Cerpen: Indriani
”R
|
uslaaan...laaann...Ruslaaann....” Teriakan serak
para nelayan saling bersahutan.
”Tadi aku masih nampak, dia.”
”Dari tadi akupun uda ajak dia pulang. Pulang Lan, mau magrib!”
”Macam mana ni, hari da mau gelap.”
”Min, pigi kau pulang minta tolong sama orang
kampung.”
Orang-orang kampung berdatangan. Zikir magrib
berganti dengan serakan suara-suara yang saling bersautan. Pintu kuala dipenuhi
cahaya lampu sentir yang menjelajahi setiap sudut bibir kuala.
”Ruslaaan...laaann...Ruslaaann....”’
***
Malam masih pekat; udaranya menghujam sum-sumku.
Aku meringkuk di atas ranjang yang beralaskan tikar, kutarik sebuah sarung untuk
menutupi seluruh tubuhku, mencoba kembali berlabuh ke dunia mimpi. Tapi suara
berisik dari dapur membuatku kembali tersentak.
Dari lubang-lubang kecil dinding tepas kamarku
yang berada tepat di sebelah dapur, dapat kulihat seseorang sedang sibuk lalu
lalang mengerjakan sesuatu. Rasanya enggan, tapi kucoba untuk bangkit dari
ranjangku berjalan menuju dapur.
“Ayah mau pigi ke laut?”
“Ya,”jawab ayahku sambil
sibuk menyiapkan perlengkapan melautnya.
“Anginkan sedang kencang, yah.”
“Sudah! Sana tidur lagi”.
“Tapi, aku mau ikut ayah.”
“Paul...paul.... Tugas kau belajar, biar pintar.
Kalau kau pintar, kau bisa jadi orang yang sukses. Kerja di kantor, bukan kayak
Ayah kerja di laut.”
Entah sudah yang keberapa
kalinya ayah mengatakan hal itu padaku. Ia begitu ingin aku menjadi seseorang yang dapat ia banggakan. Saat ia
bercerita dengan teman-temannya di pangkalan bahwa pemenang lomba azan itu
adalah anakku, saat ia bercerita
dengan teman-temannya di warung kopi bahwa pemenang lomba cerdas cermat itu
adalah anakku, saat ia bercerita
dengan para wali murid di sekolah bahwa peraih juara umum itu adalah anakku, Paul Aulia.
Aku tahu apa yang kucecap saat ini adalah
mimpi-mimpi ayah yang tenggelam saat seusiaku. Ia tidak pernah memenangkan
perlombaan azan di kampung karena ia sibuk bergumal dengan ikan-ikan yang ada di
pangkalan. Ia tidak pernah memenangkan perlombaan apa pun karena ia lebih
memilih berlomba dengan ombak laut. Ia tidak pernah mendapatkan juara umum di
sekolah karena bangkunya saja belum pernah
ia duduki.
Ini tentang ayah, tentang
hidupnya, tentang masa kecilnya, dan tentang mimpi-mimpinya yang terkubur dalam
jalinan pukat. Saat anak-anak yang lain di malam hari berselubung dalam mimpi,
ia harus bangun dan pergi melaut; saat anak-anak yang lain di pagi hari sibuk
akan pergi ke sekolah, ia harus berkubang dalam pukat; dan saat anak-anak yang
lain di sore hari bersiap dengan rapi pergi ke mushola untuk mengaji, ia sibuk
memilah ikan di pangkalan.
Ia tidak seperti anak-anak yang lain. Saat
anak-anak yang lain menggulung dan melempar gasing, ia harus menebar dan menarik
pukat yang beratnya berkali lipat dari tubuh mungilnya; saat anak-anak yang
lain bermain petak umpat, ia juga
akan bermain petak umpat bersama ikan
di laut; saat anak-anak yang lain bahagia mendapat hadiah ketika pembagian
raport, ia akan bahagia saat menerima upah hasil penjualan ikan.
Ayah tidak benar-benar menikmati masa kecilnya. Sejak kaki-kakinya tegak kokoh berjalan ia
harus jadi kuli di laut. Sejak
sumpah serapah agen-agen ikan di pangkalan menjadi lalapannya setiap hari.
Sejak kicau-kicau budak laut menjadi tidak asing ditelinganya. Sejak sampan,
pukat, kail, piber menjadi bagian dari hidupnya. Sejak saat itu tawa riang
anak-anak berganti senyum getir di bibirnya.
Lekat dalam ingatanku saat
melihat senyumnya ketika mengantarkanku pertama kali ke sekolah. Pagi-pagi
sekali ia membangunkanku, memandikanku, memakaikan seragam merah putih lengkap
dengan dasi siap pasang dan topi merahnya.
Rasanya seperti hari raya,
aku memakai baju baru. Meski baju itu terlalu menutupi tubuhku, lengannya
menenggelamkan siku-sikuku, rongga ketiaknya terbuka lebar memudahkan angin keluar-masuk.
Tapi terlihat kecil ketika sebagian dari baju itu dimasukkan ke dalam celana
kemudian diketatkan dengan tali pinggang karet bergambarkan tunas kelapa di
kepala penggaitnya.
Kubiarkan saja ayah melakukan
itu. Ia terlihat begitu bahagia. Diangkatnya tubuhku ke atas pundaknya.
Tangannya erat memegang tanganku. Berjalan ke sekolah. Kemudian berlalu pergi
meninggalkan senyum tipis di bibirnya.
Senyum itu akan selalu
muncul saat kuperlihatkan nilai sepuluh di buku tulisku, saat kuperlihatkan
angka-angka pada raportku, walau ia harus meminta tetanggaku untuk mengisi
kolam tanda tangan orang tua/wali murid.
Senyum itu akan muncul saat
aku berlari membawa pulang sebuah piala, lupakan ia akan kerut karena sedikitnya
hasil tangkapan. Senyum itu akan muncul saat ia melihatku menjadi guru pribadi
adikku.
Senyum itu akan muncul
ketika ia mendengarku dengan fasih mengaji. Itu senyumnya, senyum yang
mengisaratkan bahwa ia bangga padaku.
Dan aku lebih bangga
padanya, meski bau amis air garam selalu melekat di tubuhnya. Meski ia hanya
bisa mengusap ubun-ubunku dengan tangan kasarnya.
Meski ia hanya membalas
rengekanku dengan dengusan dari hidungnya. Meski suara serak yang keluar dari
bibirnya selalu mengejutkanku. Meski dengkurnya selalu membangunkanku.
Meski bibir hitamnya tidak
pernah mengatakan bahwa ia sayang padaku. Karena aku tahu tiap tetes peluhnya
sudah berbicara lebih, karena aku tahu setiap malam ia selalu ke kamarku
memperbaiki selimutku yang terjungkang, karena aku tahu diam-diam dia selalu
memeriksa isi tasku dan melengkapi isinya, karena aku tahu yang selalu mengisi
botol minumanku adalah dia, karena aku tahu dalam doa sujud terakhirnya ada
namaku.
Aku tahu meski ia terlihat tidak memperdulikan
rengekanku, tapi dialah orang yang begitu memikirkannya. Pernah aku meminta
ayah membelikanku sebuah mobil-mobilan yang terbuat dari kayu. Mobil itu
berbentuk kap terbuka, di atasnya terdapat sebuah penggait, penggait yang
menyatukan gagang stir dengan roda kemudian dihubungkan dengan seutas tali.
Mobil itu berwarna-warni, bahkan ada yang menyerupai mobil truk pengangkat
kopra.
Semua teman-temanku memilikinya. Begitu juga aku
ingin memilikinya. Bagi mereka mungkin sangat mudah membelikan sebuah mobil
mainan untuk anaknya. Tapi tidak bagi ayah. Karena harga mobil itu setara
dengan harga beras dua kilogram di rumah kami.
Ayah memang tidak mampu membelikannya, tapi aku
tidak habis pikir kalau ayah berniat membuatnya sendiri. Hari itu setelah
mengangkat ikan ke pangkalan, ayah bergegas pergi ke pintu kuala. Di bibir
pintu kuala itu terdapat daratan yang banyak ditumbuhi pohon bakau. Ayah
menebang salah satu pohon bakau itu, tapi malang tak dapat dihindar, kaki ayah
terkena benturan mata parang yang terlepas dari hulunya. Sejak saat itu aku berjanji tidak akan minta apa
pun dari ayah.
Malam ini tetap sama dengan ribuan malam yang ia
lewati seumur hidupnya, ia hanya tidur seperempat malam selebihnya ia habisi
untuk menyetubuhi laut. Tapi, sungguh dari ribuan malam itu, malam ini aku
tidak ingin ayah pergi. Aku ingin ayah tetap di sini, di rumah ini sesekali
melewatkan waktu bersama kami. Seperti saat pertama kali ia mengantarkanku
pergi ke sekolah. Seperti mereka yang setiap akhir pekan menghabiskan waktu
bersama untuk berlibur. Tapi, ayah terikat kontrak dengan laut dan ia tidak
bisa libur begitu saja, ia harus tunggu saat laut mengisaratkan bahwa hari ini
dia tidak usah melaut karena angin sedang kencang atau air laut masih surut.
Air laut sudah
memberi izin libur untuk ayah malam ini. Tapi, ayah adalah pekerja yang rajin
ia tidak ingin libur, ia tidak mau kalau dia libur asap didapur kami tidak akan
mengepul. Hidup kami memang
bergantung dari laut. Laut adalah ladang kami. Dia ladang yang baik karena kami
tidak perlu membeli dan menabur pupuk untuknya, kami juga tidak perlu membuat
dam untuk pengairannya.
Malam masih pekat,
udaranya tak bersahabat dan masih bersihkeras menghujam sum-sumku. Tapi, tak
menyurutkan niat ayah. Berbekal pukat yang sudah ia perbaiki jalinannya, ia pergi
dengan kain sarung yang masih terselempang di tubuhnya, ia pergi dengan harap
akan membawa senyum untuk kami. Aku mengantarnya dari depan pintu, pungungnya semakin
menjauh kemudian menghilang.
***
”Ini diaaa...”
Teriakan itu menyentakkan semua orang. Sampan-sampan
merapat ke deretan bakau yang mengapit pintu kuala. Sebuah sarung tersangkut di
akar bakau, membalut tubuh yang telah beku.
Arak-arakan itu membawanya ke hadapanku. Tubuh
lemah Ibuku memeluk ketiga adikku, ratapannya tak lagi terdengar karena suaranya
terkuras sejak mendengar kabar ayahku. Sementara aku terpaku di depan pintu.
Malam ini bulan hanya setengah, Yah. Dulu aku
sangat menyukainya karena Ayah pernah bilang kalau itu adalah senyumanku, dan
disetiap malam itu laut sedang panen, Ayah akan membawa banyak ikan untuk kami.
Tapi sekarang aku membencinya yah, karena malam ini, itu bukan senyumanku tapi
air mataku.
*====*
Medan, 10 Maret 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar