H
|
AL utama dan
pertama yang harus dimiliki teater adalah teks, atau apa yang dipertunjukkan
alias materi pertunjukannya. Materi ini bisa dari berbagai wujud, dari berbagai
macam lakuan (lakon) hingga tragedi karangan Sophocles, Shakespeare, atau
Henrik Ibsen.
Dalam suatu pertunjukan terkandung unsur bercerita (storyteeling) dan pemeranan (impersonation).
Materi yang disajikan dalam pertunjukan teater itu, amat sangat boleh jadi,
dituangkan dari teks tertulis (written
text), baik merupakan teks yang utuh, komplit, yang secara teoritik sering
disebut fully-fegged..Teks tertulis
yang demikian ini hampir banyak sekali kita temui dalam berbagai pengalaman
berteater kontemporer.
Di sana, dalam teks tertulis semacam itu, dapat dilihat dua unsur teks yang
sangat jelas, yakni apa yang disebut haupttext
atau teks utama yang terdiri dari nama tokoh dan dialognya dan neben text atau teks sekunder, yang
terciri dari petunjuk pelaksanaan pentas, yang sering disebut juga directions.
Pada lakon-lakon klasik Yunani dan Neo–klasik di Inggris, misalnya
lakon-lakon karya William Shakespeare dan Chistopher Marlowe, neben teks tidak banyak kita temukan.
Akan tetapi, pada lakon-lakon gaya realisme, misalnya karya-karya Henrik Ibsen,
August Strindberg dan juga George Bernard Shaw, neben texts-nya bermunculan banyak sekali.
Lakon-lakon avant garde, seperti En Attendant Godot karya Samuel Beckett,
The Zoo Story karya Edward Albee, La Lecon karya Eugene Ionesco terkadang
menunjukkan gejala banyaknya neben text.
Hal-hal semacam ini, yang tampak dalam teks itu, mungkin sekali berguna bagi
para sutradara untuk mengidentifikasikan teks dan kemudian menentukan sikap apa
yang setepat-tepatnya dilakukan untuk mengangkat teks dari dalam wujud jagad
kata (verbal world) menjadi sajian
yang menjadi sasaran hampir kelima indera manusia.
Dari neben text yang tampak
dominan, misalnya karya-karya George Bernard Shaw, terasa bahwa sifat absolut
lakon itu kuat sekali. Sejarah menunjukkan bahwa Shaw memang tidak terlalu
percaya kepada sutradara. Sikap yang sama juga tampak pada Samuel Beckett.
Sementara itu, ada juga teks yang tidak utuh, misalnya tampak teks-teks
teater tradisi yang populer di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur. Adapun teater
dimaksud adalah kethoprak. Teks
tertulis, boleh dikatakan, tidak ada. Yang tersedia, di balik wings ada papan tulis besar. Di sana,
pada papan itu, tertulis sejumlah adegan tertulis: Nama tempat, yang hadir pada
adegan itu, topik pembicaraan dan perkembangan pembicaraan, iringan orkestrasi
dan durasi pembicaraan. Rinci-rinci dialognya dielakkan secara improvisatoris.
Ada pula teks yang hanya menggambarkan apa yang dilakukan pemain, misalnya
lima orang aktor dan lima orang aktris muncul bersama-sama dari arah panggung yang
berlawanan. Mereka masing-masing kelompok menyuarakan kata-kata yang tidak
begitu jelas maksudnya: “pyobs, pyobs,
pyobs” yang ditingkahi dengan ucapan: “iyeh,iyeh,
iyeh…”
Teks-teks seperti itu adalah kelompok teater yang oleh Goenawan Muhammad
disebut Teater Mini Kata. Di sini, komunikasi verbal antara panggung
mungkin tak penting. Yang penting, bunyi itu sendiri ditingkahi dengan berbagai
citraan yang bergerak-gerak dan cahaya itulah yang penting.
Jika dalam teater itu ada teks, diduga, semua gerak yang dilakukan oleh
aktor di atas pentas tidak tercantum pada nebentext,
sehingga orang mendapatkan kesan sebagai gerak mereka sama dari satu
pertunjukan ke pertunjukan lain. Gerakan-gerakan itu, ternyata, bahkan sudah
dirancang dengan sangat rinci pada saat latihan.
Oleh karena itu, walaupun sebutannya Teater Mini Kata dan dikenal sebagai
teater yang merupakan hasil latihan improvisasi di Bengkel Teater pada akhir
tahun 1960-an di Yogyakarta, namun, dalam praktik, permainan mereka menunjukkan
disiplin yang sangat tinggi. Sekurangnya tidak seperti pada teater tradisional
atau teater kerakyatan. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar