Jumat, 30 Agustus 2013

Buku Sampah, Bukan Apa-apa (Sabtu, 20 Juli 2013)

Oleh: Syafrizal Sahrun


B
uku adalah jendela ilmu, Buku adalah jendela Dunia, Buku adalah gudang ilmu. Selogan-selogan itu tak asing di telinga kita. Dengan selogan itu kita di ajak dan disarankan untuk rajin membaca buku sehingga dapat menambah pengetahuan serta membuka cakrawala pengetahuan seluas-luasnya.
Dunia pendidikan sangat diperlukan bagi setiap manusia. Tujuannya adalah agar manusia dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Pendidikan identik dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan banyak terdapat di dalam buku-buku bacaan. Dengan demikian maka kita sepakat dengan selogan-selogan yang dipaparkan pada paragraf pertama, bahwa buku adalah sebuah jalan masuk untuk mencari ilmu pengetahuan yang kita perlukan di dalam kehidupan.
Setelah berkembangnya budaya tulis dalam kehidupan manusia, berlomba-lomba pulalah manusia tersebut mengabadikan ilmu pengetahuan yang dikuasai ke dalam tulisan. Hal ini dapat kita lihat dari berbagai jenis buku yang beredar di pasaran dan pastinya akan terus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan intelektual manusia.
Sebagai wujud kepedulian terhadap buku, pemerintah melalui Badan Perpustakaan, Arsip dan Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara (BPADSU) mempunyai program yang membantu pengarang daerah untuk menerbitkan karangannya. Biasanya karangan yang diterbitkan oleh BPADSU ini tak pula diperdagangkan, melainkan hanya untuk menambah koleksi buku di perpustakaan.
Berbagai jenis buku telah diterbitkan oleh badan pemerintah ini. Selain menambah bahan bacaan diperpustakaan, juga meringankan beban pengarang untuk mempublikasikan dan memasyarakatkan buah pikir yang berharga. Sebagai masyarakat yang mengerti akan pentingnya buku, pastilah ada rasa bangga jika program ini terus berlanjut. Apa lagi jika buku-buku yang diterbitkan itu dibedah pula oleh para ahli yang paham dengan kajian yang terdapat pada buku-buku yang diterbitkan. Hal ini akan berdampak menggembirakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia, khususnya di Sumut sendiri.
Saya ingat tanggal 17 September 2012 di Hotel Antares Medan, BPADSU menerbitkan lima buah buku hasil karya pengarang Sumut. Buku yang dimaksud yaitu Cerita Rakyat Melayu Klasik (S.H. Umry), 555 Pantun Pendidikan & Kesehatan (Umar Zein, Amir Arsyad Nasution, Azrai, Retno), Asal Usul Kota Medan Dalam Riwayat Hamparan Perak (Dr. Phill Icwan Azhari), Buku Kesenian Pesisir Sikambang (Radjoki Nainggolan, SE.MA), dan Menafsir Kembali Amir Hamzah (Damiri Mahmud).
Untuk melengkapi kepuasan, buku-buku itu juga dibedah pada hari yang sama oleh tokoh-tokoh yang berkompeten sesuai kajian buku yang diterbitkan tersebut. Saya hanya ingat salah satu pembedah yang kebetulan menjadi dosen saya, Khairil Ansari namanya. Dia bergelar profesor dan kini menjadi pembantu rektor di Unimed.
Peluncuran dan bedah buku tersebut dihadiri masyarakat Sumut yang diwakili budayawan, sastrawan, wartawan, dan mahasiswa. Saya artikan bahwa hadirin tergolong kritis menyikapi bentuk serta isi buku yang diluncurkan. Misalnya, mengenai buku Cerita Rakyat Melayu Klasik yang ditulis oleh S.H. Umry. S.H. Umry ini tak lain ialah Shafwan Hadi Umry. Sastrawan dan juga dosen UMN ini sempat dipertanyakan oleh seorang audiens mengapa memakai nama S.H. Umry? Tapi  bagi saya itu tidak penting. Bukankah bagi pengarang itu hal yang wajar.
Di samping permasalahan nama, buku Cerita Rakyat Melayu Klasik ini taklah seperti buku yang cerita yang dikarang sendiri oleh dosen UMN itu, melainkan semacam kumpulan cerita yang diambil dari naskah-naskah lama, kemudian diterbitkan dalam satu buku. Sebagian ceritanya masih menggunakan bahasa melayu lama yang agak sukar diterjemahkan oleh pembaca di masa ini.
Selanjutnya buku yang ditulis oleh Damiri Mahmud dengan judul Menafsir Kembali Amir Hamzah. Buku ini semacam usaha menepis kajian H.B. Jassin, A.H. Johns, A. teeuw, Abdul Hadi WM, Sutan Takdir Alisjahbana dan lain-lain yang menganggap Amir Hamzah hanya sebagai penyair mistikus atau sufi yang bersifat utofia belaka.
Dalam kajian Damiri Mahmud, dia menyimpulkan bahwa Amir Hamzah tak lain adalah penyair romantis. Dalam kumpulan Nyanyi Sunyi, terutama pada puisi Padamu Jua. Padamu Jua bukanlah religius, melainkan ungkapan hati kepada kekasih dunianya yang gagal. Tetapi karena kehalusan, keindahan, dan kepekaan kata-katanya sehingga imej Amir Hamzah menjurus kepada kekudusan. Inilah sedikit gambaran tentang bantahan Damiri Mahmud yang terdapat dalam buku karangannya itu untuk pendapat pakar-pakar sastra yang telah diceritakan di atas.
Selanjutnya buku yang ditulis Ichwan Azhari dengan judul Asal Usul Kota Medan Dalam Riwayat Hamparan Perak. Sejarawan yang bertugas sebagai dosen di Unimed ini membeberkan sejarah lahirnya kota Medan. Sesuai pengamatannya, Kota Medan bukanlah berasal dari kampung medan yang didirikan oleh Guru Patimpus, melainkan memang sengaja dibentuk sebagai dewan kota oleh Pemerintahan Kolonial.
Pembentukan dewan kota (Gemeenteraad) tepat pada tanggal 1 April 1909. Sebelum tahun 1975, menurutnya, Kota Medan merayakan hari ulang tahunnya setiap tanggal 1 April. Sehubungan tanggal tersebut berbau belanda, jadi panitia kota Medan memilih tanggal 1 Juli 1590 sebagai hari lahir kota Medan yang beracuan pada Riwayat Hamparan Perak. Menurutnya, ini suatu kekeliruan dalam menetapkan hari jadi kota Medan yang sebenarnya dasarnya tidak kuat.
Sebagai sebuah program pemerintah untuk membantu pengarang menerbitkan karyanya, bukan berarti bisa asal-asalan dalam pengemasannya. Ketika bedah buku itu berlangsung, fisik buku menjadi polemik bagi peserta kegiatan. Salah satu peserta yang mengkritisi fisik buku itu ialah A. Rahim Qahhar.
Dia mengatakan bahwa dari lima buku yang diluncurkan hanya satu yang dalam kondisi baik, selebihnya sampah. Bagaimana tidak, dari kondisi fisik dan isi dapat kita golongkan bahwa buku itu bak anak kandung, sedangkan keempat lainnya bak anak tiri. Bengapa begitu?
Buku yang bak anak kandung itu tak lain ialah yang berjudul 555 Pantun Pendidikan & Kesehatan. Hal itu dilihat dari desain sampul, kualitas kertas sampai keruntutan halaman. Sedangkan untuk keempat buku lainnya terkesan pengerjaannya asal-asalan. Mulai dari desain sampul kualitas kertas, sampai keruntutan halaman yang amburadul mencerminkan kalau buku ini diterbitkan tanpa pemeriksaan oleh editor dan terkesan pengerjaannya asal-asalan sehingga dapat digolongkan keempat buku tersebut belum layak untuk diterbitkan.
Apalah daya, kegiatan yang dihadiri oleh dosen, sastrawan, wartawan, dan mahasiswa ini berakhir dengan ketidakpuasan. Mau tak mau harus diterima juga sebagai bahan bacaan yang bermakna bagi masyarakat. Buku-buku tersebut memang tidak diperdagangkan, melainkan sebagai buku yang melengkapi koleksi buku diperpustakaan di negeri ini. Mudah-mudahan suatu saat kelak ada pihak-pihak yang berkenan menerbitkan ulang buku ini dengan mempertimbangkan kualitas dan kuantitas buku yang dimaksud, sebab buku tersebut sangat berguna sebagai penambah wawasan generasi bangsa.
Akhir kalam, tak ada gading yang tak retak, tak ada pekerjaan yang sia-sia selagi itu demi kemaslahatan orang banyak. Apabila masyarakat ingin mengetahui atau membaca buku tersebut sila berkunjung ke Perpustakan Daerah Sumatera Utara. ***


Penulis adalah pegiat sastra dan guru di SMK Y.P. Citra Harapan Percut, Deliserdang. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar