Oleh : Eva Juliyanti
D
|
alam sebuah karya sastra ada
suatu penilaian, penilaian ini dilakukan untuk mengetahui kelebihan dan
kelemahan dalam karya sastra tersebut. Penilaian ini disebut dengan kritik
sastra. Kritik sastra berasal dari bahasa Yunani
yaitu “Krinien” yang artinya membandingkan,
memertimbangkan, dan penghakiman terhadap suatu karya baik bernilai positif
maupun negatif.
Kritik sastra sebenarnya tidak banyak berbeda dengan
apresiasi. Apresiasi lebih kepada penghargaan dan penikmat terhadap karya,
sedangkan kritik sebagai penikmat, tetapi juga lebih diarahkan penilaian untuk
menlihat kelemahan, kelebihan, kekuatan dan artistiknya sebuah karya.
Apresiasi menerima karya sastra itu apa adanya, jika
tidak suka akan ditinggalkannya, sedangkan krtitik akan tetap mengedepankan
karya itu sampai kepada tingkat menghukum apakah karya itu bermutu atau tidak,
bernilai atau berkurang.
Seorang kritikus hendaknya dalam memberikan kritikan
harus berdasarkan teori-teori atau pendekatan. Adapun pendekatan yang dapat
digunakan sebagai pisau untuk membedah karya sastra tersebut, yaitu pendekatan
antoprologi, pendekatan sosiologi, pendekatan struktural, pendekatan
stilistika, semiotika, pendekatan feminimisme, pendekatan hermeunetika, ataupun
pendekatan psikologi.
Dengan menggunakan pendekatan atau metodologi dalam
mengkritik sebuah karya sastra tersebut, dapat menentukan mutu, kekurangan, dan
kelemahannya. Saat ini banyak bermunculan sastrawan dari kalangan perempuan
maka dari itu ada pendekatan yang sesuai untuk menelaah atau menilai karya
sastra tentang keperempuanan. Pendekatan tersebut adalah pendekatan
feminimisme.
Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan
perempuan yang menuntut emansipasi atau
kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai
digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan
perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan.
Sekarang ini kepustakaan internasional
mendefinisikannya sebagai pembedaan terhadap hak hak perempuan yang didasarkan
pada kesetaraan perempuan dan laki laki. Secara leksikal dan etimologi,
feminisme berasal dari kata feminist
yang berarti pejuang hak-hak kaum wanita, kemudian meluas menjadi feminism, yaitu suatu faham yang
memperjuangkan hak-hak kaum wanita.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 410)
feminisme merupakan gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara
kaum wanita dan pria. Definisi secara leksikal ini telah membawa pemahaman yang
keliru di kalangan masyarakat. Feminisme
sebagai gerakan awalnya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada
dasarnya ditindas dan dieksploitasi.
Feminisme menjadi usaha untuk mengakhiri penindasan
dan eksploitasi tersebut. Akhirnya mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan
feminis adalah demi kesamaan, martabat, dan kebebasan mengontrol raga dan
kehidupan, baik di dalam maupun di luar rumah.
Kaum feminimisme juga ingin membuktikan bahwa
perempuan memiliki kontribusi yang signfikan dalam meningkatkan ekonomi, selain
menyandang sebagai ibu rumah tangga perempuan juga da[at berkarier dan bekerja
memenuhi kebutuhan ekonomi.
Derrida
(Derridean) merupakan salah satu tokoh feminimisme menyatakan bahwa mempertajam
fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir
kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu
berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog
sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk
megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap
dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam
bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak
dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.
Dalam
pendekatam feminimisme ada lima citra yang dapat melihat sisi kepermpuanan
dalam karya sastra, yaitu pigura, pinggan, pilar, peraduan dan pergaulan. Dalam
antologi puisi “Angin Kerinduan” dengan puisi berjudul ‘Ibu dan Kartini’ karya Ria Ristiana Dewi menceritakan kedudukan
perempuan.
Dalam
antologi puisi “Angin Kerinduan”, pengarang menyatakan bahwa angin membawanya
kepada rindu terhadap karya-karya sastra pada zaman dahulu, sekarang dan akan
datang. Puisi-puisinya pun
berkaitan erat dengan perasaan, terutama ketika menspesifikkan puisinya untuk
seseorang, misalnya ibu, ayah, ataupun ‘kepada :khair’ terasa sekali puisinya tersemat pesan mendalam
yang dibalut oleh makna pada tiap kata-katanya.
Menyuapi senanak sayangmu kutau kaulah raga
Contohku
Ragamu mengandungku Sembilan bulan
( baris
ketujuh puisi Ibu)
Puisi ini
menggambarkan sesosok wanita kuat dan tegar menghidupi keluarganya walaupun
dengan status ‘single parents’ dan
wanita kuat itu telah menuntun, menjadi penerang jalan kehidupan anak-anaknya.
Sebuah selendang hitam mengukur wajah
senjamu
Tentu kau masih pelita
Untuk belia sedang menyongsong ini
Kau terangi langkahku menganut senyum
( bait pertama
puisi Salamku kepada Mamak)
Wanita
yang sudah tua namun tetap semangat dalam mengayomi pelita hatinya untuk
menyongsong dunia yang gelap ini. Usia tidak menjadi masalah bagi perempuan itu
untuk berganti peran sebagai seorang Ayah juga seorang Ibu.Ia sebagai penopang
dalam keluarganya mencari nafkah juga mendidik anak-anaknya.
Keindahan pada
wanita, pengarang meletakkannya pada puisi berjudul Ibuku dan Kartini “
Wanita-wanita surga dengan keindahan dunia”. Pada kata ‘Wanita-wanita surga’, ini menunjukkan
bahwa wanitu itu cantik karena berada di tempat yang sangat indah. Wanita yang
cantik dalam konteks wanita cantik luar dan dalam. Hanya wanita yang dapat
membuat iri para bidadari-bidadari surga, namun wanita yang soleha.
“Bu, Kartini sedang memintaku meneguk cahaya
Yang Sarat dengan mimpi beraduk dengan cita
dan cinta.”
(bait pertama
puisi ‘Ibuku dan Kartini’)
Masih dari
puisi ‘Ibuku dan Kartini’ terdapat
pesan bahwa Kartini ingin memerintahkan wanita untuk bangkit meraih cita-cita
kita, kita tidak boleh kalah dengan kaum laki-laki yang seakan-akan
menyepelekan kaum perempuan. Dengan adanya emansipasi wanita, dapat menyamakan
hak dengan kaum laki-laki karena wanita juga dapat menyumbangkan kontribusi
yang besar terhadap perkembangan ekonomi.
Saat ini kaum
wanita sudah mulai dilemahkan, banyak pelecehan seksual, aksi pornoaksi,
penganiayaan terhadap ibu rumah tangga, dan sebagainya. Ironis memang seorang
perempuan diperbudak dan dianiaya seperti ini. Para TKI sudah banyak menjadi
korban, bahkan banyak yang meregang nyawa di Negara tetangga. Walupun dewasa
ini banyak forum atau lembaga yang melindungi para TKI dan wanita dari
penganiayaan dan pelecehan seksual namun, banyak pula korban berjatuhan. ** *
Penulis adalah
Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiya Sumatera
Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar