Jumat, 30 Agustus 2013

Mengupas Konsep “MU/ENGKAU” pada Puisi “Padamu Jua” Amir Hamzah (Sabtu, 27 Juli 2013)

Oleh : Latifah Harahap


B
erulang-ulang saya terpikir oleh pertanyaan salah satu dosen saya, yang memberi pertanyaan tentang konsep “MU” pada puisi Padamu Jua karya Amir Hamzah. Saya lihat air muka seorang teman yang sedang berpikir tentang pertanyaan itu. Kelihatannya ia bingung, membuat saya menjadi tertarik juga untuk menelusurinya.
            Seyogyanya konsep Engkau atau Mu dalam sebuah karya sastra dapat menunjukkan atau bertuju pada konsep manusia, tuhan, alam, dan makhluk yang sifatnya abstrak. Saya menebak-nebak konsep itu dalam pikiran dengan menyandingkan latar belakang sang sastrawan.
Amir Hamzah, yang lahir di Tanjungpura, Langkat, 28 Februari 1911, tumbuh dalam keluarga bangsawan Kesultanan Langkat, Sumatera Utara sekarang. Kesultanan Langkat adalah salah satu kerajaan Melayu, yang di awal abad ke-20 merupakan kerajaan paling makmur berkat dibukanya perkebunan dan ditemukannya tambang minyak di Pangkalan Brandan.
Amir hamzah merupakan seorang yang dapat dibilang termasuk religius dalam mencintai tuhannya. Puisi-puisi Amir Hamzah lahir dari pengalaman dunia batinnya itu yang penuh gejolak dan guncangan secara ekspresif. Puisi memang mengekspresikan pengalaman seorang penyair, yang oleh pengalamannya yang dahsyat seringkali terombang-ambing antara kebahagiaan dan kesedihan, antara suka dan duka, antara kegembiraan dan kepedihan.
Semua pengalaman dahsyat selalu mendesak untuk diekspresikan ke sebuah imajiner-imajiner kecil. Dari latar belakang itu dapat kita sedikit simpulkan bahwa boleh yakin puisi amir hamzah itu di tujukan untuk tuhan karena kecintaannya pada Tuhannya.

Habis kikis
segala cintaku hilang terbang
pulang kembali aku padamu
seperti dahulu

            Dari potongan puisi itu, merupakan habis kikis segala cintaku hilang terbang, yakni kecintaannya pada dunia yang sudah terkikis pulang kembali kepada tuhannya seperti dahulu, mungkin ia sejenak telah melupakan tuhannya dan kembali pada tuhannya.

Kaulah kandil kemerlap
pelita jendela di malam gelap
melambai pulang perlahan
sabar, setia selalu.

            “Kau” lah kandil kemerlap, pelita jendela di malam gelap, berarti Tuhan yang senantiasa menjadi penerang hidup walaupun pada saat kita sedang dalam kegelapan dosa atau kekufuran kehidupan, namun Tuhan tetap sabar, setia menerima kita kembali ke jalan yang benar dengan mengingatnya

Satu kekasihku
aku manusia
rindu rasa
rindu rupa.

            Menandakan bahwa Tuhan merupakan satu-satunya yang tetap menemani di kala “aku” sedang dalam kehampaan, namun si “aku” merupakan manusia yang rindu akan rupa Tuhannya walaupun ia tak bisa melihat langsung bias tuhannya, karena hakikatnya Tuhan tidak bisa kita lihat, sedangkan rindu rasa merupakan kerinduan “Aku” pada kasih sayang sang pencipta yang mungkin telah ia tinggalkan karena kehidupan duniawi.
Di mana engkau/rupa tiada/suara sayup/hanya kata merangkai hati//, si “aku” mencari-cari di mana tuhannya, dia hanya bisa merangkai sebuah kecintaan pada tuhannya di dalam hati.

Engkau cemburu
engkau ganas
mangsa aku dalam cakarmu
bertukar tangkap dengan lepas

                Sungguh Tuhan merupakan pencemburu yang paling hebat, yang tak menginginkan hambanya mencintai lebih dari tuhannya. Engkau ganas, dalam arti banyak peringatan Tuhan kepada hambaNya yang lalai dan di jalan yang salah.
Mangsa aku dalam cakarmu merupakan keinginan “aku” mendapatkan Ridho dari Tuhan yang maha kuat.  Bertukar tangkap dengan lepas mencerminkan sikap hamba yang harus seimbang antara kehidupan duniawiah dan kehidupan dengan tuhannya.

Nanar aku, gila sasar
sayang berulang padamu jua
engkau pelik menarik ingin
serupa dara di balik tirai

Kasihmu sunyi
menunggu seorang diri
lalu waktu - bukan giliranku
mati hari - bukan kawanku.

            Dari kutipan di atas dapat diambil makna bahwa sayang “Aku” kembali pada sang penciptanya. Yang menarik hambanya untuk kembali serupa “Dara di balik tirai” yang sunggu memesona walaupun tak tampak secara langsung. Kasih Tuhan itu Abadi kepada hambanya dan dengan Mati Lah si “Aku” dapat menemui Cinta nya atau kekasihnya yaitu tuhan.
            Jadi Konsep “Mu” dalam puisi tersebut bertuju kepada sang khalik kepada tuhannya yang sungguh abadi. Diperjelas dengan Latar belakang Amir Hamzah yang religius dan taat kepada tuhannya. ***



                                    Penulis merupakan Mahasiswa FKIP UMSU

Tidak ada komentar:

Posting Komentar