Kamis, 31 Oktober 2013

Aura Feminisme Dalam Antologi Puisi "Angin Kerinduan" Karya Ria Ristiana Dewi (Sabtu, 5 Oktober 2013)

Oleh : Eva Juliyanti


D
alam sebuah karya sastra ada suatu penilaian, penilaian ini dilakukan untuk mengetahui kelebihan dan kelemahan dalam karya sastra tersebut. Penilaian ini disebut dengan kritik sastra. Kritik sastra berasal dari bahasa Yunani yaitu “Krinien” yang artinya membandingkan, memertimbangkan, dan penghakiman terhadap suatu karya baik bernilai positif maupun negatif.
Kritik sastra sebenarnya tidak banyak berbeda dengan apresiasi. Apresiasi lebih kepada penghargaan dan penikmat terhadap karya, sedangkan kritik sebagai penikmat, tetapi juga lebih diarahkan penilaian untuk menlihat kelemahan, kelebihan, kekuatan dan artistiknya sebuah karya.
Apresiasi menerima karya sastra itu apa adanya, jika tidak suka akan ditinggalkannya, sedangkan krtitik akan tetap mengedepankan karya itu sampai kepada tingkat menghukum apakah karya itu bermutu atau tidak, bernilai atau berkurang.
Seorang kritikus hendaknya dalam memberikan kritikan harus berdasarkan teori-teori atau pendekatan. Adapun pendekatan yang dapat digunakan sebagai pisau untuk membedah karya sastra tersebut, yaitu pendekatan antoprologi, pendekatan sosiologi, pendekatan struktural, pendekatan stilistika, semiotika, pendekatan feminimisme, pendekatan hermeunetika, ataupun pendekatan psikologi.
Dengan menggunakan pendekatan atau metodologi dalam mengkritik sebuah karya sastra tersebut, dapat menentukan mutu, kekurangan, dan kelemahannya. Saat ini banyak bermunculan sastrawan dari kalangan perempuan maka dari itu ada pendekatan yang sesuai untuk menelaah atau menilai karya sastra tentang keperempuanan. Pendekatan tersebut adalah pendekatan feminimisme.
Feminisme (tokohnya disebut Feminis) adalah sebuah gerakan perempuan yang menuntut emansipasi  atau kesamaan dan keadilan hak dengan pria. Feminisme berasal dari bahasa Latin, femina atau perempuan. Istilah ini mulai digunakan pada tahun 1890-an, mengacu pada teori kesetaraan laki-laki dan perempuan serta pergerakan untuk memperoleh hak-hak perempuan.
Sekarang ini kepustakaan internasional mendefinisikannya sebagai pembedaan terhadap hak hak perempuan yang didasarkan pada kesetaraan perempuan dan laki laki. Secara leksikal dan etimologi, feminisme berasal dari kata feminist yang berarti pejuang hak-hak kaum wanita, kemudian meluas menjadi feminism, yaitu suatu faham yang memperjuangkan hak-hak kaum wanita.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 410) feminisme merupakan gerakan wanita yang menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Definisi secara leksikal ini telah membawa pemahaman yang keliru di kalangan masyarakat.  Feminisme sebagai gerakan awalnya berangkat dari asumsi bahwa kaum perempuan pada dasarnya ditindas dan dieksploitasi.
Feminisme menjadi usaha untuk mengakhiri penindasan dan eksploitasi tersebut. Akhirnya mereka sepaham bahwa hakikat perjuangan feminis adalah demi kesamaan, martabat, dan kebebasan mengontrol raga dan kehidupan, baik di dalam maupun di luar rumah.
Kaum feminimisme juga ingin membuktikan bahwa perempuan memiliki kontribusi yang signfikan dalam meningkatkan ekonomi, selain menyandang sebagai ibu rumah tangga perempuan juga da[at berkarier dan bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi.
Derrida (Derridean) merupakan salah satu tokoh feminimisme menyatakan bahwa mempertajam fokus pada bekerjanya bahasa (semiotika) dimana bahasa membatasi cara berpikir kita dan juga menyediakan cara-cara perubahan. Menekankan bahwa kita selalu berada dalam teks (tidak hanya tulisan di kertas, tapi juga termasuk dialog sehari-hari) yang mengatur pikiran-pikiran kita dan merupakan kendaraan untuk megekspresikan pikiran-pikiran kita tersebut. Selain itu juga penekanan terhdap dilakukanya “dekonstruksi” terhadap kata yang merupakan intervensi ke dalam bekerjanya bahasa dimana setelah melakukan dekonstruksi tersebut kita tidak dapat lagi melihat istilah yang sama dengan cara yang sama.
            Dalam pendekatam feminimisme ada lima citra yang dapat melihat sisi kepermpuanan dalam karya sastra, yaitu pigura, pinggan, pilar, peraduan dan pergaulan. Dalam antologi puisi “Angin Kerinduan”  dengan puisi berjudul ‘Ibu dan Kartini’ karya Ria Ristiana Dewi menceritakan kedudukan perempuan.
            Dalam antologi puisi “Angin Kerinduan”,  pengarang menyatakan bahwa angin membawanya kepada rindu terhadap karya-karya sastra pada zaman dahulu, sekarang dan akan datang. Puisi-puisinya pun berkaitan erat dengan perasaan, terutama ketika menspesifikkan puisinya untuk seseorang, misalnya ibu, ayah, ataupun kepada :khair terasa sekali puisinya tersemat pesan mendalam yang dibalut oleh makna pada tiap kata-katanya.

            Menyuapi senanak sayangmu kutau kaulah raga
Contohku
Ragamu mengandungku Sembilan bulan
( baris ketujuh puisi Ibu)

Puisi ini menggambarkan sesosok wanita kuat dan tegar menghidupi keluarganya walaupun dengan status ‘single parents’ dan wanita kuat itu telah menuntun, menjadi penerang jalan kehidupan anak-anaknya.

Sebuah selendang hitam mengukur wajah senjamu
Tentu kau masih pelita
Untuk belia sedang menyongsong ini
Kau terangi langkahku menganut senyum
( bait pertama puisi Salamku kepada Mamak)

            Wanita yang sudah tua namun tetap semangat dalam mengayomi pelita hatinya untuk menyongsong dunia yang gelap ini. Usia tidak menjadi masalah bagi perempuan itu untuk berganti peran sebagai seorang Ayah juga seorang Ibu.Ia sebagai penopang dalam keluarganya mencari nafkah juga mendidik anak-anaknya.
Keindahan pada wanita, pengarang meletakkannya pada puisi berjudul  Ibuku dan Kartini “ Wanita-wanita surga dengan keindahan dunia”. Pada kata ‘Wanita-wanita surga’, ini menunjukkan bahwa wanitu itu cantik karena berada di tempat yang sangat indah. Wanita yang cantik dalam konteks wanita cantik luar dan dalam. Hanya wanita yang dapat membuat iri para bidadari-bidadari surga, namun wanita yang soleha.

“Bu, Kartini sedang memintaku meneguk cahaya
Yang Sarat dengan mimpi beraduk dengan cita dan cinta.”
(bait pertama puisi ‘Ibuku dan Kartini’)

Masih dari puisi ‘Ibuku dan Kartini’ terdapat pesan bahwa Kartini ingin memerintahkan wanita untuk bangkit meraih cita-cita kita, kita tidak boleh kalah dengan kaum laki-laki yang seakan-akan menyepelekan kaum perempuan. Dengan adanya emansipasi wanita, dapat menyamakan hak dengan kaum laki-laki karena wanita juga dapat menyumbangkan kontribusi yang besar terhadap perkembangan ekonomi.
Saat ini kaum wanita sudah mulai dilemahkan, banyak pelecehan seksual, aksi pornoaksi, penganiayaan terhadap ibu rumah tangga, dan sebagainya. Ironis memang seorang perempuan diperbudak dan dianiaya seperti ini. Para TKI sudah banyak menjadi korban, bahkan banyak yang meregang nyawa di Negara tetangga. Walupun dewasa ini banyak forum atau lembaga yang melindungi para TKI dan wanita dari penganiayaan dan pelecehan seksual namun, banyak pula korban berjatuhan. **    *


Penulis adalah Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Muhammadiya Sumatera Utara

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar