Oleh: Syafrizal
Sahrun
B
|
uku
adalah jendela ilmu, Buku adalah jendela Dunia, Buku adalah gudang ilmu.
Selogan-selogan itu tak asing di telinga kita. Dengan selogan itu kita di ajak
dan disarankan untuk rajin membaca buku sehingga dapat menambah pengetahuan
serta membuka cakrawala pengetahuan seluas-luasnya.
Dunia pendidikan
sangat diperlukan bagi setiap manusia. Tujuannya adalah agar manusia dapat
memperoleh ilmu pengetahuan. Pendidikan identik dengan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
banyak terdapat di dalam buku-buku bacaan. Dengan demikian maka kita sepakat
dengan selogan-selogan yang dipaparkan pada paragraf pertama, bahwa buku adalah
sebuah jalan masuk untuk mencari ilmu pengetahuan yang kita perlukan di dalam
kehidupan.
Setelah
berkembangnya budaya tulis dalam kehidupan manusia, berlomba-lomba pulalah
manusia tersebut mengabadikan ilmu pengetahuan yang dikuasai ke dalam tulisan.
Hal ini dapat kita lihat dari berbagai jenis buku yang beredar di pasaran dan
pastinya akan terus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan intelektual manusia.
Sebagai wujud
kepedulian terhadap buku, pemerintah melalui Badan Perpustakaan, Arsip dan
Dokumentasi Provinsi Sumatera Utara (BPADSU) mempunyai program yang membantu
pengarang daerah untuk menerbitkan karangannya. Biasanya karangan yang
diterbitkan oleh BPADSU ini tak pula diperdagangkan, melainkan hanya untuk
menambah koleksi buku di perpustakaan.
Berbagai jenis
buku telah diterbitkan oleh badan pemerintah ini. Selain menambah bahan bacaan
diperpustakaan, juga meringankan beban pengarang untuk mempublikasikan dan
memasyarakatkan buah pikir yang berharga. Sebagai masyarakat yang mengerti akan
pentingnya buku, pastilah ada rasa bangga jika program ini terus berlanjut. Apa
lagi jika buku-buku yang diterbitkan itu dibedah pula oleh para ahli yang paham
dengan kajian yang terdapat pada buku-buku yang diterbitkan. Hal ini akan
berdampak menggembirakan bagi perkembangan ilmu pengetahuan di dunia, khususnya
di Sumut sendiri.
Saya ingat tanggal
17 September 2012 di Hotel Antares Medan, BPADSU menerbitkan lima buah buku
hasil karya pengarang Sumut. Buku yang dimaksud yaitu Cerita Rakyat Melayu Klasik (S.H. Umry), 555 Pantun Pendidikan & Kesehatan (Umar Zein, Amir Arsyad
Nasution, Azrai, Retno), Asal Usul Kota
Medan Dalam Riwayat Hamparan Perak (Dr. Phill Icwan Azhari), Buku Kesenian Pesisir Sikambang (Radjoki
Nainggolan, SE.MA), dan Menafsir Kembali
Amir Hamzah (Damiri Mahmud).
Untuk melengkapi
kepuasan, buku-buku itu juga dibedah pada hari yang sama oleh tokoh-tokoh yang
berkompeten sesuai kajian buku yang diterbitkan tersebut. Saya hanya ingat
salah satu pembedah yang kebetulan menjadi dosen saya, Khairil Ansari namanya.
Dia bergelar profesor dan kini menjadi pembantu rektor di Unimed.
Peluncuran dan
bedah buku tersebut dihadiri masyarakat Sumut yang diwakili budayawan,
sastrawan, wartawan, dan mahasiswa. Saya artikan bahwa hadirin tergolong kritis
menyikapi bentuk serta isi buku yang diluncurkan. Misalnya, mengenai buku Cerita Rakyat Melayu Klasik yang ditulis
oleh S.H. Umry. S.H. Umry ini tak lain ialah Shafwan Hadi Umry. Sastrawan dan
juga dosen UMN ini sempat dipertanyakan oleh seorang audiens mengapa memakai
nama S.H. Umry? Tapi bagi saya itu tidak
penting. Bukankah bagi pengarang itu hal yang wajar.
Di samping
permasalahan nama, buku Cerita Rakyat
Melayu Klasik ini taklah seperti buku yang cerita yang dikarang sendiri
oleh dosen UMN itu, melainkan semacam kumpulan cerita yang diambil dari
naskah-naskah lama, kemudian diterbitkan dalam satu buku. Sebagian ceritanya
masih menggunakan bahasa melayu lama yang agak sukar diterjemahkan oleh pembaca
di masa ini.
Selanjutnya buku
yang ditulis oleh Damiri Mahmud dengan judul Menafsir Kembali Amir Hamzah. Buku ini semacam usaha menepis kajian
H.B. Jassin, A.H. Johns, A. teeuw, Abdul Hadi WM, Sutan Takdir Alisjahbana dan
lain-lain yang menganggap Amir Hamzah hanya sebagai penyair mistikus atau sufi
yang bersifat utofia belaka.
Dalam kajian
Damiri Mahmud, dia menyimpulkan bahwa Amir Hamzah tak lain adalah penyair romantis.
Dalam kumpulan Nyanyi Sunyi, terutama
pada puisi Padamu Jua. Padamu Jua bukanlah religius, melainkan ungkapan
hati kepada kekasih dunianya yang gagal. Tetapi karena kehalusan, keindahan,
dan kepekaan kata-katanya sehingga imej Amir Hamzah menjurus kepada kekudusan.
Inilah sedikit gambaran tentang bantahan Damiri Mahmud yang terdapat dalam buku
karangannya itu untuk pendapat pakar-pakar sastra yang telah diceritakan di
atas.
Selanjutnya buku
yang ditulis Ichwan Azhari dengan judul Asal
Usul Kota Medan Dalam Riwayat Hamparan Perak. Sejarawan yang bertugas
sebagai dosen di Unimed ini membeberkan sejarah lahirnya kota Medan. Sesuai
pengamatannya, Kota Medan bukanlah berasal dari kampung medan yang didirikan
oleh Guru Patimpus, melainkan memang sengaja dibentuk sebagai dewan kota oleh
Pemerintahan Kolonial.
Pembentukan
dewan kota (Gemeenteraad) tepat pada tanggal 1 April 1909. Sebelum tahun 1975,
menurutnya, Kota Medan merayakan hari ulang tahunnya setiap tanggal 1 April. Sehubungan
tanggal tersebut berbau belanda, jadi panitia kota Medan memilih tanggal 1 Juli
1590 sebagai hari lahir kota Medan yang beracuan pada Riwayat Hamparan Perak.
Menurutnya, ini suatu kekeliruan dalam menetapkan hari jadi kota Medan yang
sebenarnya dasarnya tidak kuat.
Sebagai sebuah
program pemerintah untuk membantu pengarang menerbitkan karyanya, bukan berarti
bisa asal-asalan dalam pengemasannya. Ketika bedah buku itu berlangsung, fisik
buku menjadi polemik bagi peserta kegiatan. Salah satu peserta yang mengkritisi
fisik buku itu ialah A. Rahim Qahhar.
Dia mengatakan
bahwa dari lima buku yang diluncurkan hanya satu yang dalam kondisi baik,
selebihnya sampah. Bagaimana tidak, dari kondisi fisik dan isi dapat kita
golongkan bahwa buku itu bak anak kandung, sedangkan keempat lainnya bak anak
tiri. Bengapa begitu?
Buku yang bak
anak kandung itu tak lain ialah yang berjudul 555 Pantun Pendidikan & Kesehatan. Hal itu dilihat dari desain
sampul, kualitas kertas sampai keruntutan halaman. Sedangkan untuk keempat buku
lainnya terkesan pengerjaannya asal-asalan. Mulai dari desain sampul kualitas
kertas, sampai keruntutan halaman yang amburadul mencerminkan kalau buku ini
diterbitkan tanpa pemeriksaan oleh editor dan terkesan pengerjaannya
asal-asalan sehingga dapat digolongkan keempat buku tersebut belum layak untuk
diterbitkan.
Apalah daya,
kegiatan yang dihadiri oleh dosen, sastrawan, wartawan, dan mahasiswa ini
berakhir dengan ketidakpuasan. Mau tak mau harus diterima juga sebagai bahan
bacaan yang bermakna bagi masyarakat. Buku-buku tersebut memang tidak
diperdagangkan, melainkan sebagai buku yang melengkapi koleksi buku
diperpustakaan di negeri ini. Mudah-mudahan suatu saat kelak ada pihak-pihak
yang berkenan menerbitkan ulang buku ini dengan mempertimbangkan kualitas dan
kuantitas buku yang dimaksud, sebab buku tersebut sangat berguna sebagai penambah
wawasan generasi bangsa.
Akhir kalam, tak
ada gading yang tak retak, tak ada pekerjaan yang sia-sia selagi itu demi
kemaslahatan orang banyak. Apabila masyarakat ingin mengetahui atau membaca
buku tersebut sila berkunjung ke Perpustakan Daerah Sumatera Utara. ***
Penulis adalah
pegiat sastra dan guru di SMK Y.P. Citra Harapan Percut, Deliserdang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar