Jumat, 30 Agustus 2013

MALAM SETENGAH BULAN (Sabtu, 27 Juli 2013)

Cerpen: Indriani

                       
”R
uslaaan...laaann...Ruslaaann....” Teriakan serak para nelayan saling bersahutan.

”Tadi aku masih nampak, dia.”
”Dari tadi akupun uda ajak dia pulang. Pulang Lan, mau magrib!”
”Macam mana ni, hari da mau gelap.”
”Min, pigi kau pulang minta tolong sama orang kampung.”
Orang-orang kampung berdatangan. Zikir magrib berganti dengan serakan suara-suara yang saling bersautan. Pintu kuala dipenuhi cahaya lampu sentir yang menjelajahi setiap sudut bibir kuala.
”Ruslaaan...laaann...Ruslaaann....”’

***
Malam masih pekat; udaranya menghujam sum-sumku. Aku meringkuk di atas ranjang yang beralaskan tikar, kutarik sebuah sarung untuk menutupi seluruh tubuhku, mencoba kembali berlabuh ke dunia mimpi. Tapi suara berisik dari dapur membuatku kembali tersentak.
Dari lubang-lubang kecil dinding tepas kamarku yang berada tepat di sebelah dapur, dapat kulihat seseorang sedang sibuk lalu lalang mengerjakan sesuatu. Rasanya enggan, tapi kucoba untuk bangkit dari ranjangku berjalan menuju dapur.
            “Ayah mau pigi ke laut?”
            “Ya,”jawab ayahku sambil sibuk menyiapkan perlengkapan melautnya.
            “Anginkan sedang kencang, yah.”
            “Sudah! Sana tidur lagi”.
            “Tapi, aku mau ikut ayah.”
            “Paul...paul.... Tugas kau belajar, biar pintar. Kalau kau pintar, kau bisa jadi orang yang sukses. Kerja di kantor, bukan kayak Ayah kerja di laut.”
            Entah sudah yang keberapa kalinya ayah mengatakan hal itu padaku. Ia begitu ingin aku menjadi seseorang yang dapat ia banggakan. Saat ia bercerita dengan teman-temannya di pangkalan bahwa pemenang lomba azan itu adalah anakku, saat ia bercerita dengan teman-temannya di warung kopi bahwa pemenang lomba cerdas cermat itu adalah anakku, saat ia bercerita dengan para wali murid di sekolah bahwa peraih juara umum itu adalah anakku, Paul Aulia.
Aku tahu apa yang kucecap saat ini adalah mimpi-mimpi ayah yang tenggelam saat seusiaku. Ia tidak pernah memenangkan perlombaan azan di kampung karena ia sibuk bergumal dengan ikan-ikan yang ada di pangkalan. Ia tidak pernah memenangkan perlombaan apa pun karena ia lebih memilih berlomba dengan ombak laut. Ia tidak pernah mendapatkan juara umum di sekolah karena bangkunya saja belum pernah  ia duduki.
            Ini tentang ayah, tentang hidupnya, tentang masa kecilnya, dan tentang mimpi-mimpinya yang terkubur dalam jalinan pukat. Saat anak-anak yang lain di malam hari berselubung dalam mimpi, ia harus bangun dan pergi melaut; saat anak-anak yang lain di pagi hari sibuk akan pergi ke sekolah, ia harus berkubang dalam pukat; dan saat anak-anak yang lain di sore hari bersiap dengan rapi pergi ke mushola untuk mengaji, ia sibuk memilah ikan di pangkalan.
Ia tidak seperti anak-anak yang lain. Saat anak-anak yang lain menggulung dan melempar gasing, ia harus menebar dan menarik pukat yang beratnya berkali lipat dari tubuh mungilnya; saat anak-anak yang lain bermain petak umpat, ia juga akan bermain petak umpat bersama ikan di laut; saat anak-anak yang lain bahagia mendapat hadiah ketika pembagian raport, ia akan bahagia saat menerima upah hasil penjualan ikan.
Ayah tidak benar-benar menikmati masa kecilnya. Sejak kaki-kakinya tegak kokoh berjalan ia harus jadi kuli di laut. Sejak sumpah serapah agen-agen ikan di pangkalan menjadi lalapannya setiap hari. Sejak kicau-kicau budak laut menjadi tidak asing ditelinganya. Sejak sampan, pukat, kail, piber menjadi bagian dari hidupnya. Sejak saat itu tawa riang anak-anak berganti senyum getir di bibirnya.
            Lekat dalam ingatanku saat melihat senyumnya ketika mengantarkanku pertama kali ke sekolah. Pagi-pagi sekali ia membangunkanku, memandikanku, memakaikan seragam merah putih lengkap dengan dasi siap pasang dan topi merahnya.
            Rasanya seperti hari raya, aku memakai baju baru. Meski baju itu terlalu menutupi tubuhku, lengannya menenggelamkan siku-sikuku, rongga ketiaknya terbuka lebar memudahkan angin keluar-masuk. Tapi terlihat kecil ketika sebagian dari baju itu dimasukkan ke dalam celana kemudian diketatkan dengan tali pinggang karet bergambarkan tunas kelapa di kepala penggaitnya.
            Kubiarkan saja ayah melakukan itu. Ia terlihat begitu bahagia. Diangkatnya tubuhku ke atas pundaknya. Tangannya erat memegang tanganku. Berjalan ke sekolah. Kemudian berlalu pergi meninggalkan senyum tipis di bibirnya.
            Senyum itu akan selalu muncul saat kuperlihatkan nilai sepuluh di buku tulisku, saat kuperlihatkan angka-angka pada raportku, walau ia harus meminta tetanggaku untuk mengisi kolam tanda tangan orang tua/wali murid.
            Senyum itu akan muncul saat aku berlari membawa pulang sebuah piala, lupakan ia akan kerut karena sedikitnya hasil tangkapan. Senyum itu akan muncul saat ia melihatku menjadi guru pribadi adikku.
            Senyum itu akan muncul ketika ia mendengarku dengan fasih mengaji. Itu senyumnya, senyum yang mengisaratkan bahwa ia bangga padaku.
            Dan aku lebih bangga padanya, meski bau amis air garam selalu melekat di tubuhnya. Meski ia hanya bisa mengusap ubun-ubunku dengan tangan kasarnya.
            Meski ia hanya membalas rengekanku dengan dengusan dari hidungnya. Meski suara serak yang keluar dari bibirnya selalu mengejutkanku. Meski dengkurnya selalu membangunkanku.
            Meski bibir hitamnya tidak pernah mengatakan bahwa ia sayang padaku. Karena aku tahu tiap tetes peluhnya sudah berbicara lebih, karena aku tahu setiap malam ia selalu ke kamarku memperbaiki selimutku yang terjungkang, karena aku tahu diam-diam dia selalu memeriksa isi tasku dan melengkapi isinya, karena aku tahu yang selalu mengisi botol minumanku adalah dia, karena aku tahu dalam doa sujud terakhirnya ada namaku.
Aku tahu meski ia terlihat tidak memperdulikan rengekanku, tapi dialah orang yang begitu memikirkannya. Pernah aku meminta ayah membelikanku sebuah mobil-mobilan yang terbuat dari kayu. Mobil itu berbentuk kap terbuka, di atasnya terdapat sebuah penggait, penggait yang menyatukan gagang stir dengan roda kemudian dihubungkan dengan seutas tali. Mobil itu berwarna-warni, bahkan ada yang menyerupai mobil truk pengangkat kopra.  
Semua teman-temanku memilikinya. Begitu juga aku ingin memilikinya. Bagi mereka mungkin sangat mudah membelikan sebuah mobil mainan untuk anaknya. Tapi tidak bagi ayah. Karena harga mobil itu setara dengan harga beras dua kilogram di rumah kami.
Ayah memang tidak mampu membelikannya, tapi aku tidak habis pikir kalau ayah berniat membuatnya sendiri. Hari itu setelah mengangkat ikan ke pangkalan, ayah bergegas pergi ke pintu kuala. Di bibir pintu kuala itu terdapat daratan yang banyak ditumbuhi pohon bakau. Ayah menebang salah satu pohon bakau itu, tapi malang tak dapat dihindar, kaki ayah terkena benturan mata parang yang terlepas dari hulunya. Sejak saat itu aku berjanji tidak akan minta apa pun dari ayah.
Malam ini tetap sama dengan ribuan malam yang ia lewati seumur hidupnya, ia hanya tidur seperempat malam selebihnya ia habisi untuk menyetubuhi laut. Tapi, sungguh dari ribuan malam itu, malam ini aku tidak ingin ayah pergi. Aku ingin ayah tetap di sini, di rumah ini sesekali melewatkan waktu bersama kami. Seperti saat pertama kali ia mengantarkanku pergi ke sekolah. Seperti mereka yang setiap akhir pekan menghabiskan waktu bersama untuk berlibur. Tapi, ayah terikat kontrak dengan laut dan ia tidak bisa libur begitu saja, ia harus tunggu saat laut mengisaratkan bahwa hari ini dia tidak usah melaut karena angin sedang kencang atau air laut masih surut.
            Air laut sudah memberi izin libur untuk ayah malam ini. Tapi, ayah adalah pekerja yang rajin ia tidak ingin libur, ia tidak mau kalau dia libur asap didapur kami tidak akan mengepul. Hidup kami memang bergantung dari laut. Laut adalah ladang kami. Dia ladang yang baik karena kami tidak perlu membeli dan menabur pupuk untuknya, kami juga tidak perlu membuat dam untuk pengairannya.
            Malam masih pekat, udaranya tak bersahabat dan masih bersihkeras menghujam sum-sumku. Tapi, tak menyurutkan niat ayah. Berbekal pukat yang sudah ia perbaiki jalinannya, ia pergi dengan kain sarung yang masih terselempang di tubuhnya, ia pergi dengan harap akan membawa senyum untuk kami. Aku mengantarnya dari depan pintu, pungungnya semakin menjauh kemudian menghilang.
***
            ”Ini diaaa...”
Teriakan itu menyentakkan semua orang. Sampan-sampan merapat ke deretan bakau yang mengapit pintu kuala. Sebuah sarung tersangkut di akar bakau, membalut tubuh yang telah beku.
Arak-arakan itu membawanya ke hadapanku. Tubuh lemah Ibuku memeluk ketiga adikku, ratapannya tak lagi terdengar karena suaranya terkuras sejak mendengar kabar ayahku. Sementara aku terpaku di depan pintu.
Malam ini bulan hanya setengah, Yah. Dulu aku sangat menyukainya karena Ayah pernah bilang kalau itu adalah senyumanku, dan disetiap malam itu laut sedang panen, Ayah akan membawa banyak ikan untuk kami. Tapi sekarang aku membencinya yah, karena malam ini, itu bukan senyumanku tapi air mataku.
                                               
                                                *====*

                                                                                   Medan, 10 Maret 2012 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar