Sabtu, 31 Agustus 2013

Sahabat dalam Manajemen Baca Puisi

Oleh: Ria Ristiana Dewi


M
embaca puisi juga perlu manajemen yang baik. Jika baca puisi ibarat memainkan parodi, maka pembacaan puisi  dianggap gagal memenuhi teknik penampilan. Akhirnya, tawa penonton-lah yang akan bergema di ruangan. Terlebih, sulit ditemukan puisi dengan tambahan anekdot, sehingga seyogiyanya puisi memiliki tingkat penafsiran dari sedih, senang, haru, sendu, kritis, dan perjuangan. Untuk memenuhi penafsiran tersebut, membaca puisi dirasa perlu menampilkan kinesika yang baik. Selain itu ada banyak penilaian, mulai dari volume, artikulasi, warna suara, efektivitas, dan estetika.
Volume adalah tinggi rendahnya suara pada saat membacakan puisi. Terkadang, kita perlu memberikan batas mana yang harus ber-volume tinggi dan mana yang harus ber-volume rendah. Jika ada kata-kata yang perlu penekanan untuk memberikan penyampaian makna penting dan inti pada puisi, tentu saja volume sedang hingga tinggi perlu diterapkan. Biasanya volume seperti ini dilakukan pada pembacaan puisi-puisi perjuangan dan keagamaan. Sementara itu, puisi-puisi seperti puisi cinta justru cenderung memaknainya dengan nada rendah dan mendalam, seperti berbisik, namun tetap terdengar oleh penonton.
Kedua, artikulasi adalah pengucapan kata demi kata pada pembacaan puisi dengan jelas. Seperti yang kita ketahui, puisi merupakan karya sastra yang memakai pilihan kata-kata kias atau bergaya bahasa. Namun, dalam implementasi pengucapannya kata demi kata perlu eksperimentasi. Misalnya saja, kata rembulan perlu dilakukan pengucapan “rem-bu-lan” sehingga jelas terdengar dan tidak hanya seperti penyampaian tanpa makna. Dalam pengucapan kata-kata tertentu dimungkinkan dengan penekanan jelas agar penonton merasakan usaha kita dalam penyampaian makna isi puisi.
Ketiga, warna suara, tentu saja persoalan intonasi dan artikulasi adalah cakupan untuk menemukan warna suara. Ketika membaca puisi dengan penekanan-penekanan seperti pada tahap artikulasi, secara jelas warna suara juga akan tergambar dalam pendengaran penonton. Tinggi-rendah, kasar-lembut, jelas-samar akan tampak menjadi warna pada suara sang pembaca puisi.
Keempat, efektivitas adalah masalah kesesuaian atau ketepatan. Masalah ini sesungguhnya berpedoman pada masalah pembacaan dengan isi puisi seperti pada masalah volume tadi. Apabila kemudian pemberian ketentuan penekanan kata mana yang harus ditinggirendahkan mampu diimplementasikan, maka akan tercermin pula efektivitas. Dan terakhir adalah estetika. Estetika adalah keindahan. Pada puisi, terdapat rima (persamaan bunyi) yang turut mendukung dalam pemberian estetika. Tentu saja apabila kemudian keempat penilaian terpenuhi, estetika pada puisi menjadi pembacaan puisi yang paling dirindukan.

Mahasiswa, Sahabatnya, Puisi
            Penulis merasa perlu menyajikan teknik ini, mengingat masih hangat dalam benak penulis tentang bagaimana penampilan mahasiswa-mahasiswi LP3I untuk membaca puisi dalam acara Porseni (Pekan Olahraga dan Seni) LP3I, Sabtu, 25-30 Maret 2013 lalu. Menarik! Mengingat mahasiswa-mahasiswi LP3I berasal dari jurusan-jurusan seperti: Akuntansi dan Manajemen.
Namun, kali ini antusias mereka untuk mengikuti perlombaan membaca puisi pantas diangkat jempol. Yang terpenting adalah semangat untuk bersaing. Dalam hari pertama perlombaan, mahasiswa diperlombakan terlebih dahulu untuk menyaring 3 besar yang nantinya—juara pertama, kedua, dan ketiga akan diperebutkan pada acara puncak. Pada babak penyaringan tiga besar itulah, mereka lebih banyak menemukan pemahaman yang salah tentang baca puisi. Meskipun mereka berusaha dengan penghayatan, namun jika pemahaman salah tentu akan sia-sia.
            Lomba baca puisi, bukan lomba musikalisasi puisi, atau visualisasi puisi. Kebanyakan peserta menganggap bahwa baca puisi lebih cocok jika dibawakan dengan gitar, atau gerakan-gerakan mendekati drama. Sebenarnya untuk ajang Porseni yang menggelar perlombaan baca puisi, hal ini akan menjadi salah acuan.
Apabila panitia menggelar lomba musikalisasi puisi, maka yang dibawa adalah gitar, seruling, atau alat musik pendukung lainnya—yang mana puisi dijadikan lirik lagu pula. Dan, jika yang diperlombakan visualisasi puisi, maka perserta boleh membuat gerakan-gerakan seperti drama untuk memberikan gambaran jelas pada puisi yang akan disampaikannya.
Namun, kali ini panitia Porseni LP3I menyajikan lomba baca puisi. Maka, peserta yang awam masalah baca puisi justru salah penafsiran dengan membawa alat musik atau membuat gerakan seperti drama dalam pembacaan puisinya.
Dalam membaca puisi, seharusnya peserta hanya perlu membaca (bukan menghafal) puisi dan menonjolkan keunggulan intonasi, penghayatan, mimik, pelafalan, jeda, gerakan tubuh (seperlunya), dan penampilan. Apabila kombinasi di antara penilaian ini baik, maka hasil yang dicapai untuk menyampaikan makna puisi pada penonton juga baik.
            Inti utama dan pertama yang menjadi acuan adalah penghayatan. Penghayatan adalah soal rasa. Apabila penghayatan berhasil, maka pembaca puisi dianggap berhasil untuk merasakan isi puisi. Hal itu akan terlihat pada suara yang dihasilkan. Penghayatan dalam membaca puisi setidaknya tercermin dalam 4 hal yaitu: pemenggalan, intonasi, ekspresi, dan kelancaran (Doyin, 2008: 74).
Pemenggalan dalam hal ini, adalah pembacaan puisi dengan tanpa terburu-buru untuk menyelesaikan pembacaan puisi. Apabila kemudian pemenggalan yang dilakukan baik, maka pengaturan napas pada pembaca juga akan baik. Begitu pula dengan ekspresi dan kelancaran pembacaan yang dihasilkan.
            Salah seorang peserta wanita pada lomba pembacaan puisi tersebut, membacakan puisi ciptaannya sendiri berjudul “Warna itu kita”. Dengan pemilihan tema persahabatan, tentu saja judul ini akan mendukung penghayatan si pembaca puisi.
Namun, sayang sekali pada penentuan akhir penjurian yang penulis lakukan saat itu, sang pembaca puisi ini terkesan datar dan kurang memberikan energi vokal pada “justru” warna suaranya sendiri. Sehingga pembaca puisi tidak memberikan kesan merah, kuning, biru, abu-abu (apapun) pada penonton selain ya, mendengarkan berbicara di depan penonton.
Membaca puisi perlu pula mimik, namun pembaca puisi “Abadi Kita”, salah seorang peserta lainnya dalam ajang ini, memberikan kesan persahabatan sebagai politik yang sadis. Bukankah ini sungguh berlawanan? Nah! Memang, pembacaan puisi juga harus disesuaikan dengan tema dan puisi itu sendiri, khususnya. Jadilah jiwa pada puisi itu, lakukanlah pada cara kita membacakannya.
            Menarik! Peserta terakhir yang maju ke babak akhir ini, kemudian membacakan puisi berjudul “Kalian Sahabatku”. Sejenak, judul puisi itu terkesan biasa. Namun, pada isinya “kalian” dalam hal ini menunjukkan siapapun, musuh atau teman adalah sahabat. Inilah yang menarik dari isi puisi peserta terakhir.
            Pada babak awal, peserta terakhir ini melakukan kesalahan dengan membawakan puisi dengan isi luas seperti itu dengan teknik mimik dan intonasi yang tidak konsisten. Namun, setelah melalui proses penjurian dan pengarahan ulang saat penjurian babak awal.
Dengan  kejutan, peserta terakhir yang mengawalinya dengan tarik napas pelan dan dalam kemudian mampu membuat penonton bertepuk tangan puas. Ia membacakannya tentu dengan persabatan. Ya, sesuai dengan tema baca puisi kali ini: Sahabat. ***

Serambi Kompak, April 2013

Penulis adalah guru SMP Al-Azhar Medan dan
Dewan Ahli Komunitas Penulis Anak Kampus (Kompak).




Tidak ada komentar:

Posting Komentar