Jumat, 30 Agustus 2013

Teks Teater (Sabtu, 27 Juli 2013)



H
AL utama dan pertama yang harus dimiliki teater adalah teks, atau apa yang dipertunjukkan alias materi pertunjukannya. Materi ini bisa dari berbagai wujud, dari berbagai macam lakuan (lakon) hingga tragedi karangan Sophocles, Shakespeare, atau Henrik Ibsen.
Dalam suatu pertunjukan terkandung unsur bercerita (storyteeling) dan pemeranan (impersonation). Materi yang disajikan dalam pertunjukan teater itu, amat sangat boleh jadi, dituangkan dari teks tertulis (written text), baik merupakan teks yang utuh, komplit, yang secara teoritik sering disebut fully-fegged..Teks tertulis yang demikian ini hampir banyak sekali kita temui dalam berbagai pengalaman berteater kontemporer.
Di sana, dalam teks tertulis semacam itu, dapat dilihat dua unsur teks yang sangat jelas, yakni apa yang disebut haupttext atau teks utama yang terdiri dari nama tokoh dan dialognya dan neben text atau teks sekunder, yang terciri dari petunjuk pelaksanaan pentas, yang sering disebut juga directions.
Pada lakon-lakon klasik Yunani dan Neo–klasik di Inggris, misalnya lakon-lakon karya William Shakespeare dan Chistopher Marlowe, neben teks tidak banyak kita temukan. Akan tetapi, pada lakon-lakon gaya realisme, misalnya karya-karya Henrik Ibsen, August Strindberg dan juga George Bernard Shaw, neben texts-nya bermunculan banyak sekali.
Lakon-lakon avant garde, seperti En Attendant Godot karya Samuel Beckett, The Zoo Story karya Edward Albee, La Lecon karya Eugene Ionesco terkadang menunjukkan gejala banyaknya neben text. Hal-hal semacam ini, yang tampak dalam teks itu, mungkin sekali berguna bagi para sutradara untuk mengidentifikasikan teks dan kemudian menentukan sikap apa yang setepat-tepatnya dilakukan untuk mengangkat teks dari dalam wujud jagad kata (verbal world) menjadi sajian yang menjadi sasaran hampir kelima indera manusia.
Dari neben text yang tampak dominan, misalnya karya-karya George Bernard Shaw, terasa bahwa sifat absolut lakon itu kuat sekali. Sejarah menunjukkan bahwa Shaw memang tidak terlalu percaya kepada sutradara. Sikap yang sama juga tampak pada Samuel Beckett.
Sementara itu, ada juga teks yang tidak utuh, misalnya tampak teks-teks teater tradisi yang populer di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Adapun teater dimaksud adalah kethoprak. Teks tertulis, boleh dikatakan, tidak ada. Yang tersedia, di balik wings ada papan tulis besar. Di sana, pada papan itu, tertulis sejumlah adegan tertulis: Nama tempat, yang hadir pada adegan itu, topik pembicaraan dan perkembangan pembicaraan, iringan orkestrasi dan durasi pembicaraan. Rinci-rinci dialognya dielakkan secara improvisatoris.
Ada pula teks yang hanya menggambarkan apa yang dilakukan pemain, misalnya lima orang aktor dan lima orang aktris muncul bersama-sama dari arah panggung yang berlawanan. Mereka masing-masing kelompok menyuarakan kata-kata yang tidak begitu jelas maksudnya: “pyobs, pyobs, pyobs” yang ditingkahi dengan ucapan: “iyeh,iyeh, iyeh…”
Teks-teks seperti itu adalah kelompok teater yang oleh Goenawan Muhammad disebut Teater Mini Kata.  Di sini, komunikasi verbal antara panggung mungkin tak penting. Yang penting, bunyi itu sendiri ditingkahi dengan berbagai citraan yang bergerak-gerak dan cahaya itulah yang penting.
Jika dalam teater itu ada teks, diduga, semua gerak yang dilakukan oleh aktor di atas pentas tidak tercantum pada nebentext, sehingga orang mendapatkan kesan sebagai gerak mereka sama dari satu pertunjukan ke pertunjukan lain. Gerakan-gerakan itu, ternyata, bahkan sudah dirancang dengan sangat rinci pada saat latihan.
Oleh karena itu, walaupun sebutannya Teater Mini Kata dan dikenal sebagai teater yang merupakan hasil latihan improvisasi di Bengkel Teater pada akhir tahun 1960-an di Yogyakarta, namun, dalam praktik, permainan mereka menunjukkan disiplin yang sangat tinggi. Sekurangnya tidak seperti pada teater tradisional atau teater kerakyatan. ***

      


Suyadi San, adalah peneliti di Balai Bahasa Sumatera Utara Kemdikbud dan Litbang Harian Mimbar Umum serta dosen Sastra Indonesia di FBS Unimed, FKIP UMSU, dan UISU. Aktif bersastra dan berteater. Menyelesaikan Magister Sains Antropologi Sosial pada Sekolah Pascasarjana Universitas Negeri Medan.  

 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar