S
|
ituasi mutakhir teater Indonesia tidak terlepas dari
pertumbuhan berbagai bentuk eksperimentasi teater. Jakob Sumardjo menandai
periode teater mutakhir sebagai generasi kedua zaman keemasan teater Indonesia
setelah generasi Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Periode ini
berlangsung bermula dari didirikannya Taman Ismail Marzuki (TIM) di Jakarta tahun
1968 hingga tahun 1988.
Dua puluh tahun perkembangan teater mutakhir
membentuk banyak sekali kelompok teater. Standard yang kemudian mengakar adalah
siapapun yang bisa bermain di panggung TIM, kelompok teater tersebut otomatis
diakui sebagai bagian dari perkembangan teater Indonesia. Alhamdulillah, saya
beserta kelompok teater dari Medan pernah mengusung lakon teater di TIM itu
(1995) maupun Gedung Kesenian Jakarta (2003).
Saya bersepakat, generasi terakhir teater
mutakhir adalah kelompok teater yang membawakan gaya teater primitif. Teater
total. Teater yang tidak dikebiri oleh bahasa verbal. Kelompok teater tumbuh
bersamaan dengan jargon-jargon bahasa yang ditembakkan oleh pemerintah Orde
Baru kepada seluruh elemen masyarakat.
Kelompok teater yang pernah menonjol adalah
Teater SAE, Teater Kubur, Teater Payung Hitam, Teater API Surabaya, dan Teater
Que Medan. Mereka menawarkan cara-cara pencarian, penggalian, dan pengucapan
tematik teater yang cenderung tidak dinaskahkan.
Artinya, teks tertulis yang menjadi titik
berangkat ke arah perwujudan pertunjukan lebih banyak hanya berupa cuplikan,
kepingan teks, atau adonan dari berbagai ekspresi teks yang sumber-sumber
estemiknya tidak saling berkaitan.
Teater mutakhir ingin menegaskan bahwa pada tubuh
teater ada keinginan untuk menyampaikan sebuah narasi yang jamak (tidak
tunggal) sambil menggali idiom-idiom artistik yang lebih natural. Penjadian
teater beralih dari sekadar menemukan makna sebuah pertunjukan menjadi sebentuk
puisi. Pertunjukan teater bukan untuk dipikirkan, tetapi dirasakan. Teater
menawarkan pada penontonnya sebentuk teror, juga muatan
filosofis.
Begitulah teater mutakhir. Kehadiran teater
mutakhir justru membawa penonton terlibat di dalamnya. Teater jenis ini sudah
bisa disebut sebagai teater yang menjadi bersama sutradara, aktor, dan
penontonnya, tetapi tidak menawarkan bahasa verbal sebagai salah satu elemen.
Kita tahu bahwa penonton teater masih perlu
dengan bahasa verbal karena dengan bahasa itulah mereka dapat berkomunikasi.
Ketika pencarian idiom-idiom komunikasi tanpa bahasa verbal sudah selesai,
selesai pulalah kelompok teater itu. Dalam arti tidak produktif
lagi.
Teater Indonesia kembali mengalami kemandekan
berkarya. Sepertinya teater sudah selesai sampai bentuk teater mutakhir tersebut.
Lalu akan seperti apa lagi teater Indonesia ke depan? Jika dibiarkan terus,
kemungkinan terbesar, penonton teater akan meninggalkan tempat duduknya. Karena
di panggung sudah tidak ada lagi alternatif untuk keluar dari keseharian yang
begitu menjemukan, begitu manipulatif.
Dalam keadaan seperti ini, rasanya patut kita
comot kembali pendapat Asrul Sani (Surat-surat
Kepercayaan. 1997: 289). Bahwa, teater harus memberikan alternatif
pencarian yang terus-menerus bagi pengarang (sutradara), pemain, dan
penontonnya.
Penonton kita adalah manusia yang sibuk mencari
orientasi baru dan menentukan situasinya sendiri. Kita harus melihat
manusia sebagai suatu keutuhan yang setiap waktu terancam oleh sesuatu
yang tidak ia kenal dalam perjuangan besarnya untuk mempertahankan eksistensi.
Inilah tema yang pertama dan terakhir drama yang baik. Yang kita perlukan bukan
teater dengan konsep tertentu, tapi teater yang baik. Hanya dengan begini ia
akan jadi milik zamannya dan penontonnya. ***
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar