Leily Nirwani :
Elegi Rindu
Wanita Tua
Ini kali kedua belas tahun
penantian terangkum
berwaktu-waktu lisan memunajat
rindu dan hampir terlipat di bangku rapuh
lalu di bangku reo t itu beribu tanya menapak resah :
; apakah usia yang layu ini
bersedia menunggu, untuk kita mengukir temu
Sepi-rindu dibuai waktu
semakin menyempurna pula kala
lembayung syawal menjelma
sebentar lagi langit akan menyalakan kembang rembulan
dan gemintang terpaksa membasuh
kilaunya untuk sementara
kali ini, wanita tua berkutat
diam hanya memikirkan mata, tawa, liukan langkah serta tarian kecil anaknya yang sungguh
membuat rindu semakin meraja
masih sama seperti dulu, di
malam syawal gerimis kuyup di kerudung kumal
terlebih lagi, tetangga sebelah
bersuka ria anak berkumpul di hari raya
wanita tua ingin laungkan rasa
kecewa :
; anak yang jauh, cucu yang
dicita tak kunjung tiba dan tiada berkirim kabar.
Entah sampai kapan perahu rindu
kan dikayuh
sementara laut semakin membuih
pilu
dan angin haluan mengundang
gaduh
di tikungan cemas, ada sederet ragu yang melintas
meragu tentang jasad yang akan berpulang atau pertemuan
yang hanya bayang
Berhijab bukan Semusim
Setelah
maghfirah menerbitkan fitrah. Semestinya kita senantiasa mengukuhkan ibadah ;
ibadah sholat-puasa-sedekah ibadah apa saja demi menjalankan syariat agar tak
lupa untuk mendekat dan sememangnya kita harus semakin taat. Setelah kepergian
ramadhan, lailatul qadar tak lagi mensejahterakan hingga fajar. Rangkaian
tarawih dan witir pun berakhir, kini berganti dengan takbir.
Setelah
maghfirah menerbitkan fitrah. Semestinya kerudung tetap melilit mahkota agar
aurat terjaga selamanya. Bukan pula
bermukim hanya semusim di bulan puasa. Namun, berhijab pekara wajib bagi
muslimah yang mesti dikenakan dengan istiqomah. Terlebih lagi, bukan untuk
mengharap puji tetapi semata karena ilahi.
Berhari Raya
Tanpa Mak dan Ayah
Tempat tak bertiang itu baru
saja berganti wajah setelah puas memandikan semesta. Rerintik kali ini memang
lebih gemericik dibanding kemarin, tak ada jejak yang menapak di halaman muka
bersebab tempias tersesat dan memercik ke teluk wajah. Andai bisa kulipat jarak
menjadi dekat dan kukayuh langkah menuju rumah. Saat ini kita kan bersama
hingga hasil peluh yang luruh dapat kubagi meski air mata yang mewakili.
Mak,Yah ! Di sini aku baik-baik
saja, apakah kalian di sana begitu juga ?
Jangan semakin merindukanku
ketika ketupat telah matang di tungku, dan jangan pula menimbah asa tentang
kepulanganku di hari raya. Hanya sepaket maaf yang dapat kukirim dari seberang
bersebab temu takkan mengambang.
Mak,Yah !.
Tempias ini terlalu sulit nak kukuras dan kutahu kalian pun begitu, hingga
tangis tergenang di bilik-bilik remang. Aku tetap tak bisa pulang di hari nan
fitri meskipun hanya sehari. Uang ringgit yang digenggam masih kurang, belum
bisa mengganti menu cercaan (merica-empedu) yang terlalu lama di api-periuk
kita. Meski berhari raya tanpa mak dan ayah, meski
sulit nak kupunggah laut nasib. Aku kan berkarib dengan
ketegaran sekalipun bermatian memagut peruntungan
di rantau orang.
Maaf Sebenar
Memaafkan
Adalah memaafkan penenang jiwa
menenang dendam dan amarah
qolbu pun tersenyum
martabat terangkat menjadi harum
Jangan lagi menyulam dendam yang tak berkesudahan
ataupun merasa segan untuk mengulur salam
hati adalah tempat yang harus dicuci
bukan dengan berbagai pewangi
tetapi dengan bermaafan di hari nan fitri
Sepuluh jari takkan mengikat silaturrahmi
jika hanya gerak di bibir,
tanpa rentak di hati dan senafas di qalbu
antara ikhlas dan tulus bertemu
bermaafan menjadi satu
maaf sebenar memaafkan
Leily Nirwani adalah gadis Melayu yang lahir di Desa Guntung
Batubara, 28 Maret 1989. Produktif menulis puisi sejak
memasuki mata kuliah telaah puisi dan bergabung di WSC (Win’s Sharing Club).
Beberapa kali juara lomba cipta puisi. Di antaranya, Juara III lomba cipta puisi dalam acara Ikatan Mahasiwa Muhammadiyah Sport
and Art Competition (IMMSAC) FKIP UMSU 2012. Juara I lomba cipta puisi dalam rangka hari puisi nasional yang
diselenggarakan oleh HMJ Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah
Sumatera Utara. Sejumlah puisi pernah dimuat di Medan Bisnis dan Harian
Analisa serta antologi seperti Ini
Tentangmu Perempuanku, Kanvas Sastra, Goresan Pena Anak Medan, serta
Rinai-rinai Imaji.
Halim Mansyur Siregar :
Masih Saja
Ditemani Gulita
Di dadaku ada sebentuk tanda tanya
mengapa setelah sang malam tiba
hari demi hari langit di atas sana
kedatangannya selalu saja ditemani gulita
bahkan ketika berjanji hendak mengajak sang purnama
sosok gerhanapun muncul menghalanginya
Tak Ingin
Aku Serupa Mereka
Di antara kepingan malam yang bertebaran
di mana resah telah menjadi rumah
ada yang berbisik di telinga waktu
usah terlalu berharap dapat menyulap gelap menjadi
gemerlap
sebab, adalah keanehan yang tak lagi dianggap asing di
negeri ini
jiwa-jiwa kerdil memaksakan diri menampung kekuasaan yang
demikian besar
larut dalam imajinasi bahwa namanya-lah yang mensucikan
seantero bumi
dan memang aku tak ingin serupa mereka
entahlah, mungkin jabatan dan harta benda memang bukan
jodohku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar