap dalam
helaian detik dinginmu. Kau hancurkan aku,
We. Tapi aku tetap menanti perempuan trembesiku.
Kotak hati Australia-Indonesia. Sebuah nama di ujung mataku.” ***
(Kuhadiahkan kepada Araska Sastranegara sebagai kado milad. Kandidat orang
hebat!)
Winarti adalah novelis serta dosen
Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UMSU
Tidak ada komentar:
Posting Komentar