Oleh: Ria
Ristiana Dewi
M
|
embaca puisi juga perlu manajemen yang baik. Jika
baca puisi ibarat memainkan parodi, maka pembacaan puisi dianggap gagal memenuhi teknik penampilan.
Akhirnya, tawa penonton-lah yang akan bergema di ruangan. Terlebih, sulit
ditemukan puisi dengan tambahan anekdot, sehingga seyogiyanya puisi memiliki
tingkat penafsiran dari sedih, senang, haru, sendu, kritis, dan perjuangan. Untuk
memenuhi penafsiran tersebut, membaca puisi dirasa perlu menampilkan kinesika
yang baik. Selain itu ada banyak penilaian, mulai dari volume, artikulasi,
warna suara, efektivitas, dan estetika.
Volume adalah
tinggi rendahnya suara pada saat membacakan puisi. Terkadang, kita perlu
memberikan batas mana yang harus ber-volume tinggi dan mana yang harus
ber-volume rendah. Jika ada kata-kata yang perlu penekanan untuk
memberikan penyampaian makna penting dan inti pada puisi, tentu saja volume
sedang hingga tinggi perlu diterapkan. Biasanya volume seperti ini
dilakukan pada pembacaan puisi-puisi perjuangan dan keagamaan. Sementara itu,
puisi-puisi seperti puisi cinta justru cenderung memaknainya dengan nada rendah
dan mendalam, seperti berbisik, namun tetap terdengar oleh penonton.
Kedua, artikulasi adalah
pengucapan kata demi kata pada pembacaan puisi dengan jelas. Seperti yang kita
ketahui, puisi merupakan karya sastra yang memakai pilihan kata-kata kias atau
bergaya bahasa. Namun, dalam implementasi pengucapannya kata demi kata perlu
eksperimentasi. Misalnya saja, kata rembulan perlu dilakukan pengucapan
“rem-bu-lan” sehingga jelas terdengar dan tidak hanya seperti penyampaian tanpa
makna. Dalam pengucapan kata-kata tertentu dimungkinkan dengan penekanan jelas
agar penonton merasakan usaha kita dalam penyampaian makna isi puisi.
Ketiga, warna suara, tentu saja
persoalan intonasi dan artikulasi adalah cakupan untuk menemukan warna suara.
Ketika membaca puisi dengan penekanan-penekanan seperti pada tahap artikulasi,
secara jelas warna suara juga akan tergambar dalam pendengaran penonton. Tinggi-rendah,
kasar-lembut, jelas-samar akan tampak menjadi warna pada suara sang pembaca
puisi.
Keempat, efektivitas adalah
masalah kesesuaian atau ketepatan. Masalah ini sesungguhnya berpedoman pada masalah
pembacaan dengan isi puisi seperti pada masalah volume tadi. Apabila
kemudian pemberian ketentuan penekanan kata mana yang harus ditinggirendahkan
mampu diimplementasikan, maka akan tercermin pula efektivitas. Dan terakhir
adalah estetika. Estetika adalah keindahan. Pada puisi, terdapat rima
(persamaan bunyi) yang turut mendukung dalam pemberian estetika. Tentu saja
apabila kemudian keempat penilaian terpenuhi, estetika pada puisi menjadi
pembacaan puisi yang paling dirindukan.
Mahasiswa, Sahabatnya, Puisi
Penulis
merasa perlu menyajikan teknik ini, mengingat masih hangat dalam benak penulis
tentang bagaimana penampilan mahasiswa-mahasiswi LP3I untuk membaca puisi dalam
acara Porseni (Pekan Olahraga dan Seni) LP3I, Sabtu, 25-30 Maret 2013 lalu. Menarik!
Mengingat mahasiswa-mahasiswi LP3I berasal dari jurusan-jurusan seperti: Akuntansi
dan Manajemen.
Namun, kali ini antusias mereka
untuk mengikuti perlombaan membaca puisi pantas diangkat jempol. Yang
terpenting adalah semangat untuk bersaing. Dalam hari pertama perlombaan,
mahasiswa diperlombakan terlebih dahulu untuk menyaring 3 besar yang
nantinya—juara pertama, kedua, dan ketiga akan diperebutkan pada acara puncak. Pada
babak penyaringan tiga besar itulah, mereka lebih banyak menemukan pemahaman
yang salah tentang baca puisi. Meskipun mereka berusaha dengan penghayatan,
namun jika pemahaman salah tentu akan sia-sia.
Lomba
baca puisi, bukan lomba musikalisasi puisi, atau visualisasi puisi. Kebanyakan
peserta menganggap bahwa baca puisi lebih cocok jika dibawakan dengan gitar,
atau gerakan-gerakan mendekati drama. Sebenarnya untuk ajang Porseni yang
menggelar perlombaan baca puisi, hal ini akan menjadi salah acuan.
Apabila panitia menggelar lomba
musikalisasi puisi, maka yang dibawa adalah gitar, seruling, atau alat musik
pendukung lainnya—yang mana puisi dijadikan lirik lagu pula. Dan, jika yang
diperlombakan visualisasi puisi, maka perserta boleh membuat gerakan-gerakan
seperti drama untuk memberikan gambaran jelas pada puisi yang akan
disampaikannya.
Namun, kali ini panitia Porseni LP3I
menyajikan lomba baca puisi. Maka, peserta yang awam masalah baca puisi justru
salah penafsiran dengan membawa alat musik atau membuat gerakan seperti drama
dalam pembacaan puisinya.
Dalam membaca puisi, seharusnya
peserta hanya perlu membaca (bukan menghafal) puisi dan menonjolkan keunggulan
intonasi, penghayatan, mimik, pelafalan, jeda, gerakan tubuh (seperlunya), dan penampilan.
Apabila kombinasi di antara penilaian ini baik, maka hasil yang dicapai untuk
menyampaikan makna puisi pada penonton juga baik.
Inti
utama dan pertama yang menjadi acuan adalah penghayatan. Penghayatan adalah
soal rasa. Apabila penghayatan berhasil, maka pembaca puisi dianggap berhasil
untuk merasakan isi puisi. Hal itu akan terlihat pada suara yang dihasilkan. Penghayatan dalam
membaca puisi setidaknya tercermin dalam 4 hal yaitu: pemenggalan, intonasi,
ekspresi, dan kelancaran (Doyin, 2008: 74).
Pemenggalan dalam hal ini, adalah pembacaan puisi
dengan tanpa terburu-buru untuk menyelesaikan pembacaan puisi. Apabila kemudian
pemenggalan yang dilakukan baik, maka pengaturan napas pada pembaca juga akan
baik. Begitu pula dengan ekspresi dan kelancaran pembacaan yang dihasilkan.
Salah seorang peserta
wanita pada lomba pembacaan puisi tersebut, membacakan puisi ciptaannya sendiri
berjudul “Warna itu kita”. Dengan pemilihan tema persahabatan, tentu saja judul
ini akan mendukung penghayatan si pembaca puisi.
Namun, sayang sekali pada penentuan akhir penjurian
yang penulis lakukan saat itu, sang pembaca puisi ini terkesan datar dan kurang
memberikan energi vokal pada “justru” warna suaranya sendiri. Sehingga pembaca
puisi tidak memberikan kesan merah, kuning, biru, abu-abu (apapun) pada
penonton selain ya, mendengarkan berbicara di depan penonton.
Membaca puisi perlu pula mimik, namun pembaca puisi
“Abadi Kita”, salah seorang peserta lainnya dalam ajang ini, memberikan kesan
persahabatan sebagai politik yang sadis. Bukankah ini sungguh berlawanan? Nah!
Memang, pembacaan puisi juga harus disesuaikan dengan tema dan puisi itu sendiri,
khususnya. Jadilah jiwa pada puisi itu, lakukanlah pada cara kita
membacakannya.
Menarik! Peserta terakhir
yang maju ke babak akhir ini, kemudian membacakan puisi berjudul “Kalian
Sahabatku”. Sejenak, judul puisi itu terkesan biasa. Namun, pada isinya
“kalian” dalam hal ini menunjukkan siapapun, musuh atau teman adalah sahabat. Inilah
yang menarik dari isi puisi peserta terakhir.
Pada babak awal, peserta
terakhir ini melakukan kesalahan dengan membawakan puisi dengan isi luas
seperti itu dengan teknik mimik dan intonasi yang tidak konsisten. Namun, setelah
melalui proses penjurian dan pengarahan ulang saat penjurian babak awal.
Dengan kejutan,
peserta terakhir yang mengawalinya dengan tarik napas pelan dan dalam kemudian
mampu membuat penonton bertepuk tangan puas. Ia membacakannya tentu dengan
persabatan. Ya, sesuai dengan tema baca puisi kali ini: Sahabat. ***
Serambi Kompak, April 2013
Penulis adalah guru SMP Al-Azhar Medan dan
Dewan Ahli Komunitas Penulis Anak Kampus (Kompak).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar