Jumat, 30 Agustus 2013

GELANGGANG SAJAK : Leily Nirwani, Halim Mansyur Siregar (Sabtu, 24 Agustus 2013)


Leily Nirwani :
Elegi Rindu Wanita Tua

Ini kali kedua belas tahun penantian terangkum
berwaktu-waktu lisan memunajat rindu dan hampir terlipat di bangku rapuh
lalu di bangku reo t itu beribu tanya menapak resah :
; apakah usia yang layu ini bersedia menunggu, untuk kita mengukir temu

Sepi-rindu dibuai waktu
semakin menyempurna pula kala lembayung syawal menjelma
sebentar lagi langit akan menyalakan kembang rembulan
dan gemintang terpaksa membasuh kilaunya untuk sementara
kali ini, wanita tua berkutat diam hanya memikirkan mata, tawa, liukan langkah serta tarian kecil anaknya yang sungguh membuat rindu semakin meraja
masih sama seperti dulu, di malam syawal gerimis kuyup di kerudung kumal 
terlebih lagi, tetangga sebelah bersuka ria anak berkumpul di hari raya
wanita tua ingin laungkan rasa kecewa :
; anak yang jauh, cucu yang dicita tak kunjung tiba dan tiada berkirim kabar.

Entah sampai kapan perahu rindu kan dikayuh
sementara laut semakin membuih pilu
dan angin haluan mengundang gaduh
di tikungan cemas, ada sederet ragu yang melintas
meragu tentang jasad yang akan berpulang atau pertemuan yang hanya bayang
             


Berhijab bukan Semusim

Setelah maghfirah menerbitkan fitrah. Semestinya kita senantiasa mengukuhkan ibadah ; ibadah sholat-puasa-sedekah ibadah apa saja demi menjalankan syariat agar tak lupa untuk mendekat dan sememangnya kita harus semakin taat. Setelah kepergian ramadhan, lailatul qadar tak lagi mensejahterakan hingga fajar. Rangkaian tarawih dan witir pun berakhir, kini berganti dengan takbir.
Setelah maghfirah menerbitkan fitrah. Semestinya kerudung tetap melilit mahkota agar aurat  terjaga selamanya. Bukan pula bermukim hanya semusim di bulan puasa. Namun, berhijab pekara wajib bagi muslimah yang mesti dikenakan dengan istiqomah. Terlebih lagi, bukan untuk mengharap puji tetapi semata karena ilahi.  


 Berhari Raya Tanpa Mak dan Ayah

Tempat tak bertiang itu baru saja berganti wajah setelah puas memandikan semesta. Rerintik kali ini memang lebih gemericik dibanding kemarin, tak ada jejak yang menapak di halaman muka bersebab tempias tersesat dan memercik ke teluk wajah. Andai bisa kulipat jarak menjadi dekat dan kukayuh langkah menuju rumah. Saat ini kita kan bersama hingga hasil peluh yang luruh dapat kubagi meski air mata yang mewakili.  

Mak,Yah ! Di sini aku baik-baik saja, apakah kalian di sana begitu juga ?
Jangan semakin merindukanku ketika ketupat telah matang di tungku, dan jangan pula menimbah asa tentang kepulanganku di hari raya. Hanya sepaket maaf yang dapat kukirim dari seberang bersebab temu takkan mengambang.

Mak,Yah !. Tempias ini terlalu sulit nak kukuras dan kutahu kalian pun begitu, hingga tangis tergenang di bilik-bilik remang. Aku tetap tak bisa pulang di hari nan fitri meskipun hanya sehari. Uang ringgit yang digenggam masih kurang, belum bisa mengganti menu cercaan (merica-empedu) yang terlalu lama di api-periuk kita. Meski berhari raya tanpa mak dan ayah, meski sulit nak kupunggah laut nasib. Aku kan berkarib dengan ketegaran sekalipun bermatian memagut peruntungan di rantau orang.


Maaf Sebenar Memaafkan
           
Adalah memaafkan penenang jiwa
menenang dendam dan amarah 
qolbu pun tersenyum
martabat terangkat menjadi harum

Jangan lagi menyulam dendam yang tak berkesudahan
ataupun merasa segan untuk mengulur salam 
hati adalah tempat yang harus dicuci
bukan dengan berbagai pewangi
tetapi dengan bermaafan di hari nan fitri

Sepuluh jari takkan mengikat silaturrahmi
jika hanya gerak di bibir,
tanpa rentak di hati dan senafas di qalbu
antara ikhlas dan tulus bertemu
bermaafan menjadi satu
maaf sebenar memaafkan


                Leily Nirwani adalah gadis Melayu yang lahir di Desa Guntung Batubara, 28 Maret 1989. Produktif menulis puisi sejak memasuki mata kuliah telaah puisi dan bergabung di WSC (Win’s Sharing Club). Beberapa kali juara lomba cipta puisi. Di antaranya, Juara III lomba cipta puisi dalam acara Ikatan Mahasiwa Muhammadiyah Sport and Art Competition (IMMSAC) FKIP UMSU 2012. Juara I lomba cipta puisi dalam rangka hari puisi nasional yang diselenggarakan oleh HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara. Sejumlah puisi pernah dimuat di Medan Bisnis dan Harian Analisa serta antologi seperti Ini Tentangmu Perempuanku, Kanvas Sastra, Goresan Pena Anak Medan, serta Rinai-rinai Imaji. 


Halim Mansyur  Siregar :
Masih Saja Ditemani Gulita

Di dadaku ada sebentuk tanda tanya
mengapa setelah sang malam tiba
hari demi hari langit di atas sana
kedatangannya selalu saja ditemani gulita
bahkan ketika berjanji hendak mengajak sang purnama
sosok gerhanapun muncul menghalanginya


Tak Ingin Aku Serupa Mereka

Di antara kepingan malam yang bertebaran
di mana resah telah menjadi rumah
ada yang berbisik di telinga waktu
usah terlalu berharap dapat menyulap gelap menjadi gemerlap
sebab, adalah keanehan yang tak lagi dianggap asing di negeri ini
jiwa-jiwa kerdil memaksakan diri menampung kekuasaan yang demikian besar
larut dalam imajinasi bahwa namanya-lah yang mensucikan seantero bumi
dan memang aku tak ingin serupa mereka
entahlah, mungkin jabatan dan harta benda memang bukan jodohku




Tidak ada komentar:

Posting Komentar