Jumat, 30 Agustus 2013

AKU ANAK SIAPA (Sabtu, 20 Juli 2013)

Cerpen : Lia Elviana


S
eorang bayi perempuan lahir pada hari Kamis pukul 14.23 wib. Ia diberi nama ADELIA
VIANDI PURNAMA, gadis mungil itu buah hati pasangan suami istri yang baru
mempunyai anak pertama. Pasangan ini sangat bahagia mempunyai seorang anak yang
diinginkan sejak lama. Tiga tahun sudah penantian ini telah terwujud, rasa syukur dan bahagia dipancarkan oleh pasangan ini.
Dua belas tahun kemudian, gadis mungil itu sudah menanjak remaja. Ia selalu ceria dan semangat menjalani hari-harinya. Kini ia sekolah SMP kelas satu. Adel panggilannya, ia dikenal anak yang ramah dan baik hati. Neneknya selalu mengajarkan berbuat baik terhadap sesama
manusia. Ajaran neneknya selalu ia bawa sejak kecil.
Jam pulang sekolah, ia selalu pulang tidak pernah terlambat. Ia sangat disiplin dan patuh terhadap aturan orang tua dan neneknya. Sepulang sekolah, ia membantu neneknya membersihkan rumah dan menyiapkan makan siang. Di meja makan telah tersaji makanan, tinggal menunggu kehadiran kedua orang tuanya pulang kerja.
Sudah 2 jam ia menunggu kehadiran orang tuanya di meja makan, lauk pauk yang hangat menjadi dingin.  Adel menatap keluar, ia berharap orang tuanya datang, ia menelpon berulang kali. Jawaban orang tuanya sama seperti dulu, ”Makan duluan.”
Meskipun begitu, Adel tetap menerima apa yang dikatakan orang tuanya. Dengan sedih, ia makan berdua dengan neneknya. Nenek yang sudah tahu selalu menghibur Adel agar tidak sedih. Nenek berusaha meyakinkan semua yang dilakukan orang tuanya untuk masa depanya kelak.
Sikap optimistis Adel menjadi suatu kebanggaan neneknya. Sejak 6 bulan, Adel diasuh oleh neneknya. Orang tuanya selalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Papanya pulang hingga larut malam dan mamanya pulang sore. Meskipun berjumpa dengan mamanya, ia tetap saja tak mengenal persis mamanya.
Adel selalu menganggap neneknya adalah ibu kandungnya. Sejak Adel diasuh neneknya, ia memanggil neneknya dengan sebutan mama dan ibunya ia panggil tante. Laun lambat itu berubah ketika Adel berumur 6 tahun ia sudah mulai mengenal ibu yang mengandungnya.
Dua tahun berlalu, Adel yang semakin hari semakin dewasa, sekarang ia kelas 3 SMP, 8 bulan lagi ia akan menghadapi UN. Ia termasuk anak yang cerdas. Setiap semester mendapat peringkat. Ia terus belajar agar nanti ia lulus UN dan bisa masuk sekolah favoritnya. Dukungan
dari neneknya adalah motivasi dia unutk menjalani hidup.
Sekolah, belajar terus menerus telah membuahkan hasil yang baik. Ia telah lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Tiba saatnya seminggu lagi di sekolahnya akan mengadakan perpisahan, ia pulang sekolah dengan wajah yang murung. Nenek khawatir terhadap Adel yang biasanya selalu ceria membuka pintu, akhir-akhir ini Adel terlihat murung dan tak semangat.
Nenek menanyakan apa yang terjadi, Adel hanya diam dan menunjukkan
selembaran kertas yang telah kusam di tangannya. Nenek membaca tulisan di kertas itu. Nenek memahami isi hati Adel. Ia berharap saat perpisahan nanti orang tuanya hadir dan merayakan keberhasilannya mendapat nilai yang sangat baik.
Hari yang ditunggu telah datang. Dengan wajah murung, Adel melangkahkan kaki menuju sekolah. Adel didampingi neneknya. Di perjalanan, Adel  menanyakan kepada nenek.  “Apakah mereka akan datang untukku, Nek ?”
Neneknya tersenyum. Sepanjang perjalanan Adel tidak dapat jawaban yang pasti dari
neneknya. Sesampai di sekolah, langkah demi langkah ia tempuh, kebahagiaan yang dilihat dari teman-temannya membuat semakin hancur perasaannya. Dadanya sesak. Isak tangisnya tak tertahan lagi. Neneknya memeluk Adel agar kesedihannya tidak berlanjut.
Satu jam kemudian, kata sambutan dari kepala sekolah dan stafnya telah selesai. Sekarang penghargaan kepada siswa yang berprestasi. Adel urutan pertama mendapatkan penghargaan. Kepala sekolah memberi sambutan terhadapnya. Adel berjalan menuju pentas. Adel berpidato, ia mengungkapakan isi hatinya.
“Saya ucapkan terima kasih kepada nenek saya, yang telah memberi dukungan dan
semangat saya untuk menggapai apa yang saya cita-citakan. Nenek adalah ibu saya, tongkat pegangan saya untuk meniti kehidupan ini. Saya sangat bahagia mempunyai nenek yang selalu sabar menghadapi saya.
Sejak kecil saya diasuh olehnya, meski ia sudah tua, ia tetap kuat menghadapi saya. Piala ini akan saya berikan kepada nenek saya. Saya sangat mencintai nenek saya. Mungkin kalian
bertanya-tanya kenapa dari tadi saya terus bercerita tentang nenek saya, di dalam benak kalian pasti bertanya ke mana orang tua saya.
Orang tua saya tidak peduli dengan saya. Mereka sibuk dengan urusannya masing-masing. Kalian beruntung mendapat orang tua yang sangat memperhatikan kalian dari kecil hingga sekarang, sedangkan  saya tidak. Hanya nenek yang berperan jadi orang tua saya. Saya bahagia meski tanpa kasih sayang orang tua yang utuh, saya berharap para orang tua tidak mengabaikan anaknya seperti saya.”
Tetesan air mata Adel tak terbendung lagi, hingga ia selesai berpidato. Semua orang tua melihat kesedihan Adel. Ia berusaha tetap tegar menghadapi semuanya. Acara perpisahan telah selesai, Adel dan nenek meninggalkan sekolah dan pulang ke rumah. Tengah malam nenek melihat Adel yang tertidur lelap. Nenek menangis. Ia tahu persis cucu satu-satunya ini sangat
terpukul oleh tingkah laku orang tuanya.
Keesokan harinya, ia melihat kejutan dari orang tuanya. Orang tuanya memberi ucapan kepada Adel dan memberi hadiah. Adel yang biasanya selalu senang bisa berkumpul di pagi hari apalagi lengkap dengan orang tuanya kini, menjadi kesedihan. Di meja makan, Adel hanya diam dan tidak memedulikan orang tuanya.
Mama Adel bertanya kenapa Adel seperti ini. Dengan satu kalimat, Adel menjawab, “Aku anak siapa?”
Orang tua dan nenek Adel kaget mendengar ucapan Adel. Mamanya menjawab, “Adel anak papa dan mama, Adel anak kandung Mama.”
“Bohong! Saya tidak pernah lahir dari rahim Anda.” Adel menangis dan lari ke kamar, Adel membanting vas bunga. Ia buang buku-bukunya di lantai. Ia sedih bahwa selama ini telah disia-siakan. Hingga orang tuanya sedih melihat tingkah Adel.
Neneknya menceritakan kejadian sejak ia kecil dan acara perpisahan di sekolah. Orang tuanya terdiam membisu, merenungi kesalahannya. Mereka berusaha membujuk Adel agar ke luar dari kamar.
Sudah tiga hari, Adel tidak ke luar dari kamar. Orang tua dan nenek  khawatir akan kondisi Adel. Mamanya mengetuk-ngetuk pintu kamar tapi tidak ada jawaban. Kegelisahan neneknya semakin tak berujung. Ia menyuruh papa Adel mendobrak pintu kamar.
Tak berapa lama kemudian, pintu kamar Adel terbuka. Orang tuanya melihat seluruh isi kamar berantakan. Ia memanggil nama Adel, tapitak ada jawaban.
Neneknya menemukan surat di atas meja belajarnya.
“Dear Mama, Papa, dan Nenek,  maaf Adel harus pergi. Adel bukan anak papa dan mama. Selama ini Adel hanya anak yang tak berguna dan tak dianggap. Adel nggak sanggup lagi menerima tingkah laku mama dan papa. Selama ini Adel selalu berusaha sabar, tetapi kali ini Adel nggak sanggup. Adel malu sama teman-teman Adel. Dari SD, Adel dijuluki anak angkat, anak yang tak jelas asal usul. Adel selalu diejek dan dikucilkan. Adel nggak bisa kayak gini terus. Maaf, Adel harus pergi. Mama, papa, nenek, Adel sayang kalian.”
Setelah membaca surat itu, nenek Adel pergi mencari seisi kamar dan ia menemukan Adel di kamar mandi. Ia melihat sang cucu membeku tak bernyawa lagi di bak mandi. Nenek Adel  pingsan. Setelah tiga minggu  koma dirawat rumah sakit, nenekAdel meninggal menyusul Adel.
Penyesalan orang tua Adel kini menjadi tak bertepi. Anak yang ia inginkan sejak lama telah ia sia-siakan semasa hidupnya. Seumur hidup mereka selalu dihantui rasa bersalah, hingga akhirnya mereka bertengkar dan bercerai. ***




Penulis adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP UISU Medan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar